Mohon tunggu...
Hyasint Asalang
Hyasint Asalang Mohon Tunggu... Human Resources - Pergo et Perago

Bisnis itu harus menyenangkan!!!!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menelusuri Petualangan Seks Bebas di Dunia Online

6 September 2024   09:18 Diperbarui: 6 September 2024   09:34 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seks: Dari Tabu Menuju Hegemoni

Tak dapat dipungkiri bahwa bagi Bangsa kita, Indonesia, persoalan seks merupakan masalah kamar tidur yang tabu untuk diangkat. Pembicaraan tentang seks yang terbuka bahkan frontal bukan merupakan bagian budaya yang terwariskan. Meskipun demikian, arus globalisasi yang menjalar begitu cepat merubah hal yang dianggap tabu dalam budaya timur ini menjadi hal yang biasa-biasa saja sesuai dengan pola pikir budaya barat.

Banyak kalangan juga menyadari bahwa seks merupakan bagian dari kekuatan utama yang mendominasi. Sumbernya adalah kapitalisme dengan tangan kanan liberalisme. Libelarisme yang sering didewakan oleh anak muda inilah yang telah menjadi hegemoni bagi tatanan budaya kita. Paham-paham liberal kian menjajah dan mencecoki pola pikir anak bangsa dengan produk-produk budaya yang dapat menjauhkan kita dari nilai-nilai sosial karena terlalu terpusat pada spirit kebebasan individual. Bangsa ini seakan-akan terinfiltrasi oleh imperialisme budaya yang menyeret masyarakat ke konsumtifme dan kebebasan tanpa batas.

Sesungguhnya tanpa disadari, anak bangsa tengah dikepung oleh media dan sajian internet yang begitu bebas. Kebebasan ini seringkali disalahgunakan bukan hanya karena keingintahuan yang belum terpuaskan, melainkan juga hampir tidak adanya kungkungan yang begitu mengikat secara moral dari budaya sendiri. Akibatnya, segala keterbukaan adalah lumrah bahkan akses ke situs-situs porno pun terbuka lebar. Hal ini mengarah pada gaya hidup serba bebas dan meminggirkan budaya timur yang menjaga hubungan kasih sayang yang sakral dalam ruang transenden. Dalam konteks ini, hegemoni budaya seks menjadi penting untuk dikritisi sebagai suatu dominasi yang telah merasuki warisan budaya kita.

Seks: Konsumen Online

Ketika membicarakan seks dan erotisme, dan kemudian diwacanakan atau hemat penulis dikompori oleh media massa, maka seks menjadi teks yang memantik kegairahan siapa pun untuk menanggapinya. Beberapa media massa cetak dan elektronik saat ini pun banyak mengabaikan sisi-sisi moralitas dan seakan mendukung kebebasan seks yang sangat membahayakan pola pikir dan gaya hidup anak bangsa dengan "memberhalakan" kebebasan berekspresi termasuk seks bebas. Seks yang dianggap sebagai kebebasan membuat orang akan bertindak sesukanya.

Cara pandang terhadap seks pun tentu akan berubah dalam pengekspresiannya. Mungkin saja seks akan dianggap seni dalam berkarya. Seni yang dipertontonkan khalayak banyak, bahkan karya-karya mereka yang berbau porno telah ikut melengkapi situs-situs porno dan media sosial yang kini menjamur di internet. Cara pandang ini kemudian akan bergerak sesuai dengan alur yang tidak semestinya: video porno yang diperjualbelikan. Kekhawatian ini bahkan sudah nyata dalam dunia barat dan kini telah merasuki perlahan dalam budaya timur.

Berkaitan dengan hal itu, sekarang ini merupakan suatu masa ketika teknologi informasi seakan telah menjadi sarana penyebar racun kebebasan seks yang potensial. Racun itu memorakporandakan moralitas bangsa dan ini seakan mendapat sokongan dari media massa. Kenyataan pun menunjukkan bahwa dulu televisi kita ikut memproduksi tayangan pemanja syahwat. Meskipun hal itu sudah dibatasi sekarang ini, namun tidak benar-benar hilang. Semuanya kini teralirkan dalam media online. Seiring dengan arus informasi yang deras melalui internet, muncullah eksposure pada media online ini. Isu-isu tentang seks sudah menjadi konsumen dunia maya dengan kemunculan video-video maupun foto-foto milik sejumlah public figure. Dapat dikatakan bahwa seks dan erotisme seakan dipaksakan untuk masuk dalam mindset kita dan mengatur gaya hidup kita.

Seks Bebas dalam Komunitas Online

Teknologi digital memang telah mengubah wajah peradaban manusia. Akses informasi juga tidak lagi dimonopoli oleh segelintir redaktur media massa, namun setiap individu dapat menguasai informasi dan menyebarkan informasi itu ke publik. Individu-individu yang menguasai informasi itu pada akhirnya membentuk suatu kelompok masyarakat tertentu dan menciptakan budaya mereka sendiri yang dianggap biasa oleh kelompok tersebut.

Setiap kelompok memiliki budaya tersendiri yang membedakannya dari komunitas lain. Contohnya, kelompok gay yang memiliki budaya berbeda dengan kelompok heteroseksual, juga kelompok alay pastinya berbeda dengan budaya kelompok lanjut usia. Perbedaan-perbedaan tertentu di antara kelompok-kelompok tersebut merupakan ciri yang membedakannya dengan kelompok lain. Perbedaan itu dikarenakan masing-masing kelompok memiliki budaya tertentu yang tercermin melalui gaya hidup yang dianut oleh setiap anggota kelompok. Budaya yang mencirikan komunitas tersebut terrepresentasi melalui cara berperilaku dan berbahasa individu di dalam ruang lingkup komunitas itu. Maka dengan adanya internet, komunikasi di antara kelompok-kelompok itu menjadi lebih nyata dibicarakan dan dilakukan di dunia maya. Dunia maya bukan saja meniadakan batas-batas social presence namun juga nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi.

