Oleh karena itu diperlukan usaha dan edukasi yang terus menerus. Usaha edukasi, tidak hanya sosialisasi, harus dilakukan dengan benar dan tidak boleh hanya sekali. Pembelajaran membutuhkan pengulangan untuk memperkuat melekatnya konsep-konsep penting yang menjadi inti dari masalah---bahkan kebohongan yang diulang-ulang bisa menjadi kebenaran.
Edukasi masyarakat penting karena kita harus memasukkan elemen masyarakat ketika memanajemen lingkungannya masing-masing. Edukasi masyarakat bisa dimulai dari diri sendiri; jangan serta merta melempar tanggung jawab itu kepada para cendekiawan.
Kita bisa memperkaya diri dengan ilmu yang tepat dan terpercaya mengenai isu-isu lingkungan, juga memberikan contoh yang baik; satu teladan lebih baik dari seribu arahan.
Usaha mengedukasi masyarakat penting dimulai ketika karakter dan pola pikir baru dibentuk; anak-anak dari kecil perlu diajari untuk mencintai alam sehingga timbul kesadaran untuk merawatnya sampai dewasa. Selain meninggalkan lingkungan yang lebih baik bagi anak cucu, kita juga harus meninggalkan generasi muda yang lebih baik bagi lingkungan kita.
Meningkatkan kepedulian ekologi
Lalu, bagaimana cara agar kita dapat meningkatkan kepedulian ekologi? Salah satu slogan yang biasa didengar ialah tanah sebagai ibu. Slogan ini bukan hal asing lagi. Namun tanah kita sedang direnggut oleh industri tambang dan perkebunan sawit.
Permasalahan ekologi merupakan aspek urgen dalam penempatan posisi kebudayaan. Namun, kita sedang terjebak. Kekayaan budaya tradisonal ini sedang menghadapi tantangan kebudayaan industri yang begitu besar: era modern yang menjunjung tinggi teknologi dan ilmu pengetahuan untuk sebuah kemajuan.
Kita yang notabene sebagai pewaris tunggal dari kebudayaan, bertanggung jawab akan keberlangsungan dan eksistensi ekologi tersebut. Maka cara peningkatan kepedulian ini ialah dengan menjadikan alam sebagai rumah kita bersama.
Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan kita bahwa "Rumah kita bersama bagaikan saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan bagaikan ibu yang jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka".
Jika kita tidak seperti Santo Fransiskus mendekati alam dan lingkungan dengan keterbukaan untuk kagum dan heran, "Kita akan bersikap seperti tuan, konsumen, pengisap sumber daya, hingga tidak mampu menetapkan batas-batas kebutuhan yang mendesak".
Memang tak mampu dihindari bahwa perkembangan teknologi menjadikan kita lebih mapan. Ada kecenderungan untuk berpikir bahwa peningkatan kekuasaan merupakan peningkatan kemajuan. Hal ini pun diperparah dengan tujuan yang terkadang bersifat individu semata. Maka, nampak jelas bahwa krisis identitas manusia menempatkannya pada persimpangan jalan.