Mohon tunggu...
husnul fauziyah
husnul fauziyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang mahasiswa yang menyukai dunia coretan tinta hitam di atas kertas putih

Suka bunga matahari

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Semenanjung Korea: Titik Api Nuklir yang Mengancam Perdamaian Dunia - Urgensi Diplomasi Transformatif dan Peran Kritis Indonesia

31 Agustus 2024   12:10 Diperbarui: 31 Agustus 2024   12:25 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenanjung Korea telah lama menjadi salah satu titik api geopolitik paling volatile di dunia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, situasi di kawasan ini telah berkembang menjadi ancaman eksistensial bagi perdamaian dan keamanan global. Program nuklir Korea Utara yang semakin agresif, ditambah dengan dinamika kompleks yang melibatkan kekuatan-kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia, telah menciptakan "perfect storm" yang berpotensi memicu konflik nuklir dengan konsekuensi katastrofik bagi seluruh umat manusia.

Menurut laporan terbaru dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Korea Utara diperkirakan telah meningkatkan stok hulu ledak nuklirnya dari 40-50 pada tahun 2021 menjadi 60-70 pada tahun 2023 (SIPRI Yearbook, 2023). Lebih mengkhawatirkan lagi, kemajuan dalam teknologi rudal balistik antar-benua (ICBM) Korea Utara telah mencapai titik di mana sebagian besar wilayah

Amerika Serikat kini berada dalam jangkauan serangan nuklir potensial. Eskalasi ketegangan baru-baru ini, yang ditandai dengan serangkaian uji coba rudal Korea Utara dan latihan militer berskala besar oleh aliansi AS-Korea Selatan-Jepang, telah mendorong "Jam Kiamat" (Doomsday Clock) yang dikelola oleh Bulletin of the Atomic Scientists ke posisi 90 detik sebelum tengah malam -- posisi terdekat dengan bencana global dalam sejarah (Bulletin of the Atomic Scientists, 2023).

Implikasi dari konflik nuklir di Semenanjung Korea akan jauh melampaui batas-batas regional. Simulasi yang dilakukan oleh peneliti dari Rutgers University menunjukkan bahwa pertukaran nuklir terbatas antara Korea Utara dan Amerika Serikat dapat mengakibatkan penurunan suhu global rata-rata sebesar 1,5C selama satu dekade, menyebabkan kegagalan panen massal dan kelaparan global yang dapat mempengaruhi lebih dari 2 miliar orang (Coupe et al., 2023).

Bagi Indonesia, sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, ancaman ini memiliki dimensi keamanan, ekonomi, dan kemanusiaan yang kritis. Studi terbaru oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperkirakan bahwa konflik nuklir di Semenanjung Korea dapat menyebabkan penurunan PDB Indonesia hingga 5,7% dalam tahun pertama, dengan efek berkelanjutan selama lebih dari satu dekade (LIPI, 2023).

Menghadapi ancaman eksistensial ini, diperlukan pendekatan diplomasi transformatif yang radikal dan inovatif. Indonesia, dengan posisi uniknya sebagai negara non-blok terbesar dan anggota G20, memiliki peluang dan tanggung jawab untuk memainkan peran kunci dalam mengatasi krisis ini. Langkah pertama yang kritis adalah pembentukan "Nusantara Peace Bridge", sebuah forum dialog multilateral inovatif yang menggabungkan elemen-elemen dari Six-Party Talks yang pernah ada dengan pendekatan "track 1.5 diplomacy" yang lebih inklusif. Forum ini akan melibatkan tidak hanya pemerintah, tetapi juga aktor non-negara seperti korporasi multinasional, lembaga think tank, dan tokoh agama, menciptakan jaringan stakeholder yang lebih luas untuk perdamaian.

Paralel dengan upaya diplomatik ini, Indonesia dapat memprakarsai Program Pertukaran Nuklir untuk Pembangunan (PNUP), mengadaptasi konsep "oil-for-food" yang pernah diterapkan di Irak. Program ini akan melibatkan konsorsium internasional yang dipimpin oleh Indonesia, di mana Korea Utara secara bertahap menukar aset nuklirnya dengan bantuan pembangunan yang substansial, menawarkan insentif ekonomi yang signifikan sambil memastikan verifikasi yang ketat.

Untuk memperkuat kerangka kerja hukum regional, Indonesia harus mempromosikan pembentukan Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Timur Laut (NEANWFZ), memperluas konsep Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ) yang sudah ada. Inisiatif ini akan menciptakan landasan untuk denuklirisasi bertahap di seluruh kawasan, termasuk Semenanjung Korea, Jepang, dan Taiwan.

Memanfaatkan posisinya sebagai salah satu negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim, Indonesia dapat memimpin inisiatif diplomasi iklim-keamanan yang inovatif, menghubungkan isu keamanan nuklir dengan ketahanan iklim. Proposal untuk mengalihkan anggaran militer ke proyek-proyek mitigasi dan adaptasi iklim di kawasan dapat menjadi langkah konkret dalam upaya ini.

Untuk meningkatkan kapasitas respons krisis regional, Indonesia harus mendorong perluasan format ASEAN+3 menjadi mekanisme ASEAN+4 Crisis Response, yang melibatkan ASEAN, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Korea Utara. Mekanisme ini akan fokus pada pencegahan konflik dan manajemen krisis, dengan protokol komunikasi darurat dan prosedur de-eskalasi yang jelas.

Dalam upaya membangun jembatan antar masyarakat, Indonesia dapat memanfaatkan jaringan pesantrennya yang luas untuk meluncurkan Santri for Peace Initiative. Program pertukaran budaya dan pendidikan ini akan melibatkan pemuda dari Korea Utara, Korea Selatan, dan negara-negara ASEAN, menciptakan generasi baru "duta perdamaian" di kawasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun