Mohon tunggu...
Husnuz up
Husnuz up Mohon Tunggu... -

Mahasiswi di STKIP Muhammadiyah Sorong

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mengajar di Tempat Pengkajian Al-Qur'an

2 Juli 2013   13:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:07 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tempat pengkajian Al-qur’an merupakan sasaran bagi organisasi Lembaga Mayarakat Gerakan Madani dalam menempatkan tenaga pengajar yang merupakan mahasiswa keguruan. Saya sendiri telah mengajar di lebih dari dua TPA. Masing-masing TPA memiliki karakteristik tersendiri. Baik itu murid-murid TPAnya maupun lingkungan sekitarnya. Untuk TPA terakhir ini, Alhamdulillah saya ditempatkan di sebuah musholla yang murid-muridnya telah terorganisir dalam hal kegiatan di musholla. Mulai dari mengikuti pelajaran tambahan dari kami, wudhu, sholat, bersholawat setelah sholat dan mengaji. Mereka hanya perlu menanyakan “habis ini ngapain mba’?” mereka benar-benar terbiasa untuk sopan dan menghormati.

Mengajar anak-anak TPA termasuk gampang-gampang susah, kita tidak hanya harus menghadapi anak-anak dengan latar belakang keluarga yang berbeda. Tapi juga anak-anak dengan umur yang berbeda-beda. Semuanya dalam satu kelas dan pada waktu yang bersamaan. Kecuali mungkin jika TPA tertentu mempunyai sistemk pengelompokan umur. Tapi sepertinya hal seperti itu tidak terlalu dipakai jika pengajar dan waktu pengajarannya terbatas.

Menghadapi masalah seperti ini sebenarnya tidak terlalu sulit. Semuanya tergantung pada pengajar, jika pengajarnya mampu untuk menguasai keadaan kelas, tidak hanya terfokus pada satu keadaan tertentu sehingga perilaku murid-murid terabaikan, maka proses pembelajaran akan berjalan dengan baik. Jikapun ada anak atau mungkin semua anak-anaknya terlalu ribut dan sulit diatur, seperti yang terjadi pada salah satu TPA yang pernah saya tempati mengajar –masya Allah, murid-muridnya bener-bener bikin geleng-geleng kepala. Ini bisa dikerenakan mereka terbiasa bertindak seenaknya, tidak ada seseorang yang disegani atau ditakuti –misalnya mbah atau pak de. Maka pengajar yang bersangkutan perlu untuk bersikap “sedikit” tegas. Beberapa pengajar yang merupakan mahaiswi yang termasuk lembut dan jarang marah tentu saja merasa sulit dengan keadaan seperti ini. Alasannya adalah marah-marah bukanlah bagian dari diri mereka. Yang harus dipahami adalah bahwa pengajar tidak diharuskan untuk menjadi pemarah. Pengajar hanya diharapkan untuk tidak bersikap terlalu lembut sehingga para muridnya menjadi tidak respek dengannya. Pengajar harus membuat murid-murid merasakan kehadirannya dan membuat mereka memperhatikan apa yang akan diajarkan.

Kembali pada masalah perbedaan umur –ada anak Sekolah Dasar kelas 1-6 dan SMP. Beberapa pengajar bingung dengan program mengajar seperti apa yang akan mereka jalankan. Ada yang mengelompokkan murid-muridnya sesuai dengan umur, namun masalahnya adalah jika dikelompokkan seperti itu, sepertinya kelas tambahan ini tidak lagi menarik –bagi saya. Mungkinkah anak-anak ini akan merasa nyaman dengan kelas tambahan seperti ini? Menurut saya, TIDAK!!

Sebelum lebih lanjut membahas masalah ini, pengajar sebaiknya kembali mengingat tujuan awal mereka. Memberi pelajaran tambahan bagi para murid-murid TPA bukan berarti memberi mereka pelajaran layaknya di sekolah-sekolah formal tempat mereka setiap hari senin hingga sabtu menuntut ilmu. Cukup dengan mengumpulkan mereka dalam satu kelas yang sama, lalu sampaikan apa yang ingin diajarkan, dengan lebih dulu menanyakan “siapa yang tau, apa itu…..?” atau pertanyaan yang membuat mereka tertarik dengan topik tersebut. Bisa kita lihat bagaimana menariknya kelas pelajaran tambahan jika sperti ini. Ingatlah untuk selalu membuat mereka merasa tertarik dengan setiap topik yang ingin disampaikan. Jika kemudian ada anak yang lebih tahu mengenai satu topik, maka arahkan ia untuk aktif menjadi pembicara untuk teman-temannya yang lain. Jadikan kelas terasa asyik bukan hanya bagi anda, tapi juga yang terpenting adalah bagi anak-anak. Kita mengenal suatu teori pembelajaran yang disebut “Teori Pembelajaran Humanistik.” Yang mengakui bahwa semua individu memiliki bakat dan dorongan untuk berkembang dan belajar. Melalui pengertian ini, kita tahu bahwa bakat tentulah ada pada setiap anak. Tinggal kita memberi dorongan dan stimulus agar bakat itu berkembang. Tak perlu khawatir akan perbedaan umur. Biarkan mereka berkumpul dan beriteraksi satu sama lain. Tetapkan satu mata pelajaran pokok bagi kelas pelajaran tambahan anda, -bahasa inggris, namun anda bisa mengajarkan matematika, ipa dan ips sebatas perkenalan dengan bahasa pengantar bahasa inggris. Dengan begini, diharapkan anak-anak TPA tersebut menjadi lebih luas wawasannya.

Di TPA tempat saya mengajar, ada seorang anak yang mempunyai masalah dengan cara berkomunikasi dengan orang lain. Bukan masalah pendengaran tapi dalam hal berbicara –di luar masalah umur. Yang saya perhatikan dalam kelas saya adalah, jika dia menyampaikan sesuatu –misalnya menjawab pertanyaan dari saya. Dan bagi teman-temannya jawabannya itu selalu tidak terdengar jelas –tentu saja selalu begitu. Mereka akan meneriakinya agar memperjelas suaranya. Dan jelas terlihat responnya terhadap teriakan seperti itu, setelah berusaha memperjelas suaranya dan temannya masih berteriak. Dia akan diam. Sebagai pengajar, yang bisa saya lakukan adalah mengatakan, “Good! Jawabannya memang begitu, Kamu memang pintar. Semuanya pintar. Belajar lagi ayo!” berusaha untuk terus memberi dorongan, apapun keadaan anak-anak. Mereka pantas untuk memperoleh perlakuan yang sama.

Kesimpulan yang ingin saya sampaikan pada kesempatan kali ini adalah sebagai individu dengan bakat dan dorongan untuk belajar. Anak-anak memerlukan sesuatu yang disebut fasilisator untuk menstimulasi mereka. Pada setiap penyampain materi, sangat perlu bagi mereka untuk mengetahui apa yang akan mereka pelajari. Setelah itu pengajar perlu mencari tahu seberapa jauh mereka memahami topik tersebut sebelum diterangkan, dengan mengajukan pertanyaan “penarik perhatian.” Kemudian setelah memberikan penjelasan dan yakin bahawa kita telah membuat mereka menjadi lebih tahu apa itu “topik.” Perlu bagi kita untuk meminta keterangan seperti apa mereka memahami apa yang telah kita sampaikan. Pengajar kembali mengajukan pertanyaan “Apa yang dimaksud dengan…..(topik)?” jiak mereka tak bisa memnjawab –hal ini jarang terjadi, mereka hanya belum lancar saat menyampaikan. Maka pengajar hanya perlu membimbingnya dan memastikan anak tersebut mengerti apa yang harus dimengertinya. yaknibahwa ia masih harus terus belajar agar lebih lancar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun