Mohon tunggu...
Hyasint Asalang
Hyasint Asalang Mohon Tunggu... Human Resources - Pergo et Perago

Bisnis itu harus menyenangkan!!!!!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manifestasi Teknologi dalam Pengembangan Pendidikan bersistem Focus on Subject

24 Juni 2019   11:07 Diperbarui: 24 Juni 2019   11:21 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenyataan yang terjadi di SD Wibong ini serta merta merubah rencana awal saya untuk mengajar pendidikan Bahasa Inggris. Sebab berdasarkan perbincangan saya dengan seorang guru kelas, pelajaran bahasa Inggris belum pernah diajarkan kepada para murid. Saya pun mengambil mata pelajaran bahasa Indonesia karena saya tidak ingin memaksa keadaan siswa. Saya banyak berbincang dengan salah seorang guru honor di SD Wibong tentang karakter khusus masing-masing siswa dan karakter umum siswa di kelas saya menjalani tugas mengajar. Setelah beberapa hari mengajar, barulah saya menyadari bahwa tidak semua siswa menyukai pelajaran Bahasa Indonesia. Ternyata siswa yang tidak menyukai pelajaran ini adalah siswa-siswa yang terampil dalam menghitung. Demikian pun sebaliknya.

 

Ruwetnya Kurikulum

Gambaran singkat mengenai situasi pendidikan di kampung Wibong hanyalah potongan puzzle kecil dari permasalahan pendidikan di Papua. Jika dizoom out, inilah salah satu sisi suram pendidikan kita di tanah air. Menurut saya, Kurikulum 2013 yang kini menjadi kurikulum pendidikan nasional perlu dipertimbangkan lagi keefektifitasannya, mengingat masih banyaknya sekolah-sekolah di pedalaman yang tidak ditunjang oleh fasilitas yang lengkap, tenaga guru yang memadai dan SDM guru yang belum bisa memanfaatkan fasilitas atau media belajar.

Selain itu sistem pendidikan semi disentralisasi sekarang juga kurang cocok dengan kondisi tanah air. Sistem ini memang menyerahkan seluruh konsep manajemen sekolah kepada masing-masing sekolah, akan tetapi dalam sistem evaluasi yaitu ujian negara diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Guru diberi otonomi untuk menyusun bahan ajar sendiri sesuai daerah masing-masing dengan mengacu pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan di bawah pengawasan dinas kabupaten atau kota. Namun hal itu tidak serta merta sesuai dengan Ujian akhir nasional yang kadang soal-soalnya bertentangan dengan yang dipelajari siswa di sekolah mereka masing-masing.

Benarlah yang dikatakan Phoenix dalam Philosophy Of Education (1966), bahwa pendidikan yang menjadi lambang kejayaan Homo Sapiens sedang sekarat. Pendidikan menjadikan manusia berbeda karena kekuatan pemikiran, daya nalar, ingatan, imajinasi dan segala bentuk  kebudayaan. Tapi semua itu kini hampir mati karena  pendidikan tampil sebagai demonic powers dalam ketidakatahuan pemberdayaan ilmu dan nilai kemanusiaan. Kekuatan pemikiran yang ada pada siswa tergerus habis karena sistem kurikulum yang ruwet dan tidak terfokus. Siswa gelisah bukan hanya karena tenaga guru dan fasilitas semata melainkan juga masalah cara kita memaksa mereka mempelajari semua mata pelajaran.

Inilah yang sedang terjadi. Kurikulum terus berganti tidak pernah mengganti cara belajar yang terfokus pada bidang yang ingin ditekuni siswa. Materi pelajaran yang padat dan memakan banyak waktu, jam sekolah yang tinggi, sistem evaluasi pilihan ganda adalah berbagai hal yang bukan seharusnya ditinjau, tetapi semestinya diganti. Indikasinya terlihat pada masih adanya budaya koruptor yang mengakar, sebab Ujian Nasional yang diselenggarakan menjadi tempat bersemainya benih-benih koruptor. Ujian Nasional yang selalu rentan dengan kecurangan adalah rahasia umum.

Model soal pilihan ganda yang diujikan pun mematikan daya pikir siswa karena siswa belajar dengan berorientasi pada nilai bukan sebagai orientasi pembelajar. Ujian Nasional yang berbentuk pilihan ganda mematikan dorongan untuk membaca dan memberi penilaian kritis terhadap bacaan. Pada akhirnya, hilangnya pola pikir yang kreatif dan berpikiran terbuka dalam menyelesaikan masalah. Anak yang cerdas dan cermat menghafal mendapat peringkat tinggi, sedangkan yang bertanya dan mengolah pikirannya sendiri mendapat angka merah karena jawabannya tidak sesuai dengan kunci jawaban. Konsep belajar yang dimengerti oleh siswa pun berubah. Siswa belajar di sekolah hanya ingin agar nilai akademiknya bagus dan memuaskan. Faktor pemahaman dan penerapan menjadi elemen yang diremehkan, pokoknya yang penting nilai siswa bagus.

Silabus-silabus pendidikan kini persis menuruti tuntutan pasar kerja, alih-alih mengejar pemahaman yang baik dan terfokus. Akibatnya, yang dipelajari di sekolah adalah skill menjawab soal dengan cepat dan tepat. Dan yang dikejar oleh para tenaga pengajar, kepala sekolah dan Menteri Pendidikan adalah kenaikan angka statistik kelulusan. Jika ini terus dibiarkan, maka generasi emas yang diharapkan adalah generasi-generasi instan, yang bukan hanya tidak bisa menciptakan, melainkan juga generasi-generasi plagiat.  

 

Membangun Pendidikan Bersistem Focus on Subject

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun