Tulisan ini kudedikasikan untuk Ayah-Semoga Allah Merahmatinya-, aku berada di posisi ini sekarang berkat Taufiq Allah Jalla Wa 'Ala ditunjang didikan tegas lagi disiplin beliau. Tulisan ini telah diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul "Ketulusan Jiwa, Puisi dan Cerpen Terbaik" sebuah event menulis bareng yang diselenggarakan oleh DokterNulis.com, terimakasih atas kesempatan dan apresiasinya.
Pagi ini ruangan dekan Fakultas Ekonomi diliputi suasana yang cukup dingin ditambah dengan pendingin ruangan yang berhembus kencang tepat di atas posisiku duduk saat ini. Entah kenapa setiap memasuki ruangan gedung fakultas rasa deg-degan selalu mengiringi, mungkin pengalaman bimbingan skripsi yang menguras emosi dan pikiran membuatku sedikit trauma jika harus mendatangi gedung ini lagi.
"Bapak kamu kepala diknas?," pertanyaan bapak dekan memecah suasana yang sedikit kaku. "Bukan pak, hanya seorang kepala sekolah," jawabku sedikit gugup. "Tapi di sini golongannya sudah IVC sedikit lagi sudah IVD," ujarnya menerangkan sebuah jenis golongan PNS yang baru kupahami saat itu sambil terus membaca lembaran kertas di tangannya. "Ayah sudah meninggal pak, sudah dua tahun lalu sewaktu saya masih semester empat,"jawabku pelan. "Maaf, sayang sekali ya, sedikit lagi bapakmu sudah bisa menjadi kepala diknas," jawaban singkat itu pada akhirnya menguak sedikit demi sedikit tentang sepak terjang beliau semasa hidup.
Yah percakapan tadi untuk keperluan surat keterangan yang harus beliau tanda tangani untuk kelengkapan persyaratan yang harus kupenuhi sebelum menyelesaikan perkuliahan. Pertemuanku pagi ini dengan bapak dekan pada akhirnya merubah persepsiku selama ini akan sosok seorang ayah.
                                                               ***
"Ayah aku mau beli buku paket untuk semua mata pelajaran," ucapku suatu saat beliau sedang berkebun di halaman belakang rumah, saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. "Belinya yang penting-penting saja," jawab beliau singkat, kata penting-penting itu bermaksud bahwa tidak semua buku pelajaran harus aku beli cukup dipilih mana yang paling penting dan kalimat itu sebenarnya aku sudah tahu akan meluncur dari bibirnya, namun pikirku mencoba tidak mengapa meski jawaban itu sudah aku hafal sejak duduk di bangku Sekolah Dasar.
Sehingga tidak heran jika hampir seluruh kebutuhanku aku jarang meminta kepada orang tua kecuali hal yang sangat mendesak seperti membayar SPP karena tabunganku tidak mencukupi. Beli yang penting-penting itu tidak hanya berlaku pada perlengkapan sekolah bahkan untuk kebutuhan sehari-hari seperti pakaian dan kelengkapan selayaknya remaja putri lainnya.
Masih terekam jelas di memori kecilku saat itu bagaimana aku ditolak ketika meminta untuk mengikuti kursus bahasa Inggris seperti teman-teman SMP ku masa itu. "Kakakmu sudah lebih dulu ikut kursus komputer, kamu ngalah saja dulu," jawaban singkat beliau sukses membuat air mataku meluncur begitu saja tak tertahankan.
Betapa tidak sebagai anak tengah aku selalu merasa dianaktirikan, jarang sekali kedua orangtuaku memenuhi keinginanku, padahal aku anak yang cukup berprestasi di bidang akademik, bahkan ketika aku memenangkan lomba dan meraih peringkat pertama di sekolah sekalipun mereka tidak pernah memberiku hadiah. Aku selalu berpikir bahwa ibuku lebih menyayangi kakakku dan adikku lebih disayangi oleh ayahku, ketika mereka meminta maka tak butuh lama langsung diberikan.
Kondisi seperti itu menjadikanku anak yang mandiri, sangat jarang aku membelanjakan uang jajan bahkan seringnya menahan lapar di sekolah hanya utuk ikut kursus, bahkan kelak uang tabungan itu yang kupakai untuk berangkat kuliah di salah satu universitas pencetak guru terkemuka di kota Makassar, sebuah kampus impianku sejak kecil.
                                                                    ***