Mohon tunggu...
Anshor Kombor
Anshor Kombor Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang terus belajar

Menulis menulis dan menulis hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Seraut Senja di Gubuk Cokelat

18 Juli 2018   11:53 Diperbarui: 18 Juli 2018   11:55 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: stock-clip.com

Pukul 16.15, Zaid tiba di lokasi sesuai janji kopdar. Sepuluh menit telah berlalu kemudian. Dia menunggu kehadiran seseorang, memilih meja di sisi yang rada adem. Walau begitu, cahaya keemasan matahari sore yang menembus dinding kaca bagian depan Gubuk Coklat, lokasi dia menunggu, tetap menyirati tepian mejanya.

Zaid sesekali melongok ke jalanan luar. Selain untuk mencari tahu apakah seseorang yang ditunggu tampak batang hidungnya, dia juga ingin menikmati suasana kotanya. Dia memang sedang pulang kampung, ritual tiap setahun sekali dan baru tiba dari tanah rantau saat pagi membias kemarin. Wajah kota tempatnya dibesarkan yang selalu punya cara memanggil rindunya untuk pulang itu, memang telah mengalami banyak perubahan begitu cepat. Bahkan, kotanya menyabet penghargaan bergengsi baru-baru ini.

Hilir mudik berbagai kendaraan yang lumayan ramai meski di hari libur sore itu, seketika menggandeng pikirannya menyusuri ruas-ruas ingatan kanak-kanaknya zaman old. Tak jauh dari jujukan kuliner spesial aneka racikan coklat itu, ada Taman Balai Kota yang dikunjungi warga setiap hari Minggu pagi. Zaid kecil bersama sejumlah bocah kampungnya, juga biasanya menikmati libur akhir pekan dengan bermain bola di sana. Bila matahari semakin meninggi, sebelum pulang dia dan teman-temannya berceburan di kolam air mancur, sembari kerap harus berkejaran dengan petugas keamanan.

Suit Suiiit Suiiiiittt... Ponselnya berdering membuyarkan lamunannya. Satu pesan baru masuk tertulis dari profil bernama Wulan, seseorang yang akan kopdar dengannya. Zaid celingukan ke arah luar sebelum membaca chat.

"Kamu di mana? Aku sudah dekat tekape neh. Kira-kira lima menit lagi sampai deh" isi pesan yg tertulis di ponselnya.
"Saya wis garuk-garuk kepala di tekape" balasnya sambil duduk kembali.
"Hahaha... Dasaaarrr... Iya maaf aku terlambat. Eh, aku mengajak teman neh, nggak apa-apa kan?"
"Yo wis rapopo. Memang siapa yang Sampean ajak?"
"Bukan siapa-siapa, cuma saudariku kok. Tunggu ya..."
"Oh, ok."

Zaid buru-buru menghampiri pramusaji, memesan cemilan sambil menanyakan adakah sisi lain tempat itu yang agak tersendiri. Entah terlintas sesuatu begitu saja di pikirannya. Pemuda yang melayani para pengunjung itu menunjuk ruang samping, tepat bersebelahan dengan lahan parkir. Dia lantas bergeser ke sana. Suasana ruangannya memang lebih hening, tapi masih bisa melihat ke luar lewat jendela kaca berjeruji kayu rada kecil.

Pukul 16.45, lima belas menit dari waktu yang disepakati. Terlihat mobil berjenis MPV warna hitam berhenti, lalu pelan-pelan memasuki halaman terbuka dipandu tukang parkir. Usai mesinnya dimatikan, seorang gadis keluar dari pintu jok sopir. Berparas lumayan cantik dengan kulit langsat dan perawakan agak tinggi, langsing. Disusul gadis satu lagi keluar dari pintu depan sebelahnya. Wajahnya kalem dengan postur sedikit berisi. Keduanya lalu menghampiri samping tengah mobil dan mengetuk-ketuk kaca pintunya. Lantas kaca pintu turun perlahan dan terbuka separuh.

"Ranting, benar kamu nggak ikut masuk?" tanya salah seorang gadis.
"Iya, kalian saja yang masuk bertemu dia. Nanti kalian ceritakan seperti apa dia orangnya. Kalau bisa sekalian minta fotonya di dalam" jawab gadis dalam mobil dengan sedikit melongokkan wajahnya.
"Heh, nggak bisa begitu dong, Ranting. Kan kamu yang janjian sama dia" ujar gadis yang lain.
"Sudah, kalian masuk sana gih. Aku menunggu di sini saja. Mey atau kamu, Tika, yang mengaku diriku nanti. Terserah kalian."
"Busyeeet... kok jadi kita yang kebagian getahnya?" jawab kedua gadis spontan bersamaan.
"Hahaha..."

Ketiganya masih sempat berbincang alot. Tapi, lantaran gadis yang dipanggil Ranting keukeuh tak ikut masuk, dua gadis temannya mengalah akhirnya. Lalu, keduanya bergegas memasuki Gubuk Coklat dengan pasang bibir manyun. Angin yang berhembus membuat percakapan mereka terdengar Zaid di ruangan yang tak jauh. Sementara, Ranting kemudian asyik bermain gawai.

Zaid sesekali memperhatikannya dari balik jendela sejarak empat meteran. Kebetulan juga Ranting lantas membuka full kaca pintu tengah mobil, sehingga dirinya lebih jelas terlihat meski tetap sebatas wajah hingga bahu. "Oh, jadi itu tho orangnya. Kok berbeda dengan sosok yang diasumsikan orang-orang di medsos selama ini, yo?", dia membatin dalam hati. Gadis dengan perawakan ramping. Berdasar suaranya yang terdengar ketika berbincang-bincang tadi, identik dengan suara cerewet yang amat familiar. Zaid yakin tak salah orang.

Drt drrrt drrrrrttt.. Ponselnya yang telah diatur bernada dering hanya getar, mengisyaratkan satu pesan baru dari gadis itu. "Kamu duduk di sebelah mana? Jangan-jangan kamu nggak datang, ya?"

"Aku wis di dalam kok. Sampean yang mana, yang pakai baju merah muda apa pakai baju atasan hitam?" balasnya.
"Lho kamu kok sudah tahu, terus kamu yang mana? Apa satu-satunya cowok yang duduk sendirian, pakai kaos biru neh?"
"Halaaah... Sampean tadi bilang bareng teman, tapi kok bertiga? Lalu ndak mau masuk lagi" balasnya. Ranting terlihat kaget, lalu memandang sekitar dari jendela mobil.
"Kamu di sebelah mana sih?"

Ketika Ranting larut dengan gadget-nya lagi, mungkin ia sedang chating-an dengan kedua temannya, Zaid melihat tukang parkir memindah bangku kayu ke belakang mobil Sport itu. Dia bergegas membayar minuman dan cemilan pesanannya di kasir dua dekat mejanya, lantas beranjak keluar dengan hati-hati agar tak sampai terlihat. Dengan sedikit arah memutar, Zaid telah berada tepat di belakang mobil, tempat Ranting menunggu, kemudian duduk membelakanginya di bangku.

"Ndak apa-apa kalau Sampean memang ndak mau ketemu. Toh saya juga cuma ingin menyerahkan sesuatu" tulis Zaid di chat.
"Apa itu? Maaf, bukannya begitu. Tapi aku belum dapat izin Abi untuk bertatap muka dengan cowok, Mas" balas gadis itu.
"Maafkan juga kalau tulisanku yang kemarin, justru menempatkan Mas pada posisi yang nggak mengenakkan", tulis Ranting di pesan.
"Aku juga ndak menduga Sampean menulis seperti itu. Aku ndak paham maksudnya. Tapi, ya sudahlah", timpal Zaid.
"Memang Mas mau menyerahkan apa sih?"

Zaid berdiri kemudian menghampiri Ranting, mengetuk pintu mobil dan menyapanya.
"Ranting, bukan Wulan kan? Atau jangan-jangan Melati?" sapanya. Gadis itu terkejut dengan rona memerah. Ia sempat juga tertegun cukup lama, serasa mengenal wajah lelaki di hadapannya.
"Woiii... malah melamun", Zaid menyadarkannya sambil mengibas-kibaskan tangan di depan wajahnya.
"Mas Zaid? Mmmaaf..." tanyanya gelagapan, dijawab Zaid dengan anggukan kecil.
"Aku hanya ingin menyerahkan ini", dia mengulurkan amplop mini.
"Apa ini?"
"Buka saja sendiri."

Ranting menyobek perlahan amplop di tangannya, lantas memeriksa isi di dalamnya. Jemarinya dengan hati-hati mengeluarkan sesuatu agar jangan sampai terjatuh. Ia menimang-timang sejenak, menggenggam barang mungil itu, lalu melonjak seakan tersadar melewatkan sesuatu. Ia mencari-cari lelaki tadi ke sekeliling, tapi tidak menemukannya. Lalu, ia mendatangi tukang parkir.

"Bang, lihat Mas yang tadi pergi ke mana ya?" tanyanya sambil mengedarkan pandangan.
"Oh, baru saja dia keluar pakai kendaraan putih ke arah sana. Ada apa ya, Mbak?" sahut lelaki yang memakai rompi tukang parkir.
"Nggak, nggak ada apa-apa. Terima kasih ya, Bang"

Ranting kemudian menelpon, tapi tak diangkat pemilik nomor ponsel di seberang. Ia lantas kembali ke mobil dan menghempaskan tubuhnya. Tak lama berselang Mey dan Tika keluar dari Gubuk Coklat lalu menghampirinya.

"Ada apa Ran?" tanya Tika penuh selidik ketika melihat roman muka temannya itu berubah.
"Nggak ada apa-apa, Tik. Ayo kita balik" sahut Ranting.
"Tapi kita nggak menemukan cowok itu. Kamu juga belum ketemu kan?" tanya Mey.
"Sudah. Kita balik saja sekarang" timpal Ranting.
"Whaaat?" dua temannya tersentak sambil mengangkat bahu. Ranting mengisyaratkan agar keduanya lekas masuk mobil.

Seraut keemasan senja yang semakin redup, berpendar di sela-sela rimbun dedaunan pohon-pohon di pelataran tempat kuliner itu. Mesin mobil telah menyala, sedangkan Ranting masih terdiam. Pikirannya mengingat-ingat lagi wajah lelaki itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun