Mohon tunggu...
Husnul Khatimah
Husnul Khatimah Mohon Tunggu... Guru - inclusive enthusiast

pegiat dan praktisi pendidikan inklusif dan penanganan anak spesial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Empati dalam Pendidikan Inklusif: Menghadapi "Tone Deaf" di Kalangan Pendidik

29 Agustus 2024   13:03 Diperbarui: 29 Agustus 2024   16:21 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi guru dan siswa di ruang kelas (generated by ai)

"Pendidikan inklusif menuntut lebih dari sekadar ruang; ia menuntut pendidik yang siap dan penuh empati, bukan guru yang 'tone deaf' dan abai pada kebutuhan anak."

 

Banjarbaru-Null. Pendidikan inklusif seharusnya menjadi tonggak utama dalam menciptakan sistem pendidikan yang adil bagi semua anak, termasuk Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK). Namun, di banyak daerah di luar Pulau Jawa, kenyataan masih jauh dari harapan. Di tengah keterbatasan akses ke Sekolah Luar Biasa (SLB) dan meningkatnya jumlah anak-anak dengan kebutuhan khusus, peran sekolah inklusi menjadi sangat vital. Sayangnya, perubahan sistem pendidikan dari segregasi ke inklusi tidak secepat perubahan mindset para pendidik, yang sering kali lambat dan tidak peka terhadap kebutuhan ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Fenomena ini sering disebut sebagai 'tone deaf'---suatu sikap kurang peka yang dapat merugikan proses belajar-mengajar.

Transformasi Pendidikan: Dari Segregasi ke Inklusi

Selama bertahun-tahun, sistem pendidikan kita lebih mengedepankan segregasi, di mana PDBK ditempatkan di SLB yang memiliki fokus penuh pada kebutuhan mereka. Namun, seiring dengan perkembangan konsep pendidikan inklusif, muncul kesadaran bahwa semua anak, termasuk PDBK, berhak mendapatkan pendidikan bersama teman-teman sebayanya di sekolah reguler. Tujuannya jelas: menciptakan lingkungan yang inklusif, di mana semua anak dapat berkembang sesuai dengan potensinya.

Namun, tantangan terbesar dari transformasi ini adalah perbedaan kecepatan antara perubahan sistem dan perubahan mindset para pendidik. Banyak guru di sekolah inklusi masih berpegang pada pandangan lama bahwa tanggung jawab utama terhadap PDBK adalah milik guru SLB. Mereka menganggap tugas mereka berbeda dan sering kali meremehkan kapasitas mereka sendiri untuk mendukung PDBK.

Ketidaksiapan dan 'Tone Deaf' di Kalangan Pendidik

Kenyataannya, di luar Pulau Jawa, jumlah SLB sangat terbatas, sehingga banyak PDBK yang terpaksa bersekolah di sekolah inklusi. Sayangnya, banyak guru di sekolah-sekolah ini belum sepenuhnya menyadari bahwa peran mereka kini mencakup tanggung jawab penuh terhadap PDBK. Fenomena 'tone deaf' ini muncul karena beberapa alasan: ketidakpercayaan diri dalam mengelola PDBK, keyakinan bahwa PDBK tidak akan mencapai potensi terbaiknya meskipun diberi pendampingan yang tepat, atau sekadar ketidakpedulian.

Sebagai seorang praktisi pendidikan inklusif, saya melihat sendiri bagaimana guru-guru yang pintar dan berprestasi secara akademik sekalipun bisa kehilangan minat ketika berhadapan dengan PDBK. Mereka sering kali menganggap tugas ini terlalu sulit atau tidak mungkin dilakukan, sehingga memilih untuk berfokus pada siswa reguler. Sementara itu, PDBK tetap berada di kelas, merasakan vibrasi negatif dari guru yang merasa frustrasi dan tidak yakin akan kemampuan mereka. Vibrasi ini mudah dirasakan oleh anak-anak, yang akhirnya bisa memicu perilaku tidak adaptif seperti kecemasan, ketidakmampuan untuk fokus, dan bahkan keengganan untuk berpartisipasi dalam pembelajaran.

Mengatasi Sikap 'Tone Deaf' dan Membangun Empati

Namun, perubahan adalah mungkin. Saya telah melihat bagaimana sikap guru dapat berubah ketika mereka diberikan dukungan yang tepat. Guru-guru saya yang awalnya merasa tidak yakin dan frustrasi, mulai menunjukkan antusiasme setelah mereka menyadari bahwa peran mereka lebih dari sekadar mengajar. Setiap hari, saya membuka ruang diskusi untuk membicarakan perkembangan PDBK, mendengarkan keluhan mereka, dan berdiskusi tentang akomodasi yang tepat. Mereka hanya butuh didengar dan diarahkan.

Dengan komunikasi yang tepat dan dukungan yang konsisten, guru-guru ini mulai memahami bahwa mereka memiliki kemampuan untuk membuat perbedaan. Mereka mulai memandang potensi PDBK sebagai peluang untuk berinovasi dalam pembelajaran. Setelah mereka menyadari bahwa kemampuan akademik mereka bisa dimanfaatkan untuk mendukung PDBK, mereka menemukan passion baru dalam mengajar. Rasa percaya diri mereka tumbuh, dan hal ini memancarkan vibrasi positif yang dirasakan oleh siswa-siswa mereka.

Perubahan ini tidak hanya berdampak pada guru, tetapi juga pada PDBK. Saya melihat bagaimana siswa-siswa ini mulai mencapai hal-hal yang sebelumnya dianggap tidak mungkin. Mereka menjadi lebih percaya diri, lebih fokus, dan lebih bersemangat dalam belajar. Guru-guru saya bahkan terkadang berdecak kagum ketika PDBK mampu melampaui kemampuan teman-teman regulernya dalam bidang tertentu. Hal ini membuktikan bahwa dengan dukungan dan empati, semua anak bisa mencapai potensi terbaiknya.

Keadilan dalam Pendidikan: Tantangan di Daerah Luar Pulau Jawa

Di luar Pulau Jawa, tantangan untuk mewujudkan pendidikan inklusif yang adil semakin besar. Keterbatasan akses ke SLB, kurangnya pelatihan untuk guru, dan angka pertumbuhan anak-anak dengan kebutuhan khusus yang semakin tinggi karena masalah sosial seperti kecanduan gadget dan kekerasan seksual, membuat pendidikan inklusif menjadi kebutuhan yang mendesak. Namun, ini juga memerlukan perubahan mindset di kalangan pendidik.

Guru-guru di daerah ini harus menyadari bahwa mereka tidak bisa lagi bergantung pada SLB untuk menangani PDBK. Mereka adalah garis depan dalam memberikan pendidikan yang layak bagi semua anak. Keadilan dalam pendidikan tidak akan tercapai jika guru-guru ini terus merasa tidak yakin atau tidak peduli terhadap PDBK.

Membangun Sistem yang Inklusif dan Adil

Perubahan mindset memerlukan waktu, tetapi ini adalah hal yang harus kita perjuangkan. Sekolah dan pemerintah harus mendukung transformasi ini dengan memberikan pelatihan yang tepat, menyediakan sumber daya yang memadai, dan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung bagi para guru. Dukungan ini bukan hanya soal akademik, tetapi juga emosional, karena perubahan mindset membutuhkan empati dan komunikasi yang konsisten.

Sebagai penutup, saya ingin menekankan bahwa pendidikan inklusif adalah hak semua anak, termasuk PDBK. Di daerah luar Pulau Jawa, tantangan ini lebih besar, tetapi bukan berarti tidak mungkin untuk diatasi. Guru-guru harus memahami bahwa mereka memiliki peran penting dalam mewujudkan pendidikan yang adil dan inklusif. Dengan membangun empati, mengatasi sikap tone deaf, dan mendukung para pendidik dengan cara yang tepat, kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar inklusif dan adil bagi semua anak.

Mari kita bergerak bersama untuk mewujudkan pendidikan yang inklusif dan adil, di mana setiap anak dapat berkembang sesuai dengan potensinya, tanpa terkecuali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun