Momen peringatan Hari Santri Nasional (Hartrinas) digelar hari ini. Setelah pengukuhannya oleh Presiden Jokowi melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 kemarin. Berbagai hajatan berlangsung atas koordinasi PBNU beserta segenap pihak terkait di berbagai tempat. Mulai dari upacara serentak se-Indonesa, kirab santri nasional, pembacaan 1 Milyar Shalawat Nariyah untuk Kemakmuran Bangsa dan acara lainnya.
Dengan mengusung tema-tema yang menyegarkan kembali suasana kebatinan, tentang betapa penting perjuangan dan pengabdian dalam menjaga NKRI beserta persaudaraan sekalian elemen bangsa, juga senantiasa membumikan spirit agama (Islam) yang mendamaikan penuh cinta di tengah fitrah perbedaan. Kali ini pelaksanaannya juga diwarnai penganugerahan rekor MURI di Lapangan Monas, Jakarta.
Pada hari ini pula 71 tahun silam, peristiwa bersejarah terjadi seiring cetusan Resolusi Jihad yang menjadi titik tolak perjuangan kemerdekaan. Fatwa dari ulama kharismatik Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari (”Sang Kiai” Pendiri NU) yang kemudian menggelorakan semangat juang sekalian elemen rakyat Surabaya dan sekitarnya. Termasuk siapapun dalam radius ketentuan jarak boleh menjamak shalat, bareng Laskar Hizbullah guna melawan penjajah asing. Puncaknya saat berkecamuk pertempuran 10 November 1945 di Kota Pahlawan.
Fatwa yang bertolak dari aktualisasi kesadaran iman atas pentingnya mempertahankan tanah air dari segala bentuk penindasan maupun imperialisme. Dengan aspek kesejarahan itu, kiranya patut momentumnya diperingati bukan hanya berkenaan dengan urun peran ”kaum bersarung” di dalamnya, melainkan lebih berorientasi penghargaan terhadap sejarah panjang negeri ini. Jadi, sejatinya memperingati Hartrinas sebagai menghargai histori NKRI sendiri.
Lakon ”kaum bersaung” pun terus sublim dalam perjalanan bangsa seiring derap perubahan di bawah pemerintahan yang silih berganti dari masa ke masa. Terutama komitmen dan konsistensi berkhidmat terhadap eksistensi NKRI yang ber-Bhinneka Tunggal Ika sampai kapanpun. Sama halnya menerima dan mengaktualisasi esensi Pancasila sebagai implementasi bagian nilai-nilai agama (Islam) secara berbudaya dalam koridor berbangsa dan bernegara.
Itu bisa dicermati misalnya, kiprah Gus Dur selaku personifikasi santri bahkan begawan ”kaum bersarung” tak kenal lelah dan pantang menyerah sepanjang hidupnya, meneruskan komitmen kebangsaan yang berlatar heterogenitas. Utamanya pembelaan dirinya terhadap kalangan minoritas dan kemanusiaan. Walau ia berulangkali harus menghadapi rintangan, tantangan, hingga potensi ancaman.
Geliat santri tentu mengalami pasang-surut sejalan dinamika bangsa. Sempat pula merebak upaya penggerusan makna eksistensi ”kaum bersarung” dan pesantren. Taruhlah aksi-aksi tak elok bahkan tindakan kriminal membahayakan kelangsungan bangsa, dengan memakai label pesantren yang bertentangan dengan prinsip santri-pesantren itu sendiri. Akibatnya, santri-pesantren pernah menuai kecurigaan hingga tudingan yang tidak semestinya.
Padahal, andaikan sejenak menengok kembali semisal perunutan Opa Taufik Abdullah dalam bukunya Islam dan Masyarakat; Pantulan Sejarah Indonesia saja, para sedulurtidak gampang terjebak maupun terpedaya dengan pemakaian label terutama pesantren untuk kepentingan tertentu. Sebab, pesantren begitu pula santri memiliki karateristik maupun ikatan kesejarahan tersendiri, yang tidak sertamerta cukup dengan mendirikan bangunan pondok lantas merekrut orang-orang, untuk menghuni dan beraktivitas di lingkungan tertentu.
Walau demikian, fenomena macam itu bukan hendak agar santri underestimate terhadap pergumulan dengan dunia luar, tetapi lebih dipahami sebagai tantangan yang jelas tidak semakin ringan bagi hari ini dan esok. Sama halnya ketika ikut ambil bagian dalam menghadapi radikalisme yang terus merangsek dari berbagai arah dan kesempatan, merupakan ujian kesekian pengabdian terhadap bangsa dan negara.
Bagaimana pun kalangan santri jelas menolak pengelu-eluan yang berlebihan, sebab dalam pemahaman mereka tiada yang sempurna dalam hidup ini, dan kesempurnaan semata milik Gusti Tuhan yang Mahasempurna dengan limpahan Kasih-Nya. Peringatan Hartrinas pun bagi mereka bukanlah pengistimewaan, tetapi sebatas reuni kesejarahan sekaligus menunaikan wejangan agung Bung Karno atas makna sejarah.
Apalagi, mengingat ”kaum bersarung” adalah lapisan sosial yang tidak segan menertawakan diri sendiri, sebagai bagian shock therapy khususnya untuk pribadi, bahwa hidup ini tidak bisa dilihat secara hitam-putih melulu. Namun, juga membutuhkan proses dialogis berkesinambungan demi kemaslahatan yang lebih besar dan khalayak luas. Sebagaimana mereka memahami bahwa sebaik-baik insan adalah mereka yang berbudi pekerti luhur serta bermanfaat untuk sesama dan lingkungan sekitarnya.
Dengan begitu, predikat santri bagi mereka hanyalah simbol tekad berkontribusi dengan kesederhanaan untuk komitmen menjaga dan memajukan NKRI selama hayat di kandung badan. Selamat Hari Santri, jangan pernah letih menemani langkah negeri ini menapak pencerahan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H