"Saya belum periksa, Kak. Motornya masih di pinggir jalan," jawabnya.
Seorang tukang ojek yang ada di sana ikut membantu dan menyarankan adik itu untuk mencoba menyalakan motornya di pangkalan ojek. Dengan hati-hati, dia menyalakan motornya. Mesin hidup, suara normal. Alhamdulillah, saya kembali mengucap syukur dalam hati, merasa beban yang berat sedikit terangkat.
"Alhamdulillah, motornya baik-baik saja. Saya benar-benar minta maaf, Dik. Tadi saya kaget karena klakson bis itu," kata saya dengan penuh penyesalan.
Dia tersenyum lagi, "Aman, Kak. Saya baik-baik saja."
Saya bertanya, "Kamu mau kemana?"
"Saya mau antar barang, Kak. Tapi tidak apa-apa, motornya juga tidak rusak. Terima kasih ya, Kak, sudah menanyakan kondisi saya."
Saya tersenyum, meski masih dengan hati yang berdegup cepat. "Terima kasih juga sudah memaafkan, ya. Hati-hati di jalan."
Dia mengangguk, mengucapkan salam, dan berlalu. Tukang ojek yang membantu kami juga tersenyum, "Alhamdulillah, Bu, tidak ada yang terluka. Ibu hati-hati di jalan ya."
Saya mengangguk, air mata mulai mengalir tanpa bisa saya tahan. Saya kembali ke mobil dengan perasaan yang campur aduk. Bersyukur karena tidak ada yang terluka, namun sadar bahwa peringatan ini begitu jelas. Dalam hati saya berdoa dan berjanji untuk lebih berhati-hati.
Terkadang, dalam keadaan berhenti pun, kecelakaan bisa saja terjadi. Hidup begitu rapuh, dan dalam hitungan detik, segalanya bisa berubah. Tapi syukur, pagi ini, Allah masih memberi kami keselamatan. Sebuah pelajaran berharga tentang betapa berharganya detik-detik dalam hidup kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H