Mohon tunggu...
Anshor Kombor
Anshor Kombor Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang terus belajar

Menulis menulis dan menulis hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menengok Lebih Dekat Kepemimpinan Rismaharini

11 November 2015   14:53 Diperbarui: 11 November 2015   15:50 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

”Selamat Bu Risma telah meraih Penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) 2015, atas birokrasi pemerintahannya yang dinilai bersih dari praktik rasuah!” pada Jumat lalu (6/11).

Isu yang menerpa Bu Risma –sapaan akrab Tri Rismaharini– berkenaan dengan Pasar Turi belum lama ini, mengingatkan lagi renungan dulu seputar kepemimpinannya yang terbilang menarik bahkan unik. Semula bisa dicermati lewat aksi-aksinya semasa menahkodai Pemkot Surabaya lima tahun kemarin. Dan semakin terasa ketika saya bareng rekan-rekan Konek (Kompasianer Nekad) bersilaturrahim dengan inkamben Pilwali kali ini tersebut, di RM Prima Rasa Jalan Ahmad Yani, Surabaya (3/11).

Acara itu sebatas dialog ringan, sambil menyimak langsung keterangannya, semisal mengenai berbagai persoalan Kota Pahlawan terakhir. Jauh dari kesan formalitas yang kaku. Di antara teman-teman yang hadir, bahkan stand by dua jam sebelum dimulai gelarannya. Serangkaian informasi lantas mengemuka, sehingga pemahaman lebih konek (nyambung). Termasuk masalah Pasar Turi juga sempat disentil dan rasanya memang klir.

Nah, sisi-sisi menarik leadership Bu Risma selama menjabat L1, tercermin dalam beberapa hal. Sebagaimana bisa diresapi pula selama perjumpaan siang itu. Diawali sebagai penanda sejarah kepemimpinan (perempuan), terutama di Surabaya yang membuktikan pengabdian nyata untuk kemaslahatan warga kota. Lalu, penegasan bahwa wilayah pemimpin bukan hanya tentang siapa, tapi lebih mengenai komitmen serta keseriusan dalam menggiatkan berbagai kinerja yang bermanfaat untuk publik.

Pertama, karakternya yang kuat dalam memimpin ndak tercerabut dari nilai-nilai kearifan berikut dialektika lokal. Bu Risma itu Suroboyo-Jawa Timur bingit, sekaligus menasional orangnya. Interaksinya dengan siapapun kerap bersahaja, humble, apa adanya dan blak-blakan dalam koridor keadaban. Tanpa rikuh dengan imej dan gengsi elitis. Betapa ndak gampang mempertahankan hal demikian, di tengah bermacam godaan prestise, apalagi selaku pemegang tampuk kekuasaan (daerah).

Bu Risma itu njawani, empatinya tercurah secara empiris. Seperti penjelasannya dalam silaturrahim hari itu, bagaimana kepeduliannya terhadap kaum pinggiran. Dirinya ngopeni para warga yang terbelit ekonomi, kelompok lansia, anak-anak yatim dan mereka yang mengalami keterbasan fisik maupun berkebutuhan khusus. Ia juga turut menopang hajat hidup seniman tradisional yang terpinggirkan agar tetap survive. Jadi, kepemimpinannya riil egaliter. Sementara, kata egaliter sendiri nyaris ndak terdengar lagi dalam bincang-bincang dunia politik dan pemerintahan sekarang.

Teguh karakternya membulatkan pula independensinya. Jaring-jaring intervensi, baik langsung maupun ndak langsung, dari pihak-pihak yang barangkali memendam interes tertentu, bakal diretasnya secara tegas. Ia juga ndak begitu saja tunduk pada ketentuan-ketentuan partisan. Baginya, saat mengambil pilihan menjadi orang nomor wahid di Surabaya, maka jalan berkhidmatnya adalah memperjuangkan kepentingan rakyat lebih dari urusan pribadi dan kelompok.

Dalam pandangan tokoh yang dinobatkan sebagai Walikota terbaik ketiga sejagad oleh World Mayor ini pun, segala kebijakan pembangunan terutama fisik yang dicanangkan pemerintahannya, kudu senantiasa mengedepankan pertimbangan maslahat bagi masyarakat luas. Jangan heran, bila ia pernah bergeming menolak usulan pengadaan jalan tol tengah kota yang dulu menjadi bola panas, dan berujung upaya pemakzulan terhadap kedudukannya.

Seperti penuturannya dalam jumpa dengan para sahabat Konek, antara lain karena proyek itu berpotensi membikin anjlok nilai properti masyarakat yang berada di sekitarnya. Andaikan terwujud, ndak semua warga bisa menikmatinya. Belum lagi, ekses-ekses lain yang justru kontraproduktif terhadap ikhtiar pemenuhan kepentingan rakyat. Dalam perkembangannya ternyata memang banyak kalangan yang menolak rencana tol tengah kota tersebut.

Kedua, menariknya dengan kebersahajaan dan sikap apa adanya, Bu Risma memakai manajemen lebih modern. Ia bukan hanya membenahi birokrasi, namun juga membangun sistem dengan spirit transparansi dan pemerintahan yang bersih, guna memberikan pelayanan publik yang semakin baik. Sebut saja misalnya, sistem e-Procurement dan e-Government yang diterapkannya pada semua sektor.

Lalu, sistem e-Budgeting dan Surabaya Single Window serta hal lainnya yang kiranya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Terobosan-terobosan macam itu bukan hanya ikut mengantarkan dirinya mendapat bermacam penghargaan, melainkan juga menjadi inspirasi bagi para kepala daerah lain. Terutama mengenai tata kelola pemerintahan.

Pada gilirannya dua sisi yang tampak. Di satu sisi, kepemimpinannya berkarakter merakyat. Sisi lainnya, menampilkan personifikasi birokrat yang properubahan dan bervisi ke depan. Lebih menarik lagi, keduanya mengalir begitu saja dalam setiap kebijakannya, yang senantiasa melibatkan jajaran penegak hukum dan tenaga ahli di luar pemerintahannya, sehingga terhindar dari hal-hal yang ndak diinginkan.

Ketiga, ndak kalah menarik, dimensi keagamaan turut mewarnai kepemimpinannya. Jika menilik seksama, Bu Risma sosok yang religius meski ndak terlalu menonjolkan simbol maupun atribut formal agama. Seringkali cukup dengan penampilan berbalut jilbab yang simpel kaprahnya dipakai kaum muslimah. Namun, keberagamaannya terejawantah secara esensial dalam praktik-praktik yang menyentuh relung kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Dalam hal ini, dirinya boleh dibilang Walikota sejuta umat.

Gebrakannya yang tegas menutup lokalisasi Dolly misalnya, bukan semata beralasan maksiat-syar'i. Tapi, hendaknya lebih dipahami sebagai ikhtiar menghentikan ketergantungan artifisial yang tanpa disadari, telah membuat kaum hawa pekerjanya terpuruk melulu dalam ketidakberdayaan selama ini. Langkahnya itu juga demi menyelamatkan generasi mendatang. Diharapkan, ketika ia terpilih kembali sebagai Walikota, akan menyosialisasikan program lanjutan terkait secara simultan dan permanen yang semakin mencerahkan nanti.

Cukup tiga hal tersebut yang bisa saya kemukakan, sejalan renungan pribadi atas kepemimpinannya, dan catatam setelah memahami lebih dekat Bu Risma dalam silaturrahim beberapa hari lalu. Selanjutnya monggo tambahkan sendiri berdasar pengalaman masing-masing. Lagi pula jika mengupas tuntas seluruhnya, nanti dianggap terlalu memujinya.

Jika dirasa tersisa pertanyaan, apakah Bu Risma ndak memiliki kekurangan? Tentu saja ia mempunyai kekurangan, sebagai manusia biasa dan pemimpin yang mengurus banyak bawahan dan seabrek persoalan. Kekurangannya bahkan dapat ndak terhitung lagi, di hadapan pihak-pihak yang mungkin dirugikan selama kepemimpinannya. Pada akhirnya ia pun memasrahkan segala kinerjanya berikut problematika dan tantangan yang dihadapi ke hadirat Gusti Tuhan sepenuhnya.

Keterangan Foto:

- Ilustrasi: Bu Risma bareng anak tunagrahita dalam acara pameran lukisan anak-anak bersangkutan (sumber: Junanto Herdiawan)
- Foto 2: Acara jumpa teman-teman Konek bersama Bu Risma (sumber: Facebook Konek)
- Foto 3: Bu Risma memeluk anak berkebutuhan khusus dalam sebuah acara (sumber: Tempo)
- Foto 4: Ngobrol santai Bu Risma dengan teman-teman Konek (sumber: Facebook Konek)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun