Mohon tunggu...
Husnul Ibad
Husnul Ibad Mohon Tunggu... -

Juventus FC | Coffee | Blogger www.ibadhusnul.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sepak Bola dan Uang

22 Juni 2018   19:20 Diperbarui: 22 Juni 2018   22:42 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: www.bigbet99.co

Saya masih ingat betul, saat saya duduk di bangku sekolah dasar, saat itu saya mulai mengenal sepakbola melalui koran yang menjadi langganan orang tua saya. Pengetahuan saya bertambah kala saya mengikuti pelajaran olahraga dan membahas tentang sepakbola.

Rasanya, sepakbola dan olahraga lainnya memiliki suatu dasar yang mungkin sudah kita ketahui bersama, yaitu sportifitas. Meski luaran dari seluruh cabang olahraga adalah hiburan bagi para penikmatnya.

Bagi para penikmat sepakbola, rasanya tidak asing dengan nama-nama Ajak Amsterdam dari Belanda, Parma dari Italia, Barcelona dari Spanyol, Arsenal dari Inggris, dan beberapa tim sepakbola lainnya. Keempat tim yang saya sebutkan di atas hanyalah contoh dari beberapa tim di Eropa yang memiliki akademi sepakbola terbaik dan melahirkan bintang-bintang sepakbola terkenal dimasanya.

Siapa yang tak kenal Patrick Kluivert, penyerang asal negeri kincir Belanda yang merupakan jebolan dari Ajax Amsterdam. Siapa juga yang tak kenal Gianluigi Buffon, penjaga gawang termahal di eranya yang memulai karir dari akademi sepakbola Parma. Yang terakhir, mega bintang Lionel Messi. Seorang bocah ajaib asal akademi Barcelona yang menorehkan begitu banyak prestasi bersama tim asal Catalunya tersebut. 

Tiga pemain di atas hanyalah segelintir contoh yang menafsirkan bahwa sepakbola adalah suatu ajang yang bisa melahirkan begitu banyak nama besar yang tidak akan dilupakan para penikmatnya.

Seiring dengan perkembangan zaman, nilai-nilai dari sepakbola kian memudar. Dasar olahraga yang bernama sportifitas kian menjauh dari maknanya. Sebab dimasa kini, sepakbola bukan lagi tentang sportifitas, melainkan tentang bisnis.

Berita tentang kepindahan Cristiano Ronaldo dari Manchester united ke Real Madrid pada tahun 2009 lalu begitu menggemparkan publik. Adalah nilai transfer CR7 (julukan Cristiano Ronaldo) yang membuat para penikmat sepakbola mendadak kaget, yaitu sebesar 94 juta euro. Bagi sebagian penikmat sepakbola, nilai tersebut  rasanya wajar, mengingat ability dan permainan CR7 yang sangat menonjol dan berpengaruh bagi Manchester united kala itu. 

Namun ada juga pihak-pihak yang berfikir bahwa nilai trasfer tersebut telah merusak harga dalam bursa transfer pemain. Sebab selama beberapa tahun terakhir belum ada pemain yang semahal itu. Saat itu rekor pemain termahal masih dipegang Zinedine Zidane saat kepindahannya dari Juventus ke Real Madrid dengan mahar 77,5 juta euro.

Puncak dari transfer pemain yang gila-gilaan adalah saat Neymar diboyong PSG dari Barcelona dengan mahar 222 juta euro pada awal musim lalu. Seolah tidak mau kalah, Barcelona yang selama ini terkenal dengan akademi sepakbolanya juga ikut terbawa arus transfer besar-besaran dengan mendatangkan Ousmane Dembele dari Borussia Dortmund dengan mahar 105 juta euro dan Philippe Coutinho dari Liverpool dengan mahar 120 juta euro. Keduanya kini bertengker di bawah Neymar sebagai tiga besar deretan pemain termahal dunia.

Sebuah tim sepakbola umumnya memiliki sekolah akademi yang di dalamnya terdapat beberapa pemain binaan untuk kemudian dilatih dan dibina dengan tujuan mereka akan mengisi skuad tim senior di masa yang akan datang.  Ini yang terjadi pada Barcelona. 

Publik mungkin masih ingat dengan indahnya permainan tiki-taka Barcelona era Pep Guardiola yang di dalamnya mayoritas dihuni squad dari akademi Catalunya. Bukan hanya itu, beberapa dari mereka juga turut andil dalam kesuksesan spanyol membawa Piala Dunia 2010 Afrika ke negeri  matador tersebut.

Kini yang terjadi adalah kebalikannya. Pasca pensiun Xavi hernandez musim lalu dan musim terakhirnya Andres iniesta tahun ini, seolah Barcelona kehilangan kader untuk menggantikan keduanya sebagai pangeran lapangan tengah. Lain halnya dulu saat Xavi dan Iniesta muda dikader untuk mengisi posisi yang akan ditinggalkan Philipp Cocu dan Guardiola di lini tengah Barcelona.

Sampai dengan saat ini, rasanya sudah mulai sedikit akademi sepakbola yang bisa melahirkan calon pemain professional. Setiap tim berlomba-lomba untuk bersaing dalam bursa transfer pemain di musim panas. Bukan lagi berlomba-lomba untuk mencetak calon-calon pemain terbaik dari akademi mereka.

Bahkan mindset dari beberapa pemain sepakbola professional kini banyak yang berubah. Alih-alih mengerjar karir mereka dalam dunia sepakbola, mereka justru banyak yang pindah ke liga amatir namun gaji yang mereka dapat sangat besar. Seperti Oscar, Carlos Tevez, Pepe, dan Hulk.

Selain transfer besar-besaran tersebut, ada hal lain yang dicurigai mencoreng nilai sportifitas dalam dunia sepakbola, yaitu skandal pengaturan skor. Para penikmat sepakbola mungkin masih ingat bagaimana Juventus bisa terdegradasi ke Serie B pada tahun 2006 karena kasus suap dan pengaturan skor, atau yang lebih akrab disebut calciopoli.

Saya pernah membaca beberapa artikel tentang skandal pengaturan skor, tepat saat Juventus terkena kasus tersebut. Sebagai salah satu fans dari tim sepakbola asal kota Turin, Italia tersebut, saya hanya ingin mengetahui bagaimana proses yang terjadi di dalamnya sehingga hal ini bisa menimpa Juventus.

Pada skandal pengaturan skor, ada empat pihak yang terlibat. Satu pihak terlibat secara langsung, yaitu bandar judi, dan tiga lainnya terlibat secara tidak langsung, yaitu wasit, pelatih, dan pemain. Adapun hal yang melatar belakangi skandal pengaturan skor ini adalah uang. Sepakbola adalah olahraga yang paling diminati diseluruh penjuru dunia. 

Minat yang tinggi tentu berkorelasi dengan angka bursa judi bola yang semakin melambung tinggi. Disini bandar judi mulai memainkan peran. Berbekal posisinya sebagai stakeholder pundi-pundi uang, bandar akan bekerja sama dengan beberapa pihak yang dirasa mampu mendukung visinya. Mereka adalah wasit, pelatih, dan pemain. Namun bukan berarti ketiganya akan mampu disuap. 

Hanya ada segelintir yang mampu diajak kerjasama. Mereka adalah wasit, pelatih, dan pemain yang terlibat dalam liga-liga yang tidak terlalu terkenal. Sebab wasit-wasit di liga top eropa telah memiliki sertifikasi dari UEFA dan mayoritas bertindak professional.

Namun, melihat kasus yang terjadi pada Juventus tahun 2006. Bukan tidak mungkin skandal pengaturan skor yang saat itu sudah mewabah sampai ke Liga Italia, kini akan semakin mewabah ke liga-liga top eropa. Minimnya esensi akan sportifitas dalam sepakbola tentunya akan mempengaruhi kualitas dari suatu pertandingan sepakbola. Bukan tidak mungkin. Bisa jadi saat ini skandal pengaturan skor sudah menjamur sampai Liga Champions Eropa atau bahkan Piala Dunia yang saat ini sedang kita nikmati bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun