Prolog
Pembahasan mengenai ekologi merupakan subject-matter yang sangat penting dan tak akan pernah redup oleh zaman. Tema tentang ekologi bukan saja menjadi objek kajian dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti antropologi, sosiologi, psikologi, dan lain-lain, melainkan juga membawa setiap orang pada pemahaman tentang keberlangsungan dan terciptanya suatu masyarakat yang dinamis. Namun, di balik semua objek kajian serta berbagai pemahaman yang tercipta, sebuah pertanyaan yang sering muncul dalam pembicaraan mengenai ekologi: bagaimana nasib ekologi dalam tata pembangunan di tahun-tahun yang akan datang? Siapa yang akan bertanggungjawab atas krisis ekologi yang sementara ini dialami?
Cinta pada ekologi; kerinduan dan komitmen terhadap cita-cita ekologi yang sehat dan berdaya guna serta memberi kehidupan; kesadaran akan adanya dorongan karakter alamiah yang sama sebagai makhluk hidup adalah hal yang menjadi tugas manusia. Manusia telah dipilih sebagai makhluk hidup unggulan yang dipercaya untuk mengelola, mengatur sekaligus memanfaatkan seluruh potensi alam di sekitarnya sesuai ketentuan yang telah digariskan oleh sang penciptanya. Oleh karena itu manusia berkewajiban untuk menjaga keselarasan dan keseimbangan antara keseluruhan komponen ekosistem, baik yang bersifat alamiah maupun buatan, demi terjaminnya keberlangsungan hidup seluruh makhluk hidup di muka bumi ini.
Manusia memang tidak akan pernah bisa lepas dari tanggungjawab tersebut karena secara ekologis ia merupakan bagian dari lingkungan hidup itu sendiri. Namun, sebagai makhluk sosial yang dilengkapi dengan komponen akal dan nafsu, manusia akan selalu berusaha untuk melakukan intervensi terhadap lingkungan hidup melalui berbagai tindakan rekayasa demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Akibatnya terlihat jelas. Kerusakan lingkungan pada umumnya merupakan pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan. Suka atau tidak, ekologi kita sedang mengalami krisis. Dan generasi sekarang khususnya generasi muda adalah generasi yang harus mengembalikan keutuhan ekologi. Berbagai perkumpulan dan organisasi kepemudaan dalam masyarakat hendaknya berupaya meningkatkan kesadaran ekologi untuk bereaksi dan menyikapi krisis ini.
Krisis Ekologi: Duri dalam Daging
Ekologi dan manusia saling berhubungan. Namun hubungan ini tengah rusak dan mengalami krisis: ada duri dalam tubuh ekologi. Saat ini krisis ekologi bukan lagi  kemungkinan masa depan, namun sudah menjadi realita kontemporer yang melebihi batas-batas toleransi dan kemampuan adaptasi lingkungan. Pola kebijakan pembangunan yang hanya bertujuan untuk memenuhi tuntutan jangka pendek tanpa mempertimbangkan lingkungan hidup, berpotensi menimbulkan ancaman jangka panjang yang sangat tidak menguntungkan bagi kehidupan umat manusia dan makhluk hidup pada umumnya (Wijoyo, 2003).
Berbagai permasalahan ini antara lain: kasus Freeport, berbagai perusahaan kelapa sawit, penambangan liar, kerusakan cagar alam, banjir, kerusakan hutan yang diakibatkan karena kebakaran hutan dan berbagai persoalan lingkungan hidup yang dapat kita lihat di mana-mana. Inilah duri-duri yang sedang menusuk tubuh ekologi. Meskipun demikian, tentu kita pun tak dapat menutup mata terhadap kebijakan pemerintah yang memiliki empati yang tinggi terhadap ekologi. Salah satu yang sering dan sudah terlaksana ialah penanganan sampah yang berkesinambungan. Namun, duri adalah duri yang akan semakin menusuk, jika kita hanya membiarkannya tanpa upaya mengeluarkannya.
Tantangan Bagi Generasi Muda
Pertama: Krisis Makna Ekologi. Krisis ekologi bukan hanya tampak pada tangisan ekologi akibat ulah manusia, melainkan juga ialah krisis akan makna ekologi itu sendiri. Krisis makna disebabkan oleh kurangnya pemahaman yang mapan tentang ekologi. Pemahaman yang baik didasarkan pada pengenalan masalah ekologi yang kini dihadapi. Sebab, setiap generasi memiliki tantangan yang berbeda, dengan masalah ekologi yang berbeda pula.Â
Tantangan yang berbeda menghasilkan formulasi sikap: aksi dan reaksi yang juga berbeda. Pada arus ini pemahaman ekologi sebagai senyawa bagi makhluk hidup menjadi kurang relevan dan dinamis. Ekologi hanya dipandang di luar keberadaan kita dan bukan sebagai bagian dari pribadi kita. Oleh karena itu, konsep ekologi hendaknya diformulasikan sesuai dengan eksistensi manusia sehingga setiap orang tidak bebas bereksplorasi dengan alam semaunya saja. Bila perlu, ia harus dogmatis, kaku dan tertutup untuk menjaga alam ini tetap aman. Selebihnya, kita perlu terampil dengan adanya pemahaman yang benar akan ekologi dan akar permasalahannya.
Kedua: ketidaksiapan generasi muda. Generasi ini lahir dan bertumbuh dalam satu dunia, suatu masa yang cepat berubah. Suatu masa di mana semua nilai, keutamaan-kebajikan moral, religius, etika, dan lainnya mengalami benturan secara keras dan transparan dengan nilai-nilai baru, yang mengganggu keabsahan dan eksistensi nilai-nilai luhur ekologi. Nilai-nilai baru antara lain, hedonisme, mental konsumtif, moral relative, agama relative-malah tak penting, pendewaan ratio, mental up to date yang hiperbolis, perilaku "luar negeri minded".Â
Semua ini buah globalisasi. Ciri utama era ini adalah: jejalan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir; gelombang informasi dari segala penjuru dunia; keterbukaan hubungan komunikasi; transparansi berbagai permasalahan: baik hak asasi maupun ketelanjangan analisis berpikir dan menguraikan pendapat. Dengan segala ciri yang ada, globalisasi merupakan tantangan serius.
 Banyak dampak negatif selain aspek positif era baru ini yang perlu diwaspadai. Sebut saja, bahaya individualisme; adanya pluralisme dalam banyak aspek kehidupan, tentu saja rawan konflik; intervensi ekologi besar-besaran lewat media audiovisual yang berbudaya hedonistik dengan empat sikap-formulasinya: konsumerisme, mumpungisme, sloganisme dan sikap menghina orang kecil.  (Suseno, 1992). Ketidaksiapan-ketidaktahuan generasi sekarang mempribadikan nilai-nilai luhur ekologi semestinya harus disejajarkan dengan arus tantangan sekarang ini. Sebab, arus baru ini akan menggiring manusia menuju suatu arena krisis makna diri. Jika demikian, ekologi bagaikan kayu terseret arus atau layang-layang putus talinya.
Ketiga: benturan dengan perusak ekologi. Ini merupakan salah satu tantangan yang tidak boleh diremehkan. Â Yang jelas, kita tak pernah tahu siapa orang yang berada di baliknya. Kita berhadapan dengan bayangan. Namun, wajah bayangan itu dapat terlihat jelas apabila ada perbedaan persepsi/perspektif dalam menyikapi pertumbuhan ekologi yang sehat. Kaum muda lebih dekat dengan dengan cita-cita luhur ekologi. Dan para perusak lebih dekat dengan kemapanan pribadi dan realitas yang menguntungkan. Maka akan terjadi benturan karena yang satu terpesona oleh cita-cita, yang lain repot mengurus kepentingan pribadi.Â
Pilihannya jelas: kita seharusnya menekankan dimensi masa depan, dimensi yang menghadapkan esensi masa lampau yang masih aktual hingga kini kepada tantangan yang akan kita hadapi di masa datang. Bagaimana menyikapi ekologi di hari esok. Benturan tidak bisa dihindari bila para perusak memotret ekologi dalam perspektif masa kini, sebaliknya kita memotret ekologi dalam perspektif masa depan. Jelas, selalu ada yang tidak benar dan relevan: jatuh dalam ekstrim yang memprihatinkan. Yang satu, menoleh dan mengagungkan masa kini demi melayani kepentingan sesaat, tanpa berpikir tentang masa depan. Yang lain berupaya mengisi, menyiasati masa depan.
Kualifikasi yang Dituntut
Berhadapan dengan tantangan atau krisis ekologi yang sekian berat, kaum muda harus memiliki kualifikasi-kualifikasi yang diandalkan demi meneruskan esensi ekologi yang bermartabat. Di sini, penguasaan dan pemahaman tentang ekologi mutlak diperlukan, malah menjadi kualifikasi vital yang dituntut. Kualifikasi ini penting karena ekologi adalah ideologi sekaligus masa depan. Ekologi memuat orientasi pada tindakan. Ia merupakan pedoman kegiatan untuk mewujudkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pemahaman tentang ekologi juga memberikan persepsi yang menyertai orientasi, pedoman dan komitmen yang berperanan penting dalam mewarnai sikap dan tingkah laku, ketika melakukan tindakan, kegiatan atau perbuatan dalam rangka mewujudkan atau merealisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam ekologi itu sendiri.
Kualifikasi vital lain yang dituntut adalah pemilikan etos kerja. Etos kerja adalah sikap kehendak, sikap yang dikehendaki seseorang terhadap kegiatannya atau bagaimana ia menentukan sikapnya sendiri terhadapnya. Etos kerja juga merupakan suatu ekspresi sikap moral, sikap yang mutlak atau wajib. Etos juga merupakan sikap yang sudah mantap dan menjiwai orang atau sekelompok melakukan sesuatu secara tepat dan benar. Lantas, etos manakah yang harus dimiliki oleh kaum muda? Terdapat beberapa sikap yang diandalkan dan perlu dikembangkan antara lain: efisiensi, kerajinan, sikap tepat pada waktunya, kesederhanaan, kejujuran, sikap mengikuti ratio dalam mengambil keputusan dan tindakan, kesediaan untuk berubah, kegesitan, siap bekerja secara energetis, sikap bersandar pada kekuatan sendiri, sikap mau bekerja sama, kesediaan untuk memandang jauh ke depan (Myrdal, 1991).
Akhirnya, komunikasi menjadi kualifikasi terakhir yang perlu mendapat perhatian. Komunikasi ini terjalin baik di antara komunikasi kaum muda sendiri dan dengan pemerintah. Landasan komunikasi yang dipakai ialah komunikasi sebagai keterbukaan. Sebagai sebuah keterbukaan, maka komunikasi dituntut untuk bersikap terbuka kepada diri sendiri dan orang lain. Keterbukaan kepada diri sendiri mengandaikan adanya kepedulian terhadap kehidupan dan pertumbuhan ekologi dan juga perkembangan insaninya. Sedangkan keterbukaan kepada orang lain hadir secara nyata dalam keikutsertaan dalam pengalaman orang lain. Â Di sini, komunikasi mesti dilandaskan pada fakta dan kebenaran.Â
Fakta dan kebenaran mengantar setiap orang pada cita-cita bersama sebagai manusia di alam ini. Satu hal yang khas lagi adalah telah adanya management of differences (managemen perbedaan-perbedaan). Hal ini mengandaikan terdapat perbedaan antara kaum muda yang satu dengan lainnya. Maka, kepandaian generasi kaum muda untuk berbeda, harus disertai juga kepandaian untuk bersatu. Ketegangan-ketegangan di antara dua kepandaian itu adalah lumrah demi suatu dinamika integrative-konvergen. Pusat perhatiaan hendaklah berdasar bukanlah pada perbedaan-perbedaan dan konflik-konflik, justru sebaliknya dasar kita adalah penerimaan akan selalu tampilnya perbedaan dan munculnya perselisihan-perselisihan dan bagaimana mengatasinya.
Epilog
Ekologi adalah warisan. Dan kaum muda adalah pelaku sejarah bagi kelangsungan manusia. Persoalan akan menjadi serius ketika sebuah generasi merusak tatanan ekologi yang sebenarnya diperuntukkan bagi generasi mendatang. Apabila hal ini terjadi, ekologi menjadi slogan dari masa ke masa yang pada dasarnya kabur. Oleh karena itu berhadapan dengan krisis ekologi yang semakin kompleks, cara penyelesaiannya tidak cukup hanya melibatkan satu atau dua aspek dan disiplin ilmu. Penyelamatan ekologi memerlukan kerjasama antar komponen kaum muda, masyarakat dan antar para ahli dari berbagai latar belakang disiplin keilmuan. Dalam konteks ini keterlibatan para ahli hukum memiliki arti yang sangat strategis, karena untuk meningkatkan martabat ekologi tidak mungkin tanpa pengaturan hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H