Di awal-awal rasanya laik mengapresiasi penuh terima kasih kepada Mbakyu Yeni Wahid, Mbakyu Alissa Wahid dan sesepuh NU yang turut meredakan ”gronjalan” pascapersidangan Ahok kedelapan (31/1). Begitu pula jajaran Ansor-Banser dan nahdhiyin yang lebih memilih tetap menahan diri.
Tentu diharapkan komunikasi lanjutan yang makin kondusif, baik melalui jalur struktural maupun kultural, oleh para tokoh nahdhiyin hingga akar rumput. Seiring pula antara para elit NU dengan kalangan eksternal. Mengingat, kecamuk politik mendekati hari coblosan Pilgub DKI Jakarta yang semakin membadai ke mana-mana.
Sambil terus cooling down, saya hanya ingin menengok kembali dari kacamata wong cilik, bahwa persidangan kedelapan Ahok saat JPU menghadirkan Ketum MUI, KH Ma’ruf Amin, hari Selasa lalu hanya satu sub-episode rangkaian yang belum tuntas dari peradilan terkait. Satu-satunya langkah pro justitia yang kudu dijalani guna menemukan jawaban seutuhnya atas pertanyaan masyarakat umum, lebih dari sebatas ikhtiar pihak Gubernur DKI Jakarta nonaktif itu sendiri dalam mendapatkan timbangan keadilan.
Masih segar dalam ingatan, betapa sejak mula perhatian khalayak luas, bukan hanya warga Jakarta dan sekitarnya, terbetot sedemikian rupa untuk ikut menyuntuki kasus penodaan agama ini sampai persidangan demi persidangannya sekarang. Termasuk saya yang tinggal berkilo-kilo meter dari Ibukota jauhnya.
Riak-riak keriuhan yang silih berganti menyertai dan tak jarang secara massal, baik yang masih tercantel perkara ini maupun lepas samasekali, terus mendedahkan stimulus emosi dengan sporadis dan massif. Jangankan para pihak bersangkutan, warga biasa seperti saya juga ikut sumpek di kejauhan. Saya jadi penasaran, warga Jakarta sendiri tampaknya enjoy saja yo?
Belum lagi, sebaran kabar provokatif media sosial yang seakan tiada henti merangsek hingga saat kita di peraduan. Kaum muslim yang beribadah shalat Jumat kemarin di sejumlah tempat saja, mendapati selebaran tentang sidang Ahok itu disertai nama Kiai MA dan NU merujuk Republika Online, serta kalimat ”Syariah & Khilafah Mewujudkan Islam Rahmatan lil Alamin” di dalamnya. Hak setiap individu untuk menikmati ruang informasi dan komunikasi yang benar-benar lega sudah terampas.
Situasi demikian sarat potensi timbulnya respons emosional. Bukan hendak meremehkan pokok persoalan, miskomunikasi sedikit saja akan menyentak kesalahpahaman hingga luapan psikologi massa. Upaya berdialog dengan pikiran serta hati yang lebih adem menjadi terlewatkan akhirnya.
Hampir saja kita stuck ketika tanpa diduga persidangan itu menyisakan turbulensi. Lebih ketir-ketir lagi, seketika NU serasa akan ikut terhisap. Andai terlambat sebentar saja, entah apa yang akan terjadi. Kebetulan saya intens mengikuti termasuk awwal marrah yang saya tonton dari siaran televisi dan sandingan rilis media-media online yang sekiranya layak dijadikan rujukan.
Ketika pemberitaan sehari sebelum persidangan (30/1), menyebutkan Kiai MA akan bersaksi, kegelisahan menghinggapi pikiran dengan berbagai pertanyaan. Antara lain, Kiai MA dihadirkan dalam kapasitas sebagai apa? Saksi atau ahli? Bagaimana koordinasi MUI? Bukan soal materi keterangan, tetapi sebab kondisinya telah sepuh serta relasi NKRI dan NU ujungnya. Kalau soal materi kesaksian, toh sidang hari itu hanya satu sub-episode dari proses yang belum tuntas.
Dari siaran televisi sore usai Kiai MA memberikan kesaksian, Ikhsan Abdullah (monggo koreksi bila tidak presisi), anggota MUI yang mendampingi kiranya tergesa-gesa menyampaikan komentar dengan intonasi kurang adem. Dalam satu situs bahkan dikesankan pengacara mengamuk (Kriminalitas).
Mungkin karena lebih kecapaian dibandingkan Kiai MA yang sesekali masih tersenyum sekeluar dari ruang sidang. Walau juga letih bersaksi sekian jam di persidangan. Dalam komentarnya Ikhsan menilai persidangan tidak manusiawi dan pihaknya bakal melapor kepada MA, seperti kemudian dirilis pula dalam Kompas-1.
Gemas menyaksikannya di layar kaca. Apakah tidak peka situasi yang berkembang, hingga memilih frase ”tidak manusiawi” dalam pernyataannya? Ujaran itu jelas amat sensitif. Tidak manusiawi bagaimana? Saat itu, semula alasannya karena Kiai MA dimintai keterangan selama hampir 7 jam. Apakah memang tidak ada waktu jedah istirahat samasekali selama persidangan?
Bila kondisi fisik dan usia Kiai MA yang menjadi alibi, mengapa tidak menghadirkan anggota MUI lain yang lebih muda dan garang? Bukankah pengurus lembaga fatwa itu banyak, seperti dilontarkan Ikhsan sendiri dalam program Apa Kabar Indonesia Malam TVone? Lagi pula perumusan sikap keagamaan tentang kasus Ahok melibatkan banyak unsur struktur MUI, sehingga mestinya siapapun yang turut serta di dalamnya pasti mengerti persoalannya untuk kemudian siap dan bersedia memberi keterangan di persidangan?
Lalu, saya coba menelisik beragam pemberitaan. Antara lain disebutkan, hakim sempat menanyai Kiai MA dalam persidangan tentang hal itu (Kompas-2). Artinya, ketika dirasakan koordinasi MUI sendiri kurang paten sebelumnya –bukan soal materi kesaksian– jangan lantas menyemprot pihak lain semisal hakim maupun JPU, apalagi dengan asumsi tidak manusiawi yang menggugah rasa ingin tahu dan intuisi khususnya awak media massa.
Apakah tidak disadari pula dengan mengiyakan Kiai MA menjadi saksi, sekalipun dikatakan atas kehendak Kiai MA sendiri, sejatinya telah menempatkannya pada posisi yang rentan menuai hal-hal yang tidak terduga, maupun kesan interaksi yang tidak diharapkan selama persidangan. Dari pengalaman banyak sidang pengadilan, saksi bisa jadi laksana ”terdakwa” bagi pembela hukum, sama halnya terdakwa bagi JPU. Posisi saksi juga bukan mustahil menjadi sasaran tembak pascasidang.
Cemas masih bergelayut, saya terus mengikuti reportase televisi, media online, bahkan situs jejaring sosial. Rupanya polemik bergeser soal tindakan pihak Ahok yang dianggap berlebihan dan macam-macam itu kepada Kiai MA selama persidangan. Tak sedikit tokoh NU dan kaum nahdhiyin dari berbagai daerah juga sontak bereaksi, terlebih setelah ujaran ”Kiai MA bukan hanya Ketum MUI, tetapi juga Rais Am PBNU sering terlontar.
Reaksi demikian tentu sangat sangat bisa dipahami. Yang tak bisa dipahami ulah para oknum (bukan kalangan nahdhiyin) seakan turut mengail di air keruh. Tengok saja interaksi di Twitter misalnya, betapa horor setidaknya pada malam hari setelah persidangan sampai keesokan harinya. Diiyakan atau tidak, indikasi tersebut sungguh terasa. Meski pengguna Twitter tak mudah diidentifikasi secara riil, tetapi dengan mencermati seksama kicauan yang meruah juga tidak terlalu sulit menganalisisnya.
Bagaimana dengan perlakuan Ahok dan sejumlah penasehat hukumnya? Tanpa bermaksud menafikan, rasanya sudah lebih dari cukup sekalian pihak menyampaikan sikap. Mulai dari sekadar kritik hingga teguran, bahkan tak dipungkiri adanya kecaman dan hujatan. Bila saya masih turut menambahkan, kiranya akan menjadi berlebihan.
Sementara, di antara sesepuh NU berharap agar kita menyikapi secara proporsional, sama halnya para figur lainnya yang mewanti-wanti kita ikut menjaga situasi tetap kondusif dan tidak berbuat anarki. Mungkin, pihak Ahok kudu melakukan pembenahan dalam upaya cross examination, tetapi bukan berarti pelemahan daya kritis untuk menggali kebenaran.
Kini, sebagaimana pernyataan Ikhsan, pihak MUI masih dirundung kekhawatiran, sisa para saksi yang rencananya dihadirkan dalam persidangan berikutnya akan mendapat perlakuan serupa terhadap Kiai MA pekan lalu (Jawa Pos). Entah apakah itu juga sinyalemen turbulensi selanjutnya? Masyarakat kecil seperti saya hanya berharap, pihak MUI tidak tergopoh-gopoh melontarkan statemen yang sensitif.
Yang perlu diingat pula, dengan pikiran dan hati yang adem hendaknya dipilah, bahwa MUI bukanlah NU dan sebaliknya. Bagaimana pun gerbong NU terlalu besar untuk dibenturkan apalagi terseret dalam pusaran hanya Pilgub DKI Jakarta kali nanti. Lebih-lebih karena eksistensinya senantiasa didamba sebagai peneduh bagi segenap komponen bangsa di negeri Bhinneka Tunggal Ika ini.
Dan selaku bagian dari rakyat awam, saya tidak bosan-bosan berharap, MUI segera menyatakan rekomendasi nyata menolak eksistensi GNPF-MUI sehingga juga lekas membubarkan sendiri. Selain suara-suara terus mengemuka walau mungkin dianggap sayup-sayup, juga demi kemaslahatan MUI sendiri di kemudian hari. Salam damai, kedamaian selalu akan terasa saat menginsafi bahwa kita semua adalah saudara di Rumah Kita Indonesia. Wallahu a’lam bis-shawab!
Referensi bacaan tambahan:
Tribunnews
Tempo
Suara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H