Â
Menunggu adalah pekerjaan paling membosankan. Apalagi yang ditunggu ialah sebuah kepastian. Kepastian akan gaji honorer yang belum dibayar selama delapan bulan!
Berlokasi di gedung DPRD Kabupaten Boven Digoel, Papua, sekelompok guru honorer yang merasa dikhianati oleh janji-janji, kini memberanikan diri untuk menyalurkan aspirasi sekaligus kekecewaan mereka di hadapan para pejabat publik yang bersembunyi di balik  tembok.
Berlandaskan keyakinan akan pemenuhan hak mereka sebagai pejuang pendidikan, para guru honorer berpacu dengan ruwetnya kebijakan yang harus diperdebatkan tanpa ujung. Jawabannya sudah jelas. Selama tiga hari berturut-turut mereka dipaksa mendengarkan rupa-rupa alasan yang diulang-ulang dari mulut ke mulut. Alasannya tetap sama seperti dijanjikan pada bulan sebelumnya.
Sayang memang. Tapi itulah keadaannya. Harus diakui bahwa para guru honorer telah menyatakan cinta dan bangga akan identitas dirinya. Keseharian hidup mereka sangat sulit, bahkan terbilang kering. Belum lagi diperparah dengan mahalnya kebutuhan hidup di Papua, ketiadaan aktivitas ekonomi lain di luar sekolah, atau bahkan tidak punya tabungan yang besar di bank. Guru honorer dipaksa bertahan. Mereka harus meredam serangan bertubi-tubi oleh janji-janji yang belum terealisasikan. Tapi sampai kapan mereka akan bertahan? Apakah janji-janji itu hanyalah kebohongan publik?
Perjuangan tanpa KemuliaanÂ
Kita mungkin sepakat bahwa menjadi guru adalah pekerjaan mulia. Menjadi guru adalah bukan pada perkara seberapa baik ia mengajar dan mendidik, melainkan pada identitas akan sosok pengajar. Sosok yang mampu membimbing peserta didik menuju cita-cita, meski hanya sebatas angan-angan.
Siapapun hari ini jika melihat kembali potret di masa lalu, terlihat jelas bahwa guru berperan besar membawa bangsa ini bebas dari ketertinggalan, pembodohan dan kemiskinan. Â Ketertinggalan, pembodohan dan kemiskinan di saat-saat perjuangan kala itu adalah tembok yang harus diruntuhkan betapapun kokohnya! Peran besar guru selalu terngiang di telinga anak bangsa. Di saat itu, kecerdasan anak bangsa adalah tujuan utama. Cita-cita kemerdekaan hadir dalam bentuk kebebasan menjajal dunia pendidikan hingga ke ujung dunia. Tak ayal, guru menjadi sosok mulia, diberi nilai lebih dalam statusnya dan menjadi tokoh sentral yang tidak kalah penting dari pejabat pemerintahan.
Apa daya, setelah umur bangsa semakin dewasa, guru masih di tempat yang sama, masih tetap berjuang untuk memerdekakan orang lain, juga masih berjuang dengan harapan untuk hidup sejahtera. Lebih parahnya, kemuliaan dan keperkasaan itu seakan hilang ketika berbicara tentang guru honorer. Harapan adalah kekuatan mereka. Harapan mereka ibarat mimpi yang belum menjadi kenyataan.
Gambaran situasi guru honorer di kabupaten Boven Digoel merupakan salah satu scene sedih dari film pendidikan di Tanah Air. Masih banyak scene sedih lain yang sudah terungkap atau bahkan bosan untuk didengungkan oleh banyak tempat di Indonesia. Toh semuanya akan bermuara pada hasil yang sama: kecewa.
Lantas, apakah janji kesejahteraan yang dulu ditanamkan pada angan anak bangsa sudah kembali pada mereka sendiri?