[caption caption="Sumber kombinasi dari http://forum.kompas.com dan http://nasional.kompas.com"][/caption]Cuaca benar-benar hot sampai acap bikin gerah di daerah rumah dan sekitarnya. Apalagi, pada siang hari. Saat masih pagi, kira-kira pukul 07.00-08.00 saja, bagai telah pukul 11.00-12.00 panasnya. Memang, sesekali awan hitam mulai tampak, bahkan sempat hujan sebatas mengusap tanah sejenak di tengah malam pekan lalu. Namun, justru udara terasa semakin mendidih sekarang.
Dalam suasana tersebut, berbagai hal bisa mengemuka. Sesuatu yang sebenarnya bisa dipahami akan mengesankan berbeda. Kadang pula menjadi heboh. Selain itu, orang-orang akan tergerak untuk menjaring hembusan angin. Terutama selama beraktivitas di luaran. Dan sekali berkesempatan mendapatkannya, lantas mata sliyer-sliyer alias terkantuk-kantuk, dengan kesadaran yang berkurang.
Omong-omong hawa sosial juga naik seiring Kapolri mengeluarkan Surat Edaran tentang Ujaran Kebencian baru-baru ini. Momennya ndak berselang lama dengan beredarnya dokumentasi foto Presiden Jokowi, sewaktu mengunjungi para sedulur suku Anak Dalam di Sarolangun, Jambi sebelumnya. Hasil jepretan kamera pada beberapa angle di sela-sela kunjungan itu, menuai tanggapan berupa foto meme berteks (Kompas) dan tudingan rekayasa atau setingan.
Saya ndak hendak ikut gupuh dalam kontroversi dua persoalan yang menghebohkan itu. Toh gambar meme, foto ”rekaan” atau apalah, masih bisa disikapi dengan mekanisme yang akan lebih mendewasakan sekalian pengguna media sosial. Lebih-lebih jika ternyata hanya fitnah, sejatinya ndak bakal mengempeskan kredibilitas Presiden Jokowi, tapi percayalah justru semakin menguatkan simpati rakyat kepadanya.
Begitu pula mengenai SE ”Hate Speech”, kiranya ndak otomatis memasung kemerdekaan (bukan sekadar kebebasan) menyampaikan aspirasi, maupun sikap kritis masyarakat yang dijamin konstitusi secara azaly. Terpenting parameter terapannya bukan penafsiran subjektif-individual berbalut emosi belaka di kemudian hari. Lagi pula surat edaran itu disebutkan ndak memiliki kekuatan hukum mengikat ke luar.
Yang terlewatkan, semilir kabar berhembus dari gedung DPR, di sela-sela kehebohan mengenai foto ”rekayasa” dan SE Kapolri tersebut. Dewan ndilalah menyorongkan permintaan tambahan anggaran sebesar Rp 740 milyar untuk pembangunan komplek parlemen yang sempat kontroversial dulu. Sepoi-sepoi imbuhan dana yang konon untuk pembikinan ”Alun-Alun Demokrasi”, bagian dari tujuh megaproyek renovasi gedung legislatif bernilai trilyunan itu pun, membikin sliyer-sliyer anggota DPR hingga masuk dalam ceklis RAPBN 2016 mendatang.
Anggota parlemen juga rencananya menggunakan UU cagar budaya dalam realisasinya. Bisa dibayangkan berapa anggaran ongkos perawatannya, andaikan benar-benar terwujud nanti. Ketika beberapa waktu lalu saya cangkrukan kopdar bareng teman-teman Konek (Kompasianer Nekad), menghadiri undangan mencicipi aneka menu kuliner sebuah cafe, yang menempati gedung Perpustakaan Bank Indonesia eks. Museum Mpu Tantular, pengelola sempat mengisahkan upaya dan bahan ekstra secara rutin dalam merawat bangunan yang terbilang cagar budaya tersebut.
Pada titik ini, benak ndak terbetik foto ”rekayasa” dan SE ”Hate Speech” hanyalah isu pengalihan. Jika berpikir demikian melulu, bakal membuat kewarasan selalu terjerat dalam benang mbulet entah di mana ujung-pangkalnya. Saya hanya bertanya-tanya sendiri ketika siaran televisi memberitakannya sesaat tempo hari. Meski kemudian berbagai media online juga mewartakannya, tapi gemanya terdengar lamat-lamat di ruang publik. Saya pun hanya bisa terpekur, jangan-jangan berbagai kalangan dan masyarakat telah kecolongan yo? Oalaaah...
Referensi bacaan:
Kompas: Megaproyek Komplek Parlemen | Tempo: Diam-Diam DPR Anggarkan Lagi RP 740 M
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H