Pertama, ada yang rada menggelitik pikiran dalam pekan-pekan belakangan. Kalau izin ormas sudah expired hingga SKT yang anyar belum terbit, apakah ormas bersangkutan boleh melakukan atau terlibat suatu kegiatan? Termasuk penggunaan nama berikut simbol-simbol internal sebelumnya? Bagaimana detail pengaturannya dalam ketentuan peraturan yang berlaku?
Eits, jangan sewot apalagi mencak-mencak dulu. Tak bermaksud apa-apa. Itu cuma demi kemaslahatan bersama, juga ormas terkait sendiri. Misalnya, soal legal standing. Ketika dihadapkan pada masalah hukum tertentu. Umpama saja. Berbagai tanggapan yang mengemuka pun, rasanya tidak bisa auto dianggap serangan. Dari kanan-kiri. Perlu ditelisik seksama, apakah sebab atau akibat?
Kedua, ada yang cukup menggelikan dari bagian pernyataan HRS yang gaduh terbaru. Jika membaca rilis sejumlah media online, dirinya berasumsi lumayan sangar. Di antaranya lebih kurang, rezim telah dengan sengaja menggeser Pancasila yang berintikan Ketuhanan Yang Maha Esa, dari dasar negara menjadi pilar negara.
Jangan salahkan orang-orang, bila langsung teringat dugaan kasus pelecehan terhadap Pancasila olehnya zaman semono. Masih segar dalam ingatan. Ketika dirinya mempersoalkan (baru urutan mentahan) Pancasila usulan almaghfurlah Bung Karno, dengan menyebut Sila Pertama versi Piagam Jakarta. Sik sik sik, mengapa HRS memilih penyebutan Ketuhanan Yang Maha Esa kali ini yo?
Nah, soal asumsi bernada tuduhannya yang memicu kegaduhan sekarang, aslinya salfok (salah fokus) linguis. Bisa jadi lantaran menyemil informasi yang belum komplit. Entah lewat hasil akses pribadi atau memperoleh suplai dari pihak lain. Sependek pengetahuan saya, beberapa penggunaan "Empat Pilar" yang pernah seliweran. Empat Pilar Demokrasi, Empat Pilar Kebangsaan, Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, serta "Empat Pilar" (Program) MPR RI.
Istilah yang pertama rasanya klir sebagai wacana publik. Berkenaan dengan penambahan Trias Politika sebelumnya. Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif plus Pers kemudian. Sebagai buntut euforia reformasi. Walau masih terbuka dialektika, jika memakai perspektif konstitusi. Istilah kedua sampai keempat saling bertaut. Katakanlah tautan asbabul riwayatnya.Â
Awalnya saya telah berpapasan dengan ulasan bertema Empat Pilar Kebangsaan di sejumlah portal internet. Mencakup antara lain Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika (Bhinneka dengan dobel "n", bukan pula Bineka) dan NKRI. Maybe dari sini, lantas menginspirasi pula muatan Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Nomor 2/2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik. Frasanya Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara.
Rangkaian itu memantik polemik hingga berujung uji materi. Saya angkat kopyah pada sedulur dan senior MPP Joglosemar (terdiri kumpulan dosen, peneliti, mahasiswa, wartawan, dan lainnya) yang mengajukannya ke MK. Angkat kopyah juga untuk MK, akhirnya menggedok Amar Putusan Nomor 100/PUU-XI/2014 yang membatalkan frasa tersebut.
Bisa dipahami kiranya putusan MK itu, setidaknya demi menjaga keajegan pakem tafsir kedudukan Pancasila. Agar tidak bisa ditarik-tarik sesuai kepentingan tertentu. Seperti praktik penafsiran terhadap isi perundang-undangan di bawah UUD 1945, oleh segelintir oknum politisi yang kerap bikin gaduh selama ini. Sebab, itu menyangkut Pancasila sebagai Dasar Negara.
Pembukaan UUD 1945 saja, tak bisa sembarang interpretasi. Terlebih saat kelima Sila Pancasila sublim di dalamnya. Ya kalau mencari hanya kata "Pancasila" secara letterlijk dalam Pembukaan UUD 1945, tidak bakal menemukan. Walau sampai ujung dua sisi rel kereta api menyatu. Dengan begitu, aslinya musykil bisa mengganti NKRI, apalagi dasar negara. Upaya sengeyel berdalih apapun dalam hal ini percuma. Jika tak boleh mengatakan ilusi belaka. Itu pun tersirat dalam pernyataan kontroversial HRS terkini tho?
Lalu, bagaimana dengan celoteh HRS: dengan sengaja menggeser Pancasila yang berintikan Ketuhanan Yang Maha Esa, dari dasar negara menjadi pilar negara? Kalau memang kaitannya dengan Empat Pilar tersebut, bukankah tiada diksi "pilar negara"? Adanya pilar berbangsa, kebangsaan, bernegara dan sebagainya.
Jelas berbeda satu sama lain. Kalau masih dipaksakan sekali pun, antara negara dengan bernegara saja berlainan. So, haruskah orang-orang terpikir, dirinyalah yang mengada-adakan Pancasila menjadi pilar negara? Pro-kontra pun menyeruak lagi. Frasa beranalogi pilar sebelumnya saja sensitif memantik perdebatan. Apalagi pemakaian diksi pilar negara. Sementara, terkait "Empat Pilar" (Program) MPR RI, kabarnya telah dikonsultasikan kepada MK setelah meminta pandangan ahli bahasa.
Yang perlu disorot lebih dekat, pengetengahan kembali jargon "NKRI Bersyariah". Ibarat main karambol, dengan membantol Sila Ketuhanan Yang Maha Esa belaka. Atau ngeprek (Jawa, red) dalam permainan kelereng. Disertai semprotan terhadap BPIP dan Pemerintah. Entah ujung-ujungnya hendak balik kucing pada Sila Pertama versi Piagam Jakarta? Yang sejatinya kalah jleb ketika dikunyah lagi.
Gagasan NKRI Bersyariah sendiri masih sangat abstrak, untuk tidak dikatakan absurd. Seabsurd ide khilafah yang terus diasong kaum gagal move on. Lagi pula tanpa disadari HRS menyasar pimpinan MPR RI periode kini. Termasuk antara lain HNW yang turut terus menyosialisasikannya (Detik). Wani piro? Dan atas semua itu, saya hanya ingin memetik saupriibrah untuk diri sendiri. Agar senantiasa berhati-hati dalam memakai istilah. Lebih-lebih mengenai Pancasila sebagai Dasar Negara. Mengingat, penafsiran secara kebahasaannya pun tentu niscaya berakar studi spesifik ke-Pancasila-an. Bukan linguis dalam pandangan umum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H