Salah satu bukti empiris seperti dikutip dalam jurnal Tammy Castle dan Jenifer Lee, dengan judul Ordering Sex in Cyberspace: A Content Analysis of Ecort Websites, sejumlah penelitian mengatakan bahwa "sex" merupakan topik yang paling banyak dicari di internet dan sepertiga pengguna internet mengunjungi website seksual. Hal ini menunjukkan bahwa budaya dan batasan masyarakat yang ada langsung menghilang ketika mereka memasuki ranah internet.

Dalam pemenuhan keinginan akan kebebasan berekspresi itulah muncul komunitas-komunitas virtual (virtual communities) yang para anggotanya memiliki kesamaan kebutuhan atau tujuan dalam diri mereka atau di antara anggota kelompok yang lain. Anggota dari komunitas ini saling berinteraksi dan berkomunikasi. Media sosial disalahgunakan untuk berekspresi mengenai hal-hal yang negatif. Interaksi anggota kelompok dalam media sosial tentu saja tidak seperti interaksi face to face yang di dalamnya nilai-nilai budaya masih diperhatikan dan dihargai. Melalui media sosial online, individu bebas mengutarakan apapun karena identitas diri mereka tidak terlihat. Karena itu pula individu bebas untuk mengabaikan nilai-nilai budaya yang seharusnya dihormati.

Kelompok-kelompok dengan dominasi budaya seks pun terbentuk di dunia maya. Mereka menciptakan ruang untuk berkumpul misalnya WA Group untuk membaagikan video-video porno yang hanya diketahui oleh mereka sendiri, ataupun grup Facebook Tertutup yang dijadikan sebagai undangan untuk berinteraksi secara lebih bebas dan terbuka. Mungkin saja dijadikan alat untuk pertemuan bagi para anggota yang saling membutuhkan.

Globalisasi yang telah membuka pintu dunia merupakan sumber potensial munculnya komunitas-komunitas online yang berbau porno. Berbagai kemudahan memudahkan individu untuk memilih komunitasnya sendiri. Menurut Bell (2003), fleksibilitas membantu individu dalam memikirkan siapa dia dan menjadikan dia menjadi apa yang diinginkannya dan komunitas online merupakan tempat yang ideal untuk "bermain" dengan identitas.

Para pengguna forum online telah menemukan seksualitas lebih terbuka dibandingkan anggota masyarakat lain di luar kelompoknya. Ini bukan perbedaan tingkat susila antar kelompok melainkan akibat perubahan teknologi. Inilah yang menjadikan perilaku seksual komunitas pengguna forum online menjadi semakin absurd, liar dan sulit didefenisikan dan seringkali sulit dilacak. Seksualitas menjadi sebuah realitas yang bertransformasi melalui jaringan kabel, membentuk dunia maya, lalu disulap menjadi online, dapat diakses oleh siapapun tanpa mengenal batasan waktu dan tempat dan pada umumnya berujung pada aktivitas seks langsung.

Kondisi seperti inilah yang akhirnya menjadi bagian dalam kehidupan orang-orang yang menandakan bahwa seks telah menjadi hegemoni budaya di kalangan para pengguna forum online. Pertemuan dalam komunitas online dapat berujung pada pertemuan secara fisik apabila mereka berada dalam tempat yang sama atau bersepakat bertemu di suatu tempat.

Perlunya Kesadaran Moral yang Mendarah Daging

Ketika berhadapan dengan etika, maka persoalan ini pun dihadapkan pada banyak cara pandang salah satunya ialah cara pandang beragama. Orang Kirstiani misalnya memiliki pandangan atau aturan keras mengenai praktek-praktek seksual yang dapat diterima atau lebih khusus, yang tidak dapat diterima. Pandangan Kristen mengenai seks terbentuk atau dipengaruhi oleh berbagai interpretasi Kitab Suci. Seks di luar nikah dianggap sebagai dosa karena seks disatukan dalam sakramen perkawinan dan dilihat sebagai perjanjian suci antara suami dan istri. Atau dalam ajaran islam yang memandang seks sebagai aktivitas spiritual dan kewajiban yang berada dalam Ijab dan Qabul, sehingga seks di luar pernikahan atau dengan orang bukan pasangan sah dianggap sebagai zina. Hindu pun memiliki beragam pandangan tentang seksualitas namun pada umumnya memandang seks di luar nikah sebagai hal yan gtidak bermoral dan memalukan. Dalam etika Budha, dalam perumusan yang paling umum, seseorang seharusnya tidak mendambakan atau melekat pada kenikmatan sensual.

Dengan adanya pandangan agama soal seks yang dibatasi pada adanya ikrar kesetiaan dari setiap orang pada pasangannya, maka moral inilah yang perlu ditanamkan kepada setiap orang beragama. Tentu saja dasar yang kuat dari agama ini setidaknya menjadi tolok ukur dalam membatasi perilaku setiap orang.

Usaha pemerintah pun perlu diperkuat. Meskipun pemerintah baik dalam skala nasional maupun daerah menutup situs-situs tersebut, namun tetap saja tanpa adanya kesadaran moral dan etika yang mengakar, orang akan menemukan pintu yang lain ketika salah satu pintu tertutup. Dapat dikatakan bahwa usaha pemerintah akan sia-sia apabila tidak didukung dengan membangun pembicaraan yang positif terus-menerus, daripada ditutupi dan merangsang orang untuk mencari serta kemudian disalahgunakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun