Mohon tunggu...
Husnul Khotimah
Husnul Khotimah Mohon Tunggu... -

komunikasi unsoed 2010 \r\n @nuiunuii\r\nhusnul8@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Potret Kemiskinan Kampung Dayak di Purwokerto

15 Juni 2012   09:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:57 2878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_182713" align="alignnone" width="300" caption="suasana kampung Dayak Purwokerto"][/caption]

bocah kecil berlarian menelusuri gang, ibu ibu berkumpul mengeluhkan nasibnya, rumah – rumah tak layak meghiasasi setiap lekukan  jalan, tumpukan kayu bakar tersusun asal disetiap lorong rumah merupakan gambaran Kampung Sri Rahayu, Purwokerto Selatan. Himpitan ekonomi yang semakin mencekik golongan menengah kebawah di Indonesia tidak hanya dirasakan oleh rakyat pinggiran di ibu kota. Kota Satria yang merupakan ibu kota dari Kabupaten Banyumas ternyata ikut merasakan juga himpitan ekonomi tersebut. Tingkat kemiskinan dan rumah tidak layak huni setiap tahunnya semakin bertambah. Hal itu tergambar pada sebuah kampung di Purwokerto, bernama Kampung Dayak. Sebenarnya, Kampung Dayak bukan nama asli dari kampung ini,  melainkan Kampung Sri Rahayu. “Bukan karena penghuninya yang asli orang dayak, tetapi karena banyak orang yang keluar masuk kampung ini. Mereka hanya tinggal paling lama sebulan, selain itu kampung ini dihuni dengan waria atau banci,” urai Bapak Setiyono, ketua RT Sri Rahayu. Kampung yang hanya terdiri dari 155 kepala keluarga, dengan pendapatan rata – rata dibawah Upah Minimum Rakyat (UMR) merupakan sebuah potret kehidupan bahwa kemiskinan tidak hanya melanda kota besar saja. Berdasarkan data penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) Kabupaten / Kota Banyumas tahun 2011, jumlah keluarga fakir miskin mencapai 94.451 KK dan baru 1.250 yang ditangani. Sedangkan untuk keluarga berumah tak layak huni mencapai 22.408 KK dan baru 30 rumah yang sudah ditangani. Permasalahan yang ada tidak diikuti dengan penanganan yang tepat dari pemerintah. Apabila kita cermati lebih lanjut, di kampung ini lebih dari 60 KK yang dikategorikan miskin dalam satu RT. Jika dalam sebuah kecamatan terdapat 5 RT, maka sudah 300 KK yang miskin. Siapa yang menyangka bahwa ada sebuah kampung yang secara tidak langsung mengklasifikasikan dirinya sebagai kumpulan pekerja informal yang memiliki keterbatasan secara finansial, sehingga mereka membuat sebuah kampung bernama Sri Rahayu atau lebih dikenal dengan sebutan Kampung Dayak. Mayoritas profesi sebagai pengamen, pengemis, bahkan PSK merupakan jalan satu – satunya bagi mereka untuk memenuhi kehidupan sehari - hari. Profesi yang dianggap layak seperti pengusaha asongan, kuli, tukang batu dan supir justru menjadi profesi yang minoritas dikampung ini. Kampung ini seolah - olah membuat pagar,  bahwa hanya profesi tertentu saja yang dapat tinggal di kampung ini, serta membatasi pergaulannya dengan dunia luar kecuali ketika profesi mereka menuntut belas kasihan orang dijalan. Rendahnya pendidikan, minimnya lapangan kerja, serta nihilnya uluran tangan dari pemerintah membuat warga dari kampung ini hanya mengandalkan kemampuannya yang terbatas. Sungguh ironi memang, apabila kita menelusuri lebih lanjut tentang penghasilan yang tidak sebanding dengan usaha dan kerja keras mereka. Menurut Ibu Siur (38 tahun) sebagai seorang pengamen jalanan, penghasilan Rp. 20.000,- per hari tidak dapat mencukupi biaya makan dia dan seorang anaknya. Tidak jauh berbeda dengan Ibu Siur, Ibu Emi (32 tahun) mantan pekerja seks komersial (PSK) yang sekarang telah menjadi tukang asongan, mengaku bahwa pendapatan Rp. 20.000,- per hari ditambah upah suaminya sebagai tukang rongsok dan parkir, tetap saja tidak dapat mencukupi biaya kehidupan sehari – hari. Janji manis pemerintah yang telah terurai saat pemilihan umum dahulu, bak pasir yang ditelan ombak, musnah begitu saja seiring dengan masa pemerintahannya. Pemberian bantuan nampaknya tidak selalu tepat sasaran, banyak sekali bukti yang mendukung bahwa orang mampu justru ikut menikmati hak orang miskin. Bantuan langsung tunai atau BLT yang telah dipublikasikan dan dibanggakan sebagai subsidi langsung dari pemerintah justru tidak pernah mereka dapatkan. Kurang lebih sepuluh tahun desa ini berdiri, selama itu pula bantuan pemerintah hanya berupa program beras miskin dan PM (ekonomi uang) yang diberikan pemerintah sebagai “dana pinjaman” yang harus diganti beserta bunga 5 – 10 % perbulan. “Bupati Banyumas pernah berjanji akan membuka lapangan pekerjaan baru untuk kalangan bawah agar dapat meningkatkan penghasilan masyarakat. Namun sepertinya beliau telah lupa terhadap janjinya atau hal tersebut hanya kiasan saat kampanye saja.” Tegas Shinta, Dosen Komunikasi Pembangunan, Universitas Jenderal Soedirman. Selain penghasilan yang membuat mereka dikategorikan sebagai keluarga miskin, indikator rumah tidak layak huni menyempurnakan status mereka dalam deretan daftar orang fakir dan miskin di Indonesia. Rumah yang hanya beratap genteng bekas, berpondasikan bambu, berdinding kayu lusuh, beralaskan lantai dari tanah atau semen seadanya merupaka satu – satunya tempat bagi mereka dengan keluarganya berlindung dari sengatan matahari dan udara malam yang menusuk. Kemudian ketika mereka ingin memasak, maka mereka harus menyulut api ke kayu terlebih dahulu, karena tidak mampu membeli minyak tanah atau gas. Menurut Dinas Sosial Kabupaten Banyumas Republik Indonesia, terdapat 14 Dari indikator mengenai kategori kemiskinan, warga Kampung Sri Rahayu rata – rata memenuhi sebanyak 6 sampai dengan 9 indikator tersebut, sehingga dikategorikan sebagai keluarga hampir miskin. “Sebenarnya tidak ada barometer kemiskinan secara pasti, namun ketika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, maka dia layak dikatakan miskin” ujar Shinta, Dosen Komunikasi Pembangunan, Universitas Jenderal Sedirman. Lalu bagaimana kelanjutan nasib warga Kampung Sri Rahayu ini, apakah mereka layak selamanya mendapatkan julukan “Kampung Dayak” ? Kemanakah mengalirnya bantuan langsung yang seharusnya mereka dapatkan, jika selama ini Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas saja terlihat acuh dalam penanganannya. Sudah saatnya masyarakat Kampung Sri Rahayu terbebas dari jeratan kemiskinan dan profesi informal yang seharusnya tidak perlu mereka lakukan.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun