"Pendidikan yang inklusif harus memberikan kesempatan yang sama bagi semua anak, di mana pun mereka berada."
Null-Red.Beberapa waktu lalu, SD Islam Al Madani berpartisipasi dalam ajang bergengsi Kompetisi Sains Ruangguru (KSR) 2024, sebuah kompetisi sains tingkat nasional yang diselenggarakan oleh platform bimbingan belajar daring, Ruangguru. Kompetisi ini mendapat sambutan antusias dari para siswa, guru, dan orang tua. Namun, di balik semangat yang membara, ada sebuah kegelisahan yang layak untuk kita renungkan bersama---tentang pemerataan akses pendidikan di era digital.
Kompetisi yang Prestisius, Namun Tidak untuk Semua
Kompetisi Sains Ruangguru (KSR) adalah ajang yang diharapkan dapat mengukur kemampuan siswa dalam bidang sains dengan standar internasional. Beberapa soal bahkan disajikan dalam bahasa Inggris, mencerminkan tingkat kesulitan yang tinggi dan menuntut kemampuan berpikir kritis serta penguasaan bahasa asing. Bagi siswa yang memiliki akses terhadap sumber daya belajar yang memadai, hal ini bisa menjadi tantangan yang menarik. Namun, bagaimana dengan siswa dari kalangan ekonomi menengah ke bawah?
Ruangguru sebagai platform bimbingan belajar online memang telah memberikan banyak kesempatan untuk siswa yang memiliki akses internet dan perangkat teknologi yang cukup. Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa masih banyak sekolah, terutama sekolah negeri dan sekolah di daerah, yang tidak memiliki akses yang sama terhadap teknologi ini. Bagi mereka, soal-soal dengan standar internasional yang dilengkapi bahasa Inggris bisa menjadi beban tambahan, bukan sekadar tantangan intelektual.
Akses Teknologi: Kesenjangan yang Semakin Nyata
Di Indonesia, tidak semua sekolah memiliki akses yang sama terhadap teknologi dan sumber belajar digital. Sekolah-sekolah di kota besar mungkin sudah terbiasa dengan penggunaan teknologi, tetapi sekolah di daerah terpencil sering kali masih berjuang dengan keterbatasan fasilitas. Banyak sekolah yang bahkan belum memiliki akses internet yang stabil, apalagi perangkat teknologi seperti komputer atau tablet.
Ketika ajang seperti Kompetisi Sains Ruangguru menetapkan standar yang begitu tinggi, hal ini dapat menciptakan kesenjangan yang semakin besar. Siswa yang memiliki akses terhadap perangkat digital dan bimbingan belajar online tentu memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan dengan siswa yang hanya mengandalkan buku teks dan bimbingan dari guru di sekolah. Ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah kompetisi semacam ini benar-benar inklusif untuk semua siswa di Indonesia?
Standar Kurikulum: Berbeda di Setiap Sekolah
Selain akses teknologi, perbedaan standar kurikulum juga menjadi isu yang perlu diperhatikan. Di Indonesia, standar kurikulum bisa berbeda-beda antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Ada sekolah yang sudah menerapkan Kurikulum Merdeka yang lebih fleksibel, sementara yang lain masih menggunakan Kurikulum 2013 yang lebih terpaku pada standar tertentu.
Kondisi ini membuat persiapan untuk menghadapi kompetisi seperti KSR menjadi semakin menantang bagi siswa di sekolah-sekolah yang mungkin kurikulumnya belum mendukung kompetisi dengan standar internasional. Guru dan siswa harus berusaha ekstra keras untuk mengejar materi yang mungkin belum tercakup dalam kurikulum mereka. Akhirnya, sekolah-sekolah yang memiliki lebih banyak sumber daya cenderung lebih siap dan memiliki peluang lebih besar untuk berprestasi.
Kompetisi sebagai Cermin Ketimpangan Akses Pendidikan
Kompetisi Sains Ruangguru mungkin memiliki niat baik untuk mendorong siswa-siswa di seluruh Indonesia agar berprestasi lebih baik dalam bidang sains. Namun, kita juga harus jujur melihat bahwa ajang ini bisa menjadi cermin dari ketimpangan akses pendidikan yang masih terjadi di negara ini. Siswa di sekolah-sekolah yang kurang memiliki akses terhadap sumber daya dan teknologi tidak memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing dengan siswa dari sekolah-sekolah yang lebih maju dan memiliki akses penuh terhadap platform bimbingan belajar seperti Ruangguru.
Kompetisi ini tentu saja bisa menjadi bahan refleksi bagi sekolah-sekolah untuk melihat sejauh mana pencapaian siswa-siswinya. Namun, penting untuk mempertimbangkan bagaimana kita dapat membuat kompetisi ini lebih inklusif, sehingga siswa dari berbagai latar belakang ekonomi dan akses teknologi memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan berprestasi.
Menuju Pemerataan Pendidikan di Era Digital
Untuk mencapai pemerataan pendidikan di era digital, penting bagi pemerintah, lembaga pendidikan, dan penyelenggara ajang kompetisi untuk bekerja sama. Beberapa langkah yang dapat diambil adalah:
Memastikan Akses Teknologi yang Merata:Pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa semua sekolah, terutama di daerah-daerah terpencil, memiliki akses terhadap teknologi yang memadai, termasuk internet yang stabil dan perangkat belajar digital.
Menyesuaikan Standar Kompetisi dengan Kondisi Nyata:Penyelenggara kompetisi seperti Ruangguru bisa mempertimbangkan untuk menyesuaikan standar soal dengan kurikulum dan kondisi nyata di lapangan, sehingga semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi.
Memberikan Pelatihan dan Bimbingan Khusus:Menyediakan pelatihan dan bimbingan khusus bagi siswa dan guru di sekolah-sekolah yang kurang memiliki akses teknologi atau memiliki keterbatasan dalam penerapan kurikulum tertentu.
Menciptakan Kesempatan yang Setara bagi Semua Siswa
Kompetisi seperti KSR memang bisa menjadi ajang bergengsi untuk mengukur kemampuan siswa, tetapi kita harus memastikan bahwa kesempatan untuk bersaing tersedia bagi semua siswa, tanpa memandang latar belakang ekonomi atau akses teknologi mereka. Dengan upaya bersama untuk meningkatkan pemerataan pendidikan, kita bisa menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas dan berprestasi, tetapi juga adil dan setara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H