"Aku wis di dalam kok. Sampean yang mana, yang pakai baju merah muda apa pakai baju atasan hitam?" balasnya.
"Lho kamu kok sudah tahu, terus kamu yang mana? Apa satu-satunya cowok yang duduk sendirian, pakai kaos biru neh?"
"Halaaah... Sampean tadi bilang bareng teman, tapi kok bertiga? Lalu ndak mau masuk lagi" balasnya. Ranting terlihat kaget, lalu memandang sekitar dari jendela mobil.
"Kamu di sebelah mana sih?"
Ketika Ranting larut dengan gadget-nya lagi, mungkin ia sedang chating-an dengan kedua temannya, Zaid melihat tukang parkir memindah bangku kayu ke belakang mobil Sport itu. Dia bergegas membayar minuman dan cemilan pesanannya di kasir dua dekat mejanya, lantas beranjak keluar dengan hati-hati agar tak sampai terlihat. Dengan sedikit arah memutar, Zaid telah berada tepat di belakang mobil, tempat Ranting menunggu, kemudian duduk membelakanginya di bangku.
"Ndak apa-apa kalau Sampean memang ndak mau ketemu. Toh saya juga cuma ingin menyerahkan sesuatu" tulis Zaid di chat.
"Apa itu? Maaf, bukannya begitu. Tapi aku belum dapat izin Abi untuk bertatap muka dengan cowok, Mas" balas gadis itu.
"Maafkan juga kalau tulisanku yang kemarin, justru menempatkan Mas pada posisi yang nggak mengenakkan", tulis Ranting di pesan.
"Aku juga ndak menduga Sampean menulis seperti itu. Aku ndak paham maksudnya. Tapi, ya sudahlah", timpal Zaid.
"Memang Mas mau menyerahkan apa sih?"
Zaid berdiri kemudian menghampiri Ranting, mengetuk pintu mobil dan menyapanya.
"Ranting, bukan Wulan kan? Atau jangan-jangan Melati?" sapanya. Gadis itu terkejut dengan rona memerah. Ia sempat juga tertegun cukup lama, serasa mengenal wajah lelaki di hadapannya.
"Woiii... malah melamun", Zaid menyadarkannya sambil mengibas-kibaskan tangan di depan wajahnya.
"Mas Zaid? Mmmaaf..." tanyanya gelagapan, dijawab Zaid dengan anggukan kecil.
"Aku hanya ingin menyerahkan ini", dia mengulurkan amplop mini.
"Apa ini?"
"Buka saja sendiri."
Ranting menyobek perlahan amplop di tangannya, lantas memeriksa isi di dalamnya. Jemarinya dengan hati-hati mengeluarkan sesuatu agar jangan sampai terjatuh. Ia menimang-timang sejenak, menggenggam barang mungil itu, lalu melonjak seakan tersadar melewatkan sesuatu. Ia mencari-cari lelaki tadi ke sekeliling, tapi tidak menemukannya. Lalu, ia mendatangi tukang parkir.
"Bang, lihat Mas yang tadi pergi ke mana ya?" tanyanya sambil mengedarkan pandangan.
"Oh, baru saja dia keluar pakai kendaraan putih ke arah sana. Ada apa ya, Mbak?" sahut lelaki yang memakai rompi tukang parkir.
"Nggak, nggak ada apa-apa. Terima kasih ya, Bang"
Ranting kemudian menelpon, tapi tak diangkat pemilik nomor ponsel di seberang. Ia lantas kembali ke mobil dan menghempaskan tubuhnya. Tak lama berselang Mey dan Tika keluar dari Gubuk Coklat lalu menghampirinya.
"Ada apa Ran?" tanya Tika penuh selidik ketika melihat roman muka temannya itu berubah.
"Nggak ada apa-apa, Tik. Ayo kita balik" sahut Ranting.
"Tapi kita nggak menemukan cowok itu. Kamu juga belum ketemu kan?" tanya Mey.
"Sudah. Kita balik saja sekarang" timpal Ranting.
"Whaaat?" dua temannya tersentak sambil mengangkat bahu. Ranting mengisyaratkan agar keduanya lekas masuk mobil.
Seraut keemasan senja yang semakin redup, berpendar di sela-sela rimbun dedaunan pohon-pohon di pelataran tempat kuliner itu. Mesin mobil telah menyala, sedangkan Ranting masih terdiam. Pikirannya mengingat-ingat lagi wajah lelaki itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI