[caption caption="Anak-anak membaca di Taman Bacaan Masyarakat di Kecamatan Petak Malai, Katingan, Kalimantan Tengah. Sumber: petakmalai.com"][/caption]Tulisan Rizal Mallarangeng berjudul Perpustakaan Umum DPR, Kenapa Perlu? yang dimuat Qureta.com perlu ditanggapi serius. Agar diskusi bisa kita arahkan ke langkah yang lebih konkret.
Setelah membaca argumen-argumen Rizal, saya makin yakin bahwa sebenarnnya pembangunan perpustakaan umum DPR itu belum perlu. Saya bilang belum, bukan tidak perlu.
Rizal bilang bahwa persoalan pembangunan perpustakaan umum DPR itu bukan soal pemborosan atau tidak, melainkan ada di prioritas. Jikalah demikian, maka yang mestinya kita prioritaskan saat ini adalah pembangunan perpustakaan umum di setiap kecamatan.
Setidaknya, ada delapan pertimbangan. Pertama, menyebar-ratakan minat baca masyarakat Indonesia. UNESCO pada 2011 menemukan fakta bahwa indeks membaca masyarakat Indonesia sekitar 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang mau membaca buku secara serius.
Yang disurvei ini bukan anggota DPR atau warga Jakarta saja, melainkan seluruh Indonesia. Artinya, perlu campur tangan pemerintah untuk membuat 999 orang lainnya untuk mau membaca. Namun, bagaimana mungkin 999 orang itu mau membaca jika mereka tak menemukan buku atau bahan bacaan menarik di sekitar mereka? Dan, sebenarnya pemerintah sudah campur tangan untuk mengatasi ini.
Kedua, mendukung peraturan pemerintah lainnya. Pada 2015 pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 23/2015 mewajibkan sekolah untuk membaca buku non-pelajaran selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Ini kegiatan wajib harian. Aturan ini dibuat untuk menumbuhkan siswa dan ekosistem pendidikan untuk mau membaca.
Pemerintah menggunakan istilah menumbuhkan, bukan menanamkan. Menumbuhkan berarti meyakini bahwa sebenarnya bibit untuk mau membaca itu sudah ada di setiap warga Indonesia yang sudah melek huruf.
Saudara-saudara kita di desa di mana pun, setidaknya, akan membaca begitu ada koran atau bacaan menarik. Potensi membaca sudah ada. Dan tugas pemerintahlah untuk memberikan lingkungan yang baik agar minat itu tumbuh makin besar.
Namun, Permendikbud 23/2015 ini menemui kendala di banyak daerah karena ketersediaan bahan bacaan. Saya menggunakan istilah bahan bacaan ketimbang buku; buku hanya satu medium, sementara bahan bacaan itu bisa banyak sekali, seperti koran, selebaran, dan majalah. Tak semua daerah bisa mendapatkan akses terhadap bahan bacaan.
Padahal, besar kemungkinan angka UNESCO tadi muncul akibat ketiadaan bahan bacaan di banyak daerah di Indonesia. Karena itu, tugas pemerintah untuk mendekatkan bahan bacaan ke masyarakat, melalui pembangunan perpustakaan umum kecamatan.
Ketiga, pembangunan perpustakaan umum DPR terlalu Jakarta-sentris. “Harapan kami, jika perpustakaan umum ini tumbuh menjadi simbol yang kuat dan berpengaruh di Jakarta, maka mungkin parlemen lokal dan pemerintahan daerah lainnya juga akan tertarik melakukan hal yang sama,” kata Rizal.
Saya kira, kesombongan Jakarta mesti diluruhkan. Indonesia ini beragam. Keberagaman itu bisa diwujudkan dengan pembangunan yang merata di semua daerah. Tak semua harus mengikuti pola Jakarta. Jika demikian pola pembangunan, maka yang ada adalah keseragaman, bukan keberagaman. Dan, apa yang di Jakarta bagus, belum tentu bagus di daerah.
Selain itu, perpustakaan umum kecamatan ini sesuai dengan tekad Jokowi untuk membangun Indonesia dari pinggiran. Indonesia ini memiliki 6.793 kecamatan. Bayangkan bila semua kecamatan itu memiliki perpustakaan umum yang memadai.
Keempat, memadai. Konsep memadai lebih penting ketimbang megah dan mewah. Megah, mewah, dan indah belum tentu memadai. Karena indonesia ini bhineka, soal bentuk bangunan tentu akan lebih elok bila disesuaikan dengan kondisi lokalnya. Jadi, perpustakaan ini akan menjadi pengejawantahan konsep kebudayaan lokalnya. Misalnya, perpustakan sebuah kecamatan di Kalimantan Barat menggunakan konsep rumah panjang.
Kelima, Perpustakaan umum DPR ini ingin memberikan lingkungan lebih baik dalam dunia keseharian parlemen. Saya kira, poin ini mesti ditelisik lebih dalam lagi. Sekadar informasi, DPR kini memiliki perpustakaan umum. Berada di Gedung Nusantara II dan memiliki koleksi 105.381 eksemplar, perpustakaan itu tak dimanfaatkan secara maksimal.
Menurut pengamatan Kompas (27/3/2016) perpustakaan itu cenderung sepi. Jika yang ada sekarang saja sepi dan tak dimanfaatkan secara maksimal, kenapa harus membangun perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara.
Selain itu, ada hal penting yang juga menjadi perhatian semua: kinerja DPR belum maksimal. Indonesian Corruption Watch (ICW) bahkan menyebut kinerja DPR 2014-2015 itu “tanpa” kerja. Bayangkan apa jadinya jika kinerja DPR yang tak maksimal ini kita berikan apresiasi? Apresiasi sepatutnya kita berikan kepada mereka yang telah bekerja secara maksimal.
Keenam, anggaran pendidikan sudah besar. Saya kira, angka 1,7 triliun untuk penambahan dana pendidikan tetap sangat signifikan. Angka itu setara dengan anggaran satu direktorat jenderal. Jika memang diniatkan untuk pembangunan perpustakaan kecamatan, ya tugas DPR mengawal agar dana ini hanya untuk pembangunan perpustakaan kecamatan. Jangan untuk kegiatan lainnya.
Dana ini lalu akan masuk ke kementerian pengelola anggaran pendidikan, seperti Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, dan Kementerian Desa.
Saya yakin, tokoh DPR yang mengawal ini akan dicatat sejarah sebagai politisi yang berkomitmen terhadap masa depan bangsa. Nama mereka akan ditorehkan dalam tinta emas. Mereka berada di garda terdepan dalam melakukan pembaharuan.
Ketujuh, kebaruan. Rizal bilang bahwa perpustakaan umum DPR dibangun itu seperti halnya Library of Congress, Amerika. Jika kita mengikuti pola pikir ini, maka tak ada kebaruan di sini. Saya menantang anggota DPR untuk melakukan pembaharuan.
Jika ingin mengambil kebaruan, maka membangun perpustakaan umum kecamatan adalah kebaruan. Bahkan, mungkin, pemerintah Amerika tidak pernah mengeluarkan kebijakan pembangunan perpustakaan di setiap wilayah setingkat kecamatan.
Pemerintah Indonesia, dengan inisiatif DPR, bisa mengawali ini. Jika Rizal berpatokan kepada Library of Congress di Amerika, maka dalam bayangan saya, dalam beberapa tahun lagi orang-orang di dunia justru akan melihat inisiatif baru ini sebagai inspirasi. Mereka yang akan mengikuti inisiatif kita.
Dan, anggota DPR yang mengawal peraturan ini bukan hanya dicatat dalam tinta emas di dalam negeri, melainkan juga seantero dunia. Ini serius. Saya kira, masyarakat Indonesia akan rela mencatat dengan nada positif dalam memori mereka tentang orang-orang DPR yang mengawal pembangunan perpustakan di setiap kecamatan ini. Nama-nama mereka juga akan tercantum dalam buku-buku sejarah, yang akan dibaca di setiap kecamatan se-Indonesia.
Kedelapan, menghidupkan ekosistem bahan bacaan. Para pengarang, pegiat perbukuan, dan pembuat bahan bacaan sudah sering mengeluhkan ihwal daya serap dan distribusi produk mereka. Sementara ini, distribusi bahan bacaan masih dimonopoli beberapa pemain besar.
Dengan adanya perpustakaan di setiap kecamatan, para pembuat bahan bacaan ini tidak akan kesulitan untuk menyalurkan produk mereka. Mereka bisa langsung berhubungan dengan sebuah perpustakaan di satu kecamatan. Namun, untuk menjaga kualitas bahan bacaan, perpustakaan di kecamatan itu mesti dikelola dengan benar. Dan, pengelolanya mesti terpilih.
Pejuang Literasi
Pertanyaan selanjutnya, jika memang perpustakan umum kecamatan sudah ada, siapakah yang mengelola? Saya mengusulkan untuk perekrutan anak-anak muda potensial yang dinamakan Pejuang Literasi. Saya meminjam istilah ini dari teman-teman yang selama ini bergiat di bidang literasi.
Pejuang literasi ini adalah anak-anak muda yang berminat kepada penumbuhan minat baca di semua daerah. Ini seperti Sekolah Guru Indonesia-nya Dompet Dhuafa atau Gerakan Indonesia Mengajar, namun lebih fokus kepada baca dan tulis. Dia akan mengurus perpustakaan umum kecamatan itu.
Tugas utamanya adalah membuat perpustakaan lebih semarak. Juga peningkatan literasi kepada masyarakat secara umum. Pejuang Literasi ini berupaya memasyarakatkan perpustakaan, memperpustakaankan masyarakat. Pendeknya, Pejuang Literasi inilah yang akan memimpin dan membangkitkan perpustakaan umum kecamatan itu.
Jika pemerintah—dalam hal ini DPR dan Kementerian—mengajak anak-anak muda untuk mau membangun negeri ini dengan menjadi Pejuang Literasi, saya kira peminatnya akan terus membludak. Stok pemuda pejuang masih bejibun di negeri ini.
Ada dua pendekatan dalam pengelolaan Pejuang Literasi ini. Pertama, jika memang ada pemuda lokal, maka diutamakan mengambil pemuda lokal. Dengan menjadi Pejuang Literasi, hobi dan cita-cita mereka terwadahi dengan baik. Keuntungan model pertama ini adalah Pejuang Literasi ini tak perlu waktu lama untuk adaptasi dengan lingkungan sekitar. Dia berasal dari daerah itu. Dengan begitu, efek yang ditimbulkan akan segera terasa.
Kedua, mengambil Pejuang Literasi dari daerah lain. Namun, untuk pendekatan kedua ini mesti dibatasi waktu. Misalnya, 2 tahun. Dengan begitu, dia memiliki kewajiban tambahan untuk membibit calon-calon pejuang literasi lokal. Ada satu keuntungan lain dengan model seperti ini, yaitu mengeratkan semangat kebangsaan.
Akan terjadi interaksi saling mengenal budaya dan kebiasaan yang berbeda. Dan ini akan menciptakan keberagaman yang nyata, yang ditemui dalam keseharian. Misalnya, Pejuang Literasi yang berasal dari Kebumen, Jawa Tengah, ditempatkan di satu kecamatan di Kalimantan Barat.
Masyarakat di kecamatan itu akan tahu bahwa masyarakat Jawa itu beragam, dan keberagaman itu bisa dilihat dari logat, tata cara keseharian, dan kebudayaan sehari-harinya. Pun Pejuang Literasi dari Kebumen itu bisa mengetahui kebudayaan saudara sebangsanya dari Kalimantan.
Siapakah pengelolanya? Dalam bayangan saya, ini semacam konsorsium yang terdiri dari DPR dan Kementerian. Seperti Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Namanya bisa Lembaga Pengelola Pejuang Literasi (LPPL). Pun dalam pengelolaan dananya. Jika dana LPDP makin tahun makin besar, dana LPLL juga akan makin besar. Dan, penerima manfaatnya akan semakin banyak.
Sebelum melihat praktik baik di luar, Library of Congress, ada baiknya kita melihat yang sudah dan terbukti bermanfaat di sekitar kita. Sekolah Guru Indonesia, Indonesia Mengajar, atau LPDP adalah praktik baik yang patut disebarkan dan terus dijaga keberlangsungannya.
Jika tantangan ini disambut oleh DPR, saya yakin masuklah ini barang. Semua ini memberi atmosfir literasi yang lebih baik bagi saudara-saudara kita di seantero Indonesia. Adik-adik dan saudara-saudara kita di daerah-daerah itu akan mendapatkan bahan bacaan bagus dan bermutu. Dengan kondisi saat ini yang minim perpustakaan, kita sudah mendapatkan banyak kejutan dari adik-adik kita di berbagai daerah.
Dua siswa SMA di Jayapura, misalnya, berhasil membuat penelitiannya akan terbang NASA pada November 2016. Dengan perpustakaan di kecamatan, saya yakin dalam 10 tahun ke depan akan muncul banyak kejutan yang lebih dahsyat. Jadi, kegiatan-kegiatan apresiasi terhadap para penulis, peneliti, dan akademik itu bisa dilakukan di daerah-daerah.
Jika perpustakaan umum DPR hendak memberikan penghargaan semacam anugerah nobel, maka perpustakaan umum kecamatan ini justru malah mengadakannya di setiap kecamatan. Dengan begini, Indonesia akan semakin semarak.
Ini, saya kira, lebih penting dan prioritas ketimbang hanya ingin membuat banyak orang terpesona atas kemegahan sebuah bangunan dan koleksi bahan bacaannya. Namun, ketika melihat ke dalam, yang ada malah sepi. Seperti nasib Perpustakaan Umum DPR yang sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H