Mohon tunggu...
husnul khatimah
husnul khatimah Mohon Tunggu... Administrasi - Sedang belajar menulis

Sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rahasia Ayah

31 Desember 2020   10:10 Diperbarui: 31 Desember 2020   10:23 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini kudedikasikan untuk Ayah-Semoga Allah Merahmatinya-, aku berada di posisi ini sekarang berkat Taufiq Allah Jalla Wa 'Ala ditunjang didikan tegas lagi disiplin beliau. Tulisan ini telah diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul "Ketulusan Jiwa, Puisi dan Cerpen Terbaik" sebuah event menulis bareng yang diselenggarakan oleh DokterNulis.com, terimakasih atas kesempatan dan apresiasinya.

Pagi ini ruangan dekan Fakultas Ekonomi diliputi suasana yang cukup dingin ditambah dengan pendingin ruangan yang berhembus kencang tepat di atas posisiku duduk saat ini. Entah kenapa setiap memasuki ruangan gedung fakultas rasa deg-degan selalu mengiringi, mungkin pengalaman bimbingan skripsi yang menguras emosi dan pikiran membuatku sedikit trauma jika harus mendatangi gedung ini lagi.

"Bapak kamu kepala diknas?," pertanyaan bapak dekan memecah suasana yang sedikit kaku. "Bukan pak, hanya seorang kepala sekolah," jawabku sedikit gugup. "Tapi di sini golongannya sudah IVC sedikit lagi sudah IVD," ujarnya menerangkan sebuah jenis golongan PNS yang baru kupahami saat itu sambil terus membaca lembaran kertas di tangannya. "Ayah sudah meninggal pak, sudah dua tahun lalu sewaktu saya masih semester empat,"jawabku pelan. "Maaf, sayang sekali ya, sedikit lagi bapakmu sudah bisa menjadi kepala diknas," jawaban singkat itu pada akhirnya menguak sedikit demi sedikit tentang sepak terjang beliau semasa hidup.

Yah percakapan tadi untuk keperluan surat keterangan yang harus beliau tanda tangani untuk kelengkapan persyaratan yang harus kupenuhi sebelum menyelesaikan perkuliahan. Pertemuanku pagi ini dengan bapak dekan pada akhirnya merubah persepsiku selama ini akan sosok seorang ayah.

                                                                                                                             ***

"Ayah aku mau beli buku paket untuk semua mata pelajaran," ucapku suatu saat beliau sedang berkebun di halaman belakang rumah, saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. "Belinya yang penting-penting saja," jawab beliau singkat, kata penting-penting itu bermaksud bahwa tidak semua buku pelajaran harus aku beli cukup dipilih mana yang paling penting dan kalimat itu sebenarnya aku sudah tahu akan meluncur dari bibirnya, namun pikirku mencoba tidak mengapa meski jawaban itu sudah aku hafal sejak duduk di bangku Sekolah Dasar.

Sehingga tidak heran jika hampir seluruh kebutuhanku aku jarang meminta kepada orang tua kecuali hal yang sangat mendesak seperti membayar SPP karena tabunganku tidak mencukupi. Beli yang penting-penting itu tidak hanya berlaku pada perlengkapan sekolah bahkan untuk kebutuhan sehari-hari seperti pakaian dan kelengkapan selayaknya remaja putri lainnya.

Masih terekam jelas di memori kecilku saat itu bagaimana aku ditolak ketika meminta untuk mengikuti kursus bahasa Inggris seperti teman-teman SMP ku masa itu. "Kakakmu sudah lebih dulu ikut kursus komputer, kamu ngalah saja dulu," jawaban singkat beliau sukses membuat air mataku meluncur begitu saja tak tertahankan.

Betapa tidak sebagai anak tengah aku selalu merasa dianaktirikan, jarang sekali kedua orangtuaku memenuhi keinginanku, padahal aku anak yang cukup berprestasi di bidang akademik, bahkan ketika aku memenangkan lomba dan meraih peringkat pertama di sekolah sekalipun mereka tidak pernah memberiku hadiah. Aku selalu berpikir bahwa ibuku lebih menyayangi kakakku dan adikku lebih disayangi oleh ayahku, ketika mereka meminta maka tak butuh lama langsung diberikan.

Kondisi seperti itu menjadikanku anak yang mandiri, sangat jarang aku membelanjakan uang jajan bahkan seringnya menahan lapar di sekolah hanya utuk ikut kursus, bahkan kelak uang tabungan itu yang kupakai untuk berangkat kuliah di salah satu universitas pencetak guru terkemuka di kota Makassar, sebuah kampus impianku sejak kecil.

                                                                                                                                       ***

Tepat sebulan sebelum menyelesaikan studi di jenjang SMA ujian hidup menimpa keluarga kami, ayah menderita stroke yang memaksa beliau untuk harus tinggal di Rumah Sakit dalam waktu yang lama bahkan sudah mengajukan pensiun dini. Kondisi ini tentu berdampak pada finansial keluarga sebagai satu-satunya pencari nafkah, yah di masa itu belum lazim bahkan aib jika istri ikut bekerja di luar rumah. Kakakku pada akhirnya lebih memilih untuk bekerja daripada melanjutkan kuliah.

Rupanya waktu itu aku disuruh mengalah untuk tidak ikut kursus karena kakakku ikut kursus komputer untuk persiapan bekerja selepas SMA, untuk membantu ekonomi keluarga, kondisi kesehatan ayah yang mulai menurun, padahal beliau tergolong orang yang sangat menjaga kesehatan dan asupan gizi. Seluruh makanan di rumah berasal dari tanaman halaman rumah kami, ayah hobi bercocok tanam dan beternak.

"Maaf ya nak sepertinya kamu tidak bisa melanjutkan kuliah, adik-adikmu masih sekolah," ucap ibu hati-hati suatu saat sepulangku dari tempat kursus, yah aku memang masih punya dua adik di bangku SMP dan SMA. Aku sedih sekali bagaimana mungkin ayahku yang seorang kepala sekolah tidak bisa membiayai kami.

Sebagai seorang kepala sekolah aku tidak melihat ada barang berharga di rumahku, parabola dan DVD player yang marak saat itu dimiliki setiap rumah di tempat tinggal kami pun kami tak punya, ayah juga berangkat ke sekolah dengan sepeda ontel atau vespa bututnya, yang jikalau ia memakai motor dinas dari kantor kami tidak dibolehkan untuk ikut serta dengan alasan mengantar anak sekolah itu urusan pribadi bukan dinas. Yah beliau memang amanah, sehingga tak jarang saudaraku protes kenapa kami tidak seperti anak kepala sekolah lainnya di masa itu.

                                                                                                                        ***

Di sinilah aku berdiri di depan pusara ayahku yang telah tiada, gundukan tanah yang kini telah rata itu menunjukkan telah lama pula ia bersemayam di bawah sana. Beliau tak bisa mendampingiku di hari wisudaku, bayangan sikap tegas dan nasehatnya berkelebat di kepalaku.

Kusesali semua rasa kesal dan amarahku padanya, ternyata selama ini sikap beliau yang keras dalam mendidik kami terlebih padaku karena beliau ingin kami putri-putrinya tumbuh jadi wanita mandiri dan kuat, mungkin ia mempersiapkan usianya takkan lama untuk mengiringi kami sampai diserahkan kepada lelaki yang kelak membimbing kami dalam bingkai pernikahan dunia akhirat, seperti yang dilakukan ayah lainnya.

Air mata penyesalan tak terbendung tak sempat meminta maaf padanya bahkan tak sempat melihatnya dimasukkan ke dalam liang lahat, karena aku sedang menempuh studi di provinsi berbeda, perjalanan memakan waktu dua hari dengan bus karena tak mampu membayar tiket pesawat.

Ayah yang seorang tulang punggung di keluarganya berperan menyekolahkan adik-adiknya sampai selesai yang baru disampaikan paman, adik ayahku setelah wisuda karena beliau yang menjadi pendamping wisudaku.

Ayah yang baru saja kuketahui dari penuturan sahabat karibnya bahwa ia yang menaggung kehidupan seorang bayi yang ibunya meninggal setelah melahirkannya dan ayahnya ikut meninggalkannya.

Ayah yang ternyata memiliki jabatan fungsional yang terbilang tinggi yang lagi-lagi baru kuketahui dari bapak dekan, selalu menunjukkan sisi kesederhanaannya dan menyembunyikan semua manfaat yang telah diberikannya pada sesama insan.

 Tulisan ini kudedikasikan untuk ayahanda tercinta, semoga Allah Jalla Wa 'Ala mengaruniakan ampunan dan rahmahnya kepadanya, segala amalan yang selama ini engkau rahasiakan semoga menjadi wasilah dilapangkannya kuburmu, diterangi, dan siksaanmu diringankan, dan semoga engkau wahai ayahku di tempatkan di Jannatil Firdaus dan kita dapat berkumpul lagi kelak, doaku selalu mengirimu dan maafkanlah anakmu ini.

Sukabumi, 19 November 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun