Salah satu yang menarik dalam diskusi pada Temu Konsultasi Bina Paham Keagamaan yang diadakan di Horison Grand Serpong Tangerang Banten (21 - 23 Oktober 2020) adalah tentang pilihan da'i favorit bagi remaja millenial yang berakibat pada kesalahan dalam menjalankan agama, bahkan kekerasan dalam menyebarkan agama.Â
Disinyalir bahwa remaja millenial lebih suka da'i dengan gaya bahasa yang ceplas ceplos cenderung keras meskipun kapasitasnya  tergolong da'i baru,  yang terkenal melalui medsos, dengan kapasitas ilmu yang biasa (beberapa da'i), dan bukan lulusan pesantren. Da'i yang seperti ini lebih dipilih dibanding dengan  yang sudah pernah di pesantren tahunan bahkan belasan tahun.Â
Hal ini merupakan masalah yang patut untuk dikaji, ada apa sebenarnya dengan remaja millenial kita? Jangan sampai hanya menyalahkan tanpa mengkaji apa yang melatarbelakanginya.Â
Juga untuk menghindari jangan sampai terjadi transfer informasi yang tidak sesuai dengan kaidah agama, yang ujung-ujungnya terjadi mis komunikasi bahkan perseteruan/perpecahan antara sesama muslim terutama antara remaja dan orang tua bahkan masyarakat pada umumnya.
Dengan melihat kondisi millenial yang lebih familiar dengan media komunikasi dan elektronik, menjadi salah satu penyebab mereka gandrung dengan da'i orbitan medsos daripada lulusan pesantren yang tidak pernah muncul di layar android.Â
Mereka lebih suka karena lebih mudah mengaksesnya, di setiap waktu dan tempat tanpa harus mengeluarkan energi berlebih. Lebih simpel dan sesuai dengan kriteria remaja milenial. Di samping itu gaya yang ditampilkan oleh da'i yang bisa menyesuaikan dengan selera kebebasan berfikir anak muda yang cenderung kritis, juga menjadi faktor pilihan.
Untuk mengantisipasi terjadinya pemahaman keagamaan yang bermasalah, tentunya tidak bisa hanya dengan menyalahkan pilihan remaja millenial tersebut. Â Para da'i senior atau ilmuwan muslim harus mempunyai metode dakwah yang bisa menembus pemikiran millenial.Â
Karena sebaik dan sepenting apapun materi yang  akan disampaikan tetapi dikemas dengan metode yang tidak menarik, maka materi itu menjadi kurang berarti.  Kata bijak mengatakan "At-Thariqatu ahammu minal maddah", artinya metode lebih penting dari materi itu sendiri.Â
Hendaknya para pendakwah juga harus menyelaraskan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak boleh gaptek. Dan  juga senantiasa bisa menjadi penyeimbang atas isu-isu miring yang bermunculan dengan menjadi moderasi dalam pelaksanaan ajaran dakwah Islam.Â
Harapan ke depan adalah bisa memberikan dampak positif dalam  perannya menyebarkan nilai-nilai agama yang rahmatan lil alamin,  dakwah Islam lebih berkembang dengan damai, dan dapat mengantisipasi munculnya paham keagamaan yang bermasalah di tengah masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H