Mohon tunggu...
Hutri Cika Berutu
Hutri Cika Berutu Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada 2015

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konstruksi Sosial : Anti Korupsi atau Nanti Korupsi?

25 Oktober 2015   08:37 Diperbarui: 25 Oktober 2015   10:58 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dewasa ini, berita tentang kasus korupsi semakin banyak ditemukan pada media-media massa di Indonesia. Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya. Karena itu, eksistensi korupsi jelas mengindikasikan bahwa individu atau kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain (Semma, 2008 : 35).

Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia kini seolah-olah menjadi makanan pokok yang dikonsumsi oleh hampir seluruh lapisan penyelenggara pemerintahan. Mungkin hal ini disebabkan karena kita sudah terlalu sering mendengar berita tentang korupsi, baik di surat kabar, televisi, maupun radio. Sehingga, kita mulai mengangap bahwa korupsi merupakan bagian dari “budaya” Indonesia, inilah yang disebut sebagai konstruksi sosial. Menurut Berger dan Luckman, konstruksi sosial adalah pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial

Menurut Indonesia Corruption Watch, jumlah kasus korupsi di Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan. Pada tahun 2013, jumlah kasus korupsi yang tercatat adalah sebanyak 560 kasus, lalu meningkat di tahun 2014 menjadi 629 kasus. Jumlah kasus korupsi yang mencapai ratusan tiap tahun ini membuat timbul konstruksi sosial, dimana masyarakat menganggap bahwa korupsi merupakan hal yang wajar. Contohnya pada majalah tempo edisi 4 November 2013 yang membicarakan tentang kasus korupsi yang dilakukan oleh Ratu Atut Chosiyah, yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur Provinsi Banten. Dalam kasusnya, dikatakan bahwa Atut telah ‘memakan’ dana sosial sebesar 32 M untuk pengadaan alat kesehatan, 44 M untuk pengadaan obat-obatan, dan dana lain yang masih belum jelas. Sementara saat itu masih terdapat lebih dari 400 ribu masyarakat provinsi Banten yang berada di garis kemiskinan.

Bukan hanya itu, pada tahun 2014, publik juga banyak membicarakan tentang kasus penerimaan suap dari importir yang dilakukan oleh Heru Sulastyono, Kepala Subdirektorat Ekspor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Kasus ini akhirnya membuat ia divonis 6 tahun 6 bulan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Masih banyak contoh-contoh selain kedua kasus tersebut.

Banyak penyelenggara negara yang berbicara panjang lebar tentang pemberantasan korupsi. Seorang calon gubernur seperti Ratu Atut misalnya. Ketika ia kampanye, ia berjanji apabila terpilih nanti, ia akan memberantas korupsi. Dalam kenyataan ketika ia sudah terpilih, ia malah melakukan korupsi. Mungkin pada saat ia kampanye, dalam hati ia mengatakan “Nanti korupsi”, bukan “Anti korupsi”.

Mantan wakil presiden kita dulu, Moh. Hatta mempunyai sebuah impian membeli sepatu mahal, tapi sampai akhir hayatnya ia tidak bisa mewujudkan keinginan itu. Kalau seandainya dia mau, ia bisa memanfaatkan jabatannya saat itu. Mungkin, pemimpin yang hidup sederhana seperti Moh.Hatta sudah langka ditemukan sekarang ini. Selain karena niat para pejabat yang ingin memperkaya diri, juga karena konstruksi sosial di masyarakat yang telah ‘membudayakan’ korupsi dan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah.

Daftar Pustaka    :

Anita Rachman, 2015. Sumber lengkap : http://indo.wsj.com/posts/2015/02/18/jumlah-kasus-korupsi-di-indonesia-melonjak/, 13 Oktober 2015

Best SEO, 2013. “Video Daftar Harta Kekayaam Ratu Atut Gubernur Banten Hasil Korupsi”. Sumber lengkap : https://www.youtube.com/watch?v=P94IdClx27I, 13 Oktober 2015

Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi : Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Septian, Anton & Alfiyah, Nur. 2013, 4 November. Ratu Banten di Butik Hermes. Tempo, halaman 36-38

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun