Laut adalah masa depan. Laut adalah serpihan mutiara surga yang jatuh kebumi. Laut bukan tong sampah yang dijadikan tempat tumpukan kotoran manusia. Bagi Indonesia laut tidak hanya seperti yang tersampaikan diawal pembuka kata, lebih spesifik lagi bahwa laut adalah kedaulatan.
      Sebagai warga negara yang baik, kita harus bangga lahir dan besar di tanah surga yang bernama Indonesia. Tentunya tanpa mengenyampingkan beberapa anak bangsa yang lahir dinegeri rantau. Indonesia terkenal diseantero dunia sebagai negara yang mempunyai luas lautan melebihi daratan. Bayangkan saja tak tanggung-tanggung, luas lautan yang tercatat 70 % dan daratan hanya 30%. Perihal tersebut menunjukkan Indonesia sebagai negara Kepulauan. Pulau yang tersebar di seluruh pelosok negeri berjumlah 17.508, baik pulau besar maupun kecil.
 Menurut informasi bahwa hasil Konvensi  Hukum Laut Internasional atau "United Nation Convention on the Law of the Sea" (UNCLOS) pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica, luas  wilayah  laut  Indonesia  mencapai 3.257.357 km, dengan batas wilayah laut/teritorial dari garis dasar kontinen sejauh 12 mil diukur dari garis dasar, sedangkan luas daratannya mencapai 1.919.443 km. Secara totalitas  luas wilayah lautan dan daratan mencapai 5.176.800 km. Hebatnya Indonesia termasuk urutan dua setelah Kanada yang mempunyai panjang garis pantai didunia sekitar 99.083 km. Tak ada basa-basi dengan jelas dan tegas Indonesia merupakan negara kepulauan.
Sejatinya, jauh hari sebelum hasil Keputusan Hukum Laut Internasional di Montego Bay, Jamaica disetujui tentang keberadaan Indonesia sebagai negara Kepuluan, Â Pemerintah Indonesia melalui Perdana Menteri, pada waktu itu dijabat oleh Djuanda Kartawidjaja telah berhasil menyakinkan dunia Internasional tentang wilayah kepulauan Indonesia melalui Deklarasi Djuanda. Deklarasi Djuanda adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Deklarasi Djuanda dicetuskan pada 13 Desember 1957. Ada tiga hal yang menjadi perhatian isi dari Deklarasi Djuanda, yaitu; pertama, Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri. Kedua, sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan dan ketiga, ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia. Keberadaan Indonesia sebagai negara kepulauan dipertegas lagi sesuai UU No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS Â (United Nations Convention On The Law of The Sea) 1982.
Rawan Konflik
Luasnya laut Indonesia yang berbatasan dengan negara-negara luar perlu mendapatkan perhatian dan pengawasan yang serius. Ada sepuluh negara  yang mempunyai perbatasan laut dengan Indonesia yaitu, India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Papua Nugini, Palau, Timor Leste, dan Australia. Banyaknya negara tetangga yang laut merupakan batas antar satu dengan lainnya mempunyai potensi rawan konflik. Konflik ini terjadi bisa pada saat ini maupun pada masa yang akan datang.
Masih kuat terekam dalam ingatan bagaimana kerugian Indonesia saat Pulau Sipadan dan Ligitan yang tempo dulu termasuk wilayah kepulauan Indonesia namun saat ini telah berada dalam pelukan negara Malaysia. Padahal Pulau Sipadan dan Ligitan terletak di Timur laut Pulau Kalimantan dengan jarak jangkauan sekitar 150 kilometer dari Pulau Tarakan di Kalimantan Utara. Akibat ketidakjelasan garis perbatasan yang dibuat oleh Inggris dan Belanda pada tempo dulu maka muncul persoalan  kedua negara. Indonesia (bekas jajahan Belanda) dan Malaysia (bekas jajahan Inggris) saling mengklaim kedua pulau tersebut. Proses kepemilikan yang tak mempunyai titik temu sehingga kedua negara sepakat membawa kasus ini ke Mahkamah Hukum Internasioanl. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan dan pembahasan maka pada          17 Desember 2002, Mahkamah Hukum Internasional memutuskan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik negara Malaysia. Lepaslah pulau kita. Terkoyak kedaulatan laut Indonesia tercinta.
Persoalan kedaulatan laut Indonesia tidak pernah habis dalam menghadapi berbagai ancaman dan gangguan. Banyak laut yang tersebar di tanah air. Penulis mengambil percontohan tragedi demi tragedi yang terjadi di wilayah Laut Cina Selatan (LCS)  dan dapat mengancam  kedaulatan laut NKRI. Secuil kisah nyata  Penulis ketika bertugas di Lanal Terempa pada tahun 1998 sampai dengan 2001. Lanal Terempa merupakan salah satu wilayah kerja dibawah naungan Lantamal I yang bermarkas di Belawan, Kota Medan, Sumatera Utara. Wilayah kerja Lanal Terempa diantaranya Terempa, Jemaja, Mengkait, Kiabu, Midai, Serasan dan Tambelan, yang semuanya dikelilingi oleh LCS.
Pada masa itu beberapa kapal ikan asing memasuki wilayah laut Indonesia dan dengan seenaknya  mencuri ikan diwilayah LCS. Nelayan asing tersebut berasal dari negara Thailand, Malaysia dan Vietnam.  Gugus Tugas Keamanan Laut Lanal Tarempa beraksi dengan menggunakan Kapal angkatan Laut (KAL)  Baruk dan Patkamla serta bantuan dari kapal perang Indonesia (KRI) yang bertugas di aera LCS berhasil menangkap berbagai kapal-kapal ikan asing yang melanggar dan masuk wilayah kedaulatan laut Indonesia dalam rangka mencuri ikan secara illegal. TNI Angkatan Laut merupakan penegak hukum dan penyidik tindak pidana di laut. Kewenangan sebagai penyidik tindak pidana tidak dimiliki oleh matra lain bahkan seluruh Tentara di dunia hanya TNI AL yang mempunyai wewenang sebagai penyidik. Kewenangan yang dimiliki oleh TNI AL yaitu berdasarkan Undang-Undang Hukum Nasional dan Hukum Internasional yaitu Konvensi PBB Tentang Hukum Laut 1982 ( United Convention On The Law Of The Sea 1982/UNCLOS 1982).
Seiring waktu gebrakan hebat dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia terhadapa para pencuri ikan secara illegal. Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada cabinet kerja 2014-2019, melalui Satuan Tugas 115 yang dibentuknya mampu mengejutkan dunia dengan menangkap dan  menenggelamkan kapal ikan asing yang mencuri ikan di wilayah laut Indonesia pada umumnya dan LCS pada khususnya. Beberapa negara yang kapal ikan nelayannya ditangkap dan dibakar serta ditenggelamkan ada yang keberatan. Menteri Susi terus maju dan pantang mundur karena apa yang lakukannya sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang  No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan, tepatnya pasal 69 ayat 4 berbunyi,"Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 penyidik dan atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan atau penenggelaman kapal perikanan asing yang berbendera berdasarkan bukti permulaan yang cukup".
Mewaspadai Konflik Laut Cina Selatan
Laut Cina Selatan (LCS) merupakan wilayah perairan yang membentang luas mulai dari Selat Malaka sampai Selat Taiwan dengan luas 3,5 juta kilometer pesegi. Secara geografis, LCS merupakan kawasan bernilai ekonomis, politis dan strategis yang sangat penting sebagai Jalur Pelayaran Perdagangan  (Sea Lane of Trade/SLOT) dan Jalur Perhubungan Internasional (Sea Lane of Comunication/SLOC) yang dapat menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Bagi negara yang berada di wilayah LCS sangat memahami dan mengerti bahwa di LCS banyak terkandung mutiara kehidupan. Mutiara ini berupa sumber daya alam yang berlimpah ruah yang dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan kemajuan suatu negara. Kekayaan sumber daya alam tersebut berupa mimyak bumi gas alam dan perikanan. Gas alam yang tersedia tidak tanggung-tanggung banyaknya sesuai yang dinyatakan oleh United States Energy Information Administration : " The South China Sea contains approximately 11 billion barrels of oil and 190 trillioncubic feet of natural gas in proved and probable reserves. Conventional hydrocarbons mostly reside in undisputed territory".
Wajar saja LCS semakin seksi dengan sumber daya alam yang tersedia. Ada beberapa negara pantai yang mengelilingi LCS yaitu Indonesia, Malaysia, Fhilipina, Vietnam, Brunei Darussalam, Kamboja, Thailand, Taiwan dan Cina. Pada saat ini terdapat beberapa negara yang rawan sengketa dan terjadi konflik di wilayah LCS yaitu  Cina, Taiwan, Fhilipina, Brunei Darussalam, Malaysia dan Vietnam.  LCS merupakan  wilayah rawan konflik sedari dulu hingga kini bahkan masa yang akan datang. Konflik yang sangat mengemuka dan menjadi perbincangan hangat dunia internasional adalah perebutan Kepulauan Spartly dan Kepulauan Paracel.
Ada tiga alasan utama negara-negara yang terlibat dalam konflik LCS dan saling berkepentingan memperebutkan wilayah kawasan laut dan daratan dua gugusan kepulauan Paracel dan Spartly, yaitu; pertama,wilayah laut dan gugusan kepulauan di LCS mengandung sumber kekayaan alam yang sangat besar, meliputi minyak dan gas bumi serta kekayaan laut lainnya.
Kedua, wilayah perairaan LCS merupakan wilayah perairan yang menjadi jalur pelintasan aktivitas pelayaran kapal-kapal internasional, terutama jalur perdagangan  lintas laut yang menghubungkan jalur perdagangan  Eropa, Amerika dan Asia. Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di Asia, membuat negara-negara seperti Cina dan negara-negara di kawasan LCS bahkan termasuk Amerika Serikat sangat berkeinginan menguasai control dan pengaruh atas wilayah LCS yang dinilai strategis dan membawa manfaat ekonomis yang sangat besar bagi suatu negara.(Gerald Theodorus L. Toruan , 2020).
Adegan konflik yang pernah terjadi antara Cina dan Filipina saat memperebutkan pulau Scarborough Shoal yang terletak di LCS. Pada tahun 1997 kapal angkatan laut Filipina mencegah kapal Cina yang mendekati pulau ini.  Pulau ini tidak ada penghuni dan dikenal sebagai Pulau Hiangyan di Cina. Ketegangan memuncak saat Angkatan Laut Filipina menangkap nelayan Cina yang melanggar batas wilayah. Cina bereaksi keras kemudian memerintahkan Kapal perang Angkatan Laut Cina untuk  menghadang  kapal perang Filipina yang akan mengiring nelayan Cina. (Desy Kartika Sari, L/Y.,2019)
Ketegangan di LCS meningkat pada awal Mei 2014,  saat kilang minyak Tiongkok His Yang Shi You 981 (HYSY 981) memulai operasi pengeboran minyak di wilayah Zonz Ekonomi Eklusif (ZEE) dan Landas Kontinen Vietnam. Padahal sebelumnya Cina membuat kaget semua negara yang berada diwilayah LCS dengan mengeluarkan pernyataan mengenai nine dash line yang berarti  bahwa kedaulatan yang tidak terbantahkan atas pulau-pulau di LCS dan perairan yang berdekatan, dan memiliki hak-hak berdaulat dan yurisdiksi atas perairan tersebut beserta laut dan tanah dibawahnya. (Laksmi, L.G.,2022).
Indonesia tidak termasuk negara yang terlibat konflik di pusaran LCS. Terhadap LCS, Cina membuat klaim sepihak dengan sembilan garis putus-putus atau nine dash line hingga menjangkau ke Laut Natuna. Klaim Cina atas seluruh wilayah perairan LCS turut mengancam kedaulatan dan kepentingan Indonesia di wilayah perairan Natuna. Konflik Cina dan Indonesia belum pernah terjadi namun dalam rentang waktu tahun 2005 hingga 2016 beberapa kali kapal nelayan Cina memasuki wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara (LNU). Kapa-kapal nelayan ini melakukan penangkapan ikan secara illegal di wilayah kedaulan laut Indonesia. Melihat realita tersebut Presiden Indonesia Bapak Joko Widodo turun tangan dan membuat rapat terbatas diatas  kapal KRI Imam Bonjol-383 yang dihadiri Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, Menteri ESDM Sudirman Said dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Sofyan Djalil. Intinya rapat tersebut Presiden Jokowi memerintahkan TNI dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) senantiasa melaksanakan peningkatan penjagaan di wilayah perairan Natuna.
Efek dari pelanggaran kedaulatan laut Indonesia di Natuna  yang dilakukan oleh kapa-kapal nelayan  Cina maka pada tahun 2017 Indonesia mengeluarkan kebijakan dan menerbitkan peta NKRI baru yakni mengubah wilayah LCS menjadi LNU yang masih dalam dalam wilayah ZEE. Menurut Arif Havas Oegroseno pada saat itu menjabat Deputi Kementerian Koordinator bidang Maritim kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dengan dua alasan. Pertama, untuk mencegah kebingungan diantara pihak-pihak yang ingin mengeksploitasi di wilayah landasan kontinen Indonesia. Kedua, untuk memberian petunjuk yang jelas kepada tim penegak hukum Angkatan Laut Indonesia.  Walau mendapatkan protes dari Cina namun Indonesia bertekad bulat mendaftarkan perubahan ini ke PBB. (Suastha, 2017).
Upaya Antisipasi Indonesia Ancaman Konflik LCS
Lambat laun Konflik LCS akan melebar dan membara. Apalagi Cina terkesan berat hati tatkala klaim nine dash line mendapatkan perlawanan dari negara-negara yang berada di wilayah LCS. Indonesia dengan kebijakan politiknya mampu menampilkan peta baru dengan merubah LCS menjadi LNU. Pada tahun 2013 negara Filipina pun pernah konflik dengan Cina. Fhilipina sebagai claimant state membawa sengketa LCS ke Permanent Court of Arbitration (PCA) di Den Haag, Belanda pada saat menguggat Cina yang membiarkan nelayan penangkap ikan memasuki wilayah Fhilipina dan mereklamasi  wilayah laut untuk membangun pulau-pulau buatan.
Melihat situasi yang berkembang dan untuk mengantisipasi hal tersebut Indonesia yang berada di pusaran LCS menggambil langkah-langkah antisipasi sebagai berikut; Pertama, Negara Indonesia harus senantiasa melaksanakan diplomasi militer aktif damai, baik  melalui bilateral maupun multilateral dengan negara-negara yang berada dikawasan LCS. Diplomasi merupakan cara efektif untuk mencairkan ketegangan menjadi ketenangan. Keributan menjadi keteduhan.
Kedua, Kapal Perang Indonesia hendaknya meningkatkan frekuensi kehadiran di LNU untuk berpatroli menjaga kedaulatan laut NKRI. Â Kehadiran di laut sangat penting untuk menyakinkan bahwa wilayah laut Indonesia senantiasa dalam pengawasan dan penjagaan yang ketat dalam rangka mengantisipasi tindakan pelanggaran batas maritim dari negara-negara lain yang ingin mengganggu kedaulatan laut Indonesia. Kehadiran kapal perang di laut merupakan kehadiran negara di suatu wilayah tersebut.
Ketiga, Indonesia harus mengaktifkan latihan militer baik mandiri maupun bekerjasama dengan negara-negara yang berada disekitar LCS. Bahkan jika memungkinkan perlunya latihan militer bersama negara-negara adi kuasa seperti Cina, Rusia dan USA.
Keempat, Indonesia hendaknya berperanserta menjadi mediator dalam rangka menyelesaikan dan membantu perselisihan antar negara yang berada dikawasan LCS yang setiap waktu bisa terjadi konflik yang tak terhindarkan. Peran Indonesia sangat strategis karena beberapa negara yang mengklaim wilayah LCS merupakan termasuk negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Vietnam, Filipina dan Brunei Darussalam.
Kelima, Indonesia yang mempunyai wilayah LNU harus senantiasa melaksanakan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam yang terkandung kawasan Perairan Natuna secara berlanjut dan berkesinambungan. Kesungguhan Indonesia meneksplorasi dan membangun kawasan maritim di Perairan Natuna merupakan langkah tepat sebagai pertanda bahwa wilayah itu merupakan bagian dari wilayah laut Indonesia.
Keenam, membangun kekuatan militer wilayah Natuna. Kekuatan militer TNI yang terintegrasi yang ada saat ini harus dilengkapi kekuatan alutsista secara bertaha, berlanjut dan berkesinambungan sehingga apabila terjadi konflik Indonenesia telah mempunyai kekuatan militer yang kuat dan tangguh untuk menghadapi kekuatan negara asing yang mengganggu kedaulatan laut Indonesia.
Tentunya, harapan seluruh rakyat Indonesia bahwa sejengkal wilayah kedaulatan laut Indonesia tetap utuh dan harus dijaga serta dipertahankan dari ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang datang dari negara-negara asing yang ingin mencerai-beraikan wilayah laut NKRI. Ingat, laut adalah kedaulatan kita. Laut adalah kehormatan seluruh rakyat Indonesia.***
(Penulis, Kolonel laut (KH) Husni, S.Ag.
Pamen TNI AL)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H