"Pesimisme kita adalah belenggu yang lebih berat daripada keterbatasan fisik atau mental yang dihadapi oleh penyandang disabilitas. Saat mereka berjuang untuk berdaya, kita seharusnya bukan menjadi penghalang, melainkan pendukung utama."Â
Banjarbaru-Null, Kita hidup dalam masyarakat yang sering kali memandang penyandang disabilitas melalui kacamata pesimistis.Â
Stigma bahwa difabel tak mampu berdaya telah tertanam begitu dalam, seolah-olah keterbatasan fisik atau mental menjadi halangan absolut untuk berkontribusi dalam kehidupan sosial.Â
Ketika upaya inklusi, seperti yang dilakukan oleh Gerakan Pramuka Sako Daya untuk penyandang disabilitas, diluncurkan, komentar pesimistis muncul: "Apakah mereka benar-benar bisa?"
Namun, pertanyaan ini bukan hanya cermin dari keraguan terhadap kemampuan difabel, tetapi juga terhadap diri kita sendiri--apakah kita, sebagai masyarakat, mampu mendukung dan mempercayai mereka?Â
Alih-alih meragukan, pilihan kita seharusnya adalah memberikan dukungan penuh.
Penyandang disabilitas telah mendeklarasikan keinginan mereka untuk berdaya; mereka telah menunjukkan keberanian untuk melangkah maju. Jadi, mengapa kita yang tidak memiliki keterbatasan ini justru ragu?
Inisiatif inklusi ini bukan sekadar proyek sosial; ini adalah cermin keberanian para difabel yang berani menantang stigma yang telah lama membelenggu mereka. Maka, sebagai anggota masyarakat, kita memiliki tanggung jawab moral untuk mendukung--bukan meragukan.Â
Keberhasilan gerakan ini tidak hanya bergantung pada mereka yang terlibat langsung, tetapi juga pada kita, yang memilih untuk berdiri di belakang mereka dengan keyakinan dan dukungan penuh.
Mengapa pilihan itu jatuh kepada Pramuka? Pramuka adalah wadah pendidikan karakter yang selama ini dikenal efektif dalam membentuk generasi muda yang tangguh, mandiri, dan berintegritas.Â