Mohon tunggu...
Anshor Kombor
Anshor Kombor Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang terus belajar

Menulis menulis dan menulis hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fiksi Penggemar RTC] Cinta Sekonyongkoter Dul Gemeque dan Isabelle

10 September 2015   18:55 Diperbarui: 10 September 2015   20:12 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="sumber: http://genius.com"][/caption]

Nomor 88, D’n Ans Hoki

Riak-riak takdir memang ndak bisa dipastikan, apalagi pengujungnya nanti. Itu yang makin dirasakan Isabelle atas liku-liku kehidupannya. Ia ndak pernah membayangkan sebelumnya, deraan bosan yang berbaur dengan buncahan rasa ingin tahu yang ekstrim, rupanya turut membubuhkan liukan garis takdirnya di kemudian hari. Sejak ia mengeja sendiri arti cinta, dalam gelegak cinta satu malam bersama Felix, cowok kenalan asal Jerman di tempat liburan musim panas. Ketika umurnya baru menapak tujuh belas tahun. Usia peralihan yang begitu manis bagi umumnya gadis remaja, sering berbalut luapan euforia pubertas, hingga ndak jarang berbuntut penyesalan di planet ini.

Isabelle juga ndak pernah menyangka, roman picisan semalam itu, menjadi ambang dirinya terseret pusaran fantasi liar terlarang, kemudian terhempas ke pasir hisap prostitusi online. Baginya, semua itu serasa destinasi yang memacu adrenalin ndak terhingga. Meski ia sempat pacaran dengan Alex, cowok yang ingin menjalin hubungan serius, tapi kemudian dicampakkan begitu saja, layaknya kuntum bunga layu sebelum berkembang. Seperti ia mencampakkan Felix yang bahkan tanpa say goodbye, hanya melirik tanpa menoleh dari balik kaca mobil, saat berpapasan dalam perjalanan pulang dari akhir liburan dulu.

Andaikan peristiwa nahas di kamar hotel mewah hari itu ndak terjadi, babak lanjutannya bukan mustahil akan berbeda. Seorang pelanggan setianya, Om Georges, yang sudah tuwir mengalami serangan jantung mendadak, ketika sedang berasyik-masyuk dengannya. Padahal, dirinya sempat merasa nyaman, bukan soal aksi tabu yang jelas kalah dibandingkan cowok-cowok yang ditinggalkannya. Atau para pelanggannya yang masih muda lainnya. Melainkan, karena perhatian dan pengertian mendalam yang diterimanya, hingga serasa menemukan figur orangtua keinginannya. Walau ibu dan ayah tirinya ndak kurang-kurang mencurahkan perhatian kepadanya.

Kejadian itu lantas bukan hanya menguak topengnya sebagai gadis panggilan di hadapan banyak orang dan membuat ibunya shock berat, namun juga membawanya berurusan dengan aparat kepolisian dan psikolog. Belum lagi, rasa kehilangan yang menggurat hatinya. Bahkan, saat istri mendiang Om Georges menemuinya untuk sekadar ingin tahu, apa yang telah dilaluinya bersama suaminya, pada detik-detik menjemput ajal di kamar hotel itu. Lalu, perempuan renta itu diam-diam meninggalkan surat dana hibah dalam jumlah cukup menggiurkan ketika dirinya terlelap. Guratan duka terasa semakin dalam menyayat hatinya, kala terjaga keesokan harinya.

Sebenarnya, ada satu lagi pelanggannya yang nyaris bernasib serupa usai Om Georges tewas dalam pelukannya. Ketika dalam masa vakum sebagai gadis panggilan, lantaran pengawasan ibunya dan kecemasan yang lumayan menyiksa, Isabelle diam-diam iseng mengaktifkan kembali ponselnya. Ia hanya penasaran, masih adakah pelanggan yang menghubungi ponselnya? Ternyata cukup banyak pesan masuk dari para pelanggannya.

”Jadi, begini ceritanya, Ut. Beberapa bulan setelah petaka yang menimpaku saat tengah diboking Om Georges, lalu tiba-tiba ia meninggal itu, aku iseng menerima tawaran dari seorang Om Om gitu” tuturnya dengan logat yang kadang belepotan pada Utari, teman sekamