Mohon tunggu...
Husnil Kirom
Husnil Kirom Mohon Tunggu... Guru - Pejuang Pendidikan

Asesor GTK Kemdikbudristek RI

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama FEATURED

Mendesak Pendidikan Mitigasi Bencana

12 April 2020   07:00 Diperbarui: 8 Desember 2021   08:12 3408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Semeru yang mengeluarkan awan panas terlihat dari Pronojiwo, Lumajang, Jawa Timur. Foto: ANTARA FOTO/ARI BOWO SUCIPTO 

Kembali dikabarkan sejumlah gunung berapi di Indonesia mengalami erupsi dalam waktu yang berdekatan. Dikutip dari situs jatimtimes.com pada tanggal 11 April 2020 bahwa gunung yang meletus adalah Gunung Anak Krakatau di Lampung Selatan, Gunung Merapi di Sleman, Gunung Semeru di Lumajang, Gunung Kerinci di Jambi, Gunung Ibu di Halmahera Barat dan Gunung Dukono di Halmahera Utara Maluku. 

Namun, untuk erupsi Gunung Anak Krakatau menurut BMKG “terkait suara dentuman tidak terjadi aktivitas tektonik yang signifikan di wilayah Jawa Barat, DKI, dan Banten”.

Terlepas apakah benar terjadi dentuman akibat aktivitas tektonik dari gunung-gunung tersebut, tentu yang harus dilakukan dan diantisipasi bersama jangan sampai bencana alam ini menimbulkan korban diantara kita. 

Oleh karenanya, mendesak untuk dapat mengimplementasikan pendidikan mitigasi bencana bagi masyarakat, terutama warga sekolah.

Klasifikasi dan Siklus Bencana di Indonesia

Bencana merupakan rangkaian  peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis masyarakat. 

Ya, kita masih ingat pada tanggal 2 Agustus 2019 daerah Pandeglang, Lampung Pesisir, Bengkulu kembali mengalami gempa berpotensi tsunami. Bencana kekuasaan Allah, tidak satupun mampu menghentikannya. 

Namun, dibalik setiap bencana, resiko kembali terjadi dapat diantisipasi dan dikurangi melalui edukasi mitigasi dan adaptasi bencana (PRB) sejak dini. Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007 mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. 

Salah satu tujuan mitigasi bencana ini diedukasi untuk mengurangi resiko bencana bagi penduduk, seperti korban jiwa, kerugian materi, dan kerusakan lingkungan termasuk sumber daya alam yang ada. 

Selain itu, mitigasi bencana diperlukan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat menghadapi dan mengurangi dampak dan resiko bencana sehingga masyarakat dapat hidup aman dan nyaman. Seharusnya masyarakat perlu diberikan edukasi tentang klasifikasi bencana yang tiap saat bisa melanda Indonesia bahkan masuk ke dalam kurikulum.

Adapun klasifikasi bencana secara umum ada tiga, yaitu bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial (P4TKPKnIPS, 2019). 

Kemudian klasifikasikan jenis bencana berdasarkan penyebab utamanya antara lain: (1) Bencana alam yang disebabkan oleh Dinamika Litosfer, seperti letusan gunung api, tanah longsor, dan gempa bumi; (2) Bencana alam yang disebabkan oleh Dinamika Hidrosfer, seperti banjir dan tsunami; serta (3) Bencana alam yang disebabkan oleh Dinamika Atmosfer, seperti badai tropis dan angin puting beliung. 

Nah, yang sedang dibahas di atas adalah bencana alam litosfer, contoh lainnya Erupsi Gunung Sinabung tanggal 19 Pebruari 2018 di Kabupaten Karo Sumatera Utara. 

Beradaptasi dengan bencana merupakan suatu keharusan setiap orang bukan hanya warga yang ada di daerah terkena dampak bencana saja. Adaptasi bencana adalah usaha menciptakan masyarakat yang sadar dan tanggap terhadap bencana melalui Edukasi Pengurangan Resiko Bencana (Subandono, 2007). 

Konsep PRB disesuaikan dengan siklus terjadinya bencana, mulai dari pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana. Siklus manajemen bencana sesuai konsep edukasi PRB tersebut dimulai dari fase mitigasi, kesiapsiagaan, respon, sampai pemulihan. 

Ilustrasi Diolah oleh: Visi Teliti Seksama
Ilustrasi Diolah oleh: Visi Teliti Seksama
Pertama, Mitigasi adalah fase yang dilakukan untuk meminimalkan dampak bencana, misalnya melalui Edukasi Bencana di Indonesia melalui Program Satuan Pendidikan Aman Bencana. 

Fase ini terjadi bersamaan dengan fase pemulihan dari bencana sebelumnya dengan tujuan agar dampak dari bencana yang serupa tidak terulang. Kedua, Kesiapsiagaan adalah perencanaan terhadap cara merespons kejadian bencana oleh lembaga penanggulangan bencana. 

Tidak hanya berkisar pada bencana yang pernah terjadi pada masa lalu, tetapi juga untuk berbagai jenis bencana lain yang mungkin terjadi. Ketiga, Respon adalah upaya meminimalkan bahaya yang diakibatkan oleh terjadinya bencana. 

Fase ini berlangsung sesaat setelah terjadi bencana. Respon dimulai dengan mengumumkan kejadian bencana serta mengungsikan masyarakat. Keempat, Pemulihan adalah fase pengembalian kondisi masyarakat sehingga menjadi seperti semula. 

Adapun caranya dengan menyediakan tempat tinggal sementara bagi korban bencana dan membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak. Selain itu, melakukan evaluasi terhadap langkah-langkah penanganan bencana yang telah dilakukan. 

Sekali lagi ditekankan di sini sudah selayaknya Edukasi Mitigasi Bencana atau Pengurangan Resiko Bencana masuk ke dalam kurikulum pendidikan dan diimplementasikan di sekolah sebagai bentuk antisipasi, karena daerah di Indonesia rawan bencana.

Implementasi Pendidikan Mitigasi Bencana di Sekolah

Pembelajaran adalah wahana yang dirancang oleh pendidik secara sadar untuk mencapai standar kompetensi lulusan dalam kurikulum. Saat mengelola kelas pendidik berkesempatan untuk mengembangkan karakter Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) melalui tindakan dan tutur katanya selama proses pembelajaran berlangsung. 

Apa sebenarnya SPAB tersebut? Di dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana ditempatkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1258. 

Permendikbud tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan dan keselamatan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikandari resiko bencana serta menjamin keberlangsungan layanan pendidikan pada satuan pendidikan terdampak bencana. Jadi, SPAB adalah upaya pencegahan dan penanggulangan dampak bencana di satuan pendidikan.

SPAB merupakan pengejawantahan dari Program Pendidikan Karakter yang dikembangkan di Indonesia saat ini. Di mana pendidikan karakter berbasis kelas, budaya sekolah, dan masyarakat. 

Pendidikan karakter berbasis kelas merupakan tanggung jawab kepala sekolah. Nilai-nilai karakter terintegrasi  dapat diintegrasikan dalam kegiatan pembelajaran melalui pengintegrasian  kurikulum analisis KD, manajemen  kelas, pemilihan metode. 

Lalu pendidikan karakter berbasis sekolah adalah budaya, kultur, tradisi sekolah yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan spirit dan nilai-nilai yang dianut sekolah. 

Tradisi itu mewarnai kualitas kehidupan sebuah sekolah, termasuk kualitas lingkungan, kualitas interaksi, suasana akademik. Budaya sekolah meliputi, kualitas belajar, bekerja, dan berinteraksi antara kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik. 

Tujuannya mendukung terbentuknya branding sekolah. Ekosistem pendidikan melibatkan individu, norma, peraturan dan konsistensi pelaksanaannya. Budaya siaga, budaya aman, dan budaya pengurangan risiko bencana di sekolah. Sehingga SPAB terealisasi dengan baik di sekolah.

Berikutnya pendidikan karakter berbasis masyarakat adalah edukasi kepada masyarakat sebagai bagian informasi perencanaan dan penanganan bencana, meliputi lokasi dan kondisi geografis wilayah bencana, perkiraan jumlah penduduk terkena bencana, jalur transportasi, sistem telekomunikasi, ketersediaan air bersih, bahan makanan, fasilitas sanitasi, penampungan korban, tingkat kerusakan, ketersediaan obat-obatan, peralatan medis, kesiapan tenaga kesehatan, lokasi pengungsian, jumlah pengungsi, jumlah korban hilang dan meninggal, ketersediaan relawan dalam berbagai keahlian, termasuk BNPB. 

Sebagai bagian masyarakat tentu kita perlu tahu hal ini, juga berkewajiban menjelaskan dengan sesama apa dampak dan resiko bencana tersebut. Partisipasi masyarakat, seperti Komite Sekolah, BNPB, BPBD, PBK dan sebagainya. 

Orang tua peserta didik harus mendukung dan komitmen terhadap PPK, termasuk terlibat dalam melengkapi dalam fasilitas sekolah aman bencana dan rambu-rambu evakuasi. 

Begitupun dengan Komite sekolah semestinya mendukung mediasi antara sekolah dan orangtua, memobilisasi sumber daya, mengawasi pelaksanaan program PPK, terlibat dalam menyusun rencana aksi sekolah dan prosedur kebencanaan, terlibat dalam melengkapi dalam fasilitas sekolah aman bencana dan rambu-rambu evakuasi, terlibat pembelajaran kebencanaan melalui kelas inspirasi dan simulasi kebencanaan, mendukung kolaborasi antara sekolah dan pihak relevan.

Misalnya BNPB, Tim SAR, Kepolisian. Mendesak sekali untuk mengimplementasikan Pendidikan Mitigasi Bencana, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Partisipasi kita dalam program SPAB ini dapat melalui spab.kemdikbud.go.id. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun