Program pemberdayaan masyarakat Papua harus dirancang berdasarkan analisa yang mendalam tentang intregritas budaya dan faktor sosial lainnya. Dalam konteks Papua, masyarakat menjadi terbelakang bukan karena malas, melainkan karena produktifitasnya rendah. Produktivitas yang rendah itu diakibatkan oleh kurangnya akses dalam bidang ekonomi (modal), kesehatan dan pendidikan.
Salah satu jalan memutus mata rantai kemiskinan tersebut adalah dengan membuka akses modal kepada masyarakat Papua sehingga mereka dapat meningkatkan pendapatan sekaligus mengakumulasi modalnya hingga semakin meningkat secara gradual. Kebijakan pemerintah terutama dalam memberikan kredit juga kurang memperhatikan aspek sosiokultural, sehingga kebijakan ini justru berperan dalam membentuk stigma dan bahkan budaya malas dan korup pada masyarakat Papua. Atas dasar itu, skema atau sistem keuangan yang dibangun dalam rangka memperluas akses modal harus berbasis pemberdayaan yang mempertimbangkan aspek sosiokultural masyarakat.
Skema perluasan akses modal masyarakat Papua dimulai dari pemberi modal (kreditor). Ketiadaan kreditor inilah yang menyebabkan masyarakat Papua sampai saat ini tidak tersentuh sama sekali oleh lembaga keuangan yang ada. Hal ini karena lembangan keuangan hanya akan memberikan kredit kepada pihak-pihak yang mampu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh bank (bankable).Â
Jadi, skema kredit berbasis pemberdayaan yang tepat bagi masyarakat Papua adalah yang meniadakan jaminan berupa materi dan menggantinya dengan jaminan yang bersifat im-materi. Jaminan itu tak lain adalah berupa modal sosial (social capital) yang terbentuk dalam masyarakat Papua terutama masyarakat kampung sehingga skema penyaluran modal selain mempertimbangan aspek pemberdayaan juga dirancang dengan mengekplorasi kekuatan modal sosial yang ada.
Epilog
Berbicara mengenai Papua tidak terlepas dari kebijakan Otsus dan pengejawantahannya dalam kehidupan masyarakat Papua. Namun, berkaca dari pengalaman selama belasan tahun, kebijakan Otsus kurang mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat Papua. Berbagai ketimpangan pun terjadi. Aksi protes di berbgai tempat terlihat merisaukan. Ekonomi tidak berjalan sesuai harapan. Rakyat yang miskin dan kurang sehat sebagai implikasi dan indikasi kurangnya pendidikan yang memadai.
Kebijakan Otsus yang kini memasuki era baru hendaknya dilihat dan berpatokan pada semua gejala tersebut. Sudah saatnya Papua merealisasikan sumber daya manusianya di atas segala-galanya, dan bukan hanya terpaku pada gemerlapnya sumber daya alam yang membutakan masa depan karena ditopang oleh ketergantungan.Â
Rekonsiliasi sebagai jalan pembuka dan perluasan akses modal menjadi salah satu jalan untuk mendampingi masyarakat hidup mandiri dan sejahtera. Berbagai slogan yang muncul dari kalimat undang-undang Otsus yang mati hendaknya dihidupkan dalam kenyataan hidup masyarakat Papua demi pengembangan kesejahteraan dan tercapainya sumber daya manusia yang berdaya saing.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H