Lalu, bagaimana dengan celoteh HRS: dengan sengaja menggeser Pancasila yang berintikan Ketuhanan Yang Maha Esa, dari dasar negara menjadi pilar negara? Kalau memang kaitannya dengan Empat Pilar tersebut, bukankah tiada diksi "pilar negara"? Adanya pilar berbangsa, kebangsaan, bernegara dan sebagainya.
Jelas berbeda satu sama lain. Kalau masih dipaksakan sekali pun, antara negara dengan bernegara saja berlainan. So, haruskah orang-orang terpikir, dirinyalah yang mengada-adakan Pancasila menjadi pilar negara? Pro-kontra pun menyeruak lagi. Frasa beranalogi pilar sebelumnya saja sensitif memantik perdebatan. Apalagi pemakaian diksi pilar negara. Sementara, terkait "Empat Pilar" (Program) MPR RI, kabarnya telah dikonsultasikan kepada MK setelah meminta pandangan ahli bahasa.
Yang perlu disorot lebih dekat, pengetengahan kembali jargon "NKRI Bersyariah". Ibarat main karambol, dengan membantol Sila Ketuhanan Yang Maha Esa belaka. Atau ngeprek (Jawa, red) dalam permainan kelereng. Disertai semprotan terhadap BPIP dan Pemerintah. Entah ujung-ujungnya hendak balik kucing pada Sila Pertama versi Piagam Jakarta? Yang sejatinya kalah jleb ketika dikunyah lagi.
Gagasan NKRI Bersyariah sendiri masih sangat abstrak, untuk tidak dikatakan absurd. Seabsurd ide khilafah yang terus diasong kaum gagal move on. Lagi pula tanpa disadari HRS menyasar pimpinan MPR RI periode kini. Termasuk antara lain HNW yang turut terus menyosialisasikannya (Detik). Wani piro? Dan atas semua itu, saya hanya ingin memetik saupriibrah untuk diri sendiri. Agar senantiasa berhati-hati dalam memakai istilah. Lebih-lebih mengenai Pancasila sebagai Dasar Negara. Mengingat, penafsiran secara kebahasaannya pun tentu niscaya berakar studi spesifik ke-Pancasila-an. Bukan linguis dalam pandangan umum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H