Mohon tunggu...
Husnul Khatimah
Husnul Khatimah Mohon Tunggu... Guru - inclusive enthusiast

pegiat dan praktisi pendidikan inklusif dan penanganan anak spesial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Empati dalam Pendidikan Inklusif: Menghadapi "Tone Deaf" di Kalangan Pendidik

29 Agustus 2024   13:03 Diperbarui: 29 Agustus 2024   16:21 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pendidikan inklusif menuntut lebih dari sekadar ruang; ia menuntut pendidik yang siap dan penuh empati, bukan guru yang 'tone deaf' dan abai pada kebutuhan anak."

 

Banjarbaru-Null. Pendidikan inklusif seharusnya menjadi tonggak utama dalam menciptakan sistem pendidikan yang adil bagi semua anak, termasuk Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK). Namun, di banyak daerah di luar Pulau Jawa, kenyataan masih jauh dari harapan. Di tengah keterbatasan akses ke Sekolah Luar Biasa (SLB) dan meningkatnya jumlah anak-anak dengan kebutuhan khusus, peran sekolah inklusi menjadi sangat vital. Sayangnya, perubahan sistem pendidikan dari segregasi ke inklusi tidak secepat perubahan mindset para pendidik, yang sering kali lambat dan tidak peka terhadap kebutuhan ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Fenomena ini sering disebut sebagai 'tone deaf'---suatu sikap kurang peka yang dapat merugikan proses belajar-mengajar.

Transformasi Pendidikan: Dari Segregasi ke Inklusi

Selama bertahun-tahun, sistem pendidikan kita lebih mengedepankan segregasi, di mana PDBK ditempatkan di SLB yang memiliki fokus penuh pada kebutuhan mereka. Namun, seiring dengan perkembangan konsep pendidikan inklusif, muncul kesadaran bahwa semua anak, termasuk PDBK, berhak mendapatkan pendidikan bersama teman-teman sebayanya di sekolah reguler. Tujuannya jelas: menciptakan lingkungan yang inklusif, di mana semua anak dapat berkembang sesuai dengan potensinya.

Namun, tantangan terbesar dari transformasi ini adalah perbedaan kecepatan antara perubahan sistem dan perubahan mindset para pendidik. Banyak guru di sekolah inklusi masih berpegang pada pandangan lama bahwa tanggung jawab utama terhadap PDBK adalah milik guru SLB. Mereka menganggap tugas mereka berbeda dan sering kali meremehkan kapasitas mereka sendiri untuk mendukung PDBK.

Ketidaksiapan dan 'Tone Deaf' di Kalangan Pendidik

Kenyataannya, di luar Pulau Jawa, jumlah SLB sangat terbatas, sehingga banyak PDBK yang terpaksa bersekolah di sekolah inklusi. Sayangnya, banyak guru di sekolah-sekolah ini belum sepenuhnya menyadari bahwa peran mereka kini mencakup tanggung jawab penuh terhadap PDBK. Fenomena 'tone deaf' ini muncul karena beberapa alasan: ketidakpercayaan diri dalam mengelola PDBK, keyakinan bahwa PDBK tidak akan mencapai potensi terbaiknya meskipun diberi pendampingan yang tepat, atau sekadar ketidakpedulian.

Sebagai seorang praktisi pendidikan inklusif, saya melihat sendiri bagaimana guru-guru yang pintar dan berprestasi secara akademik sekalipun bisa kehilangan minat ketika berhadapan dengan PDBK. Mereka sering kali menganggap tugas ini terlalu sulit atau tidak mungkin dilakukan, sehingga memilih untuk berfokus pada siswa reguler. Sementara itu, PDBK tetap berada di kelas, merasakan vibrasi negatif dari guru yang merasa frustrasi dan tidak yakin akan kemampuan mereka. Vibrasi ini mudah dirasakan oleh anak-anak, yang akhirnya bisa memicu perilaku tidak adaptif seperti kecemasan, ketidakmampuan untuk fokus, dan bahkan keengganan untuk berpartisipasi dalam pembelajaran.

Mengatasi Sikap 'Tone Deaf' dan Membangun Empati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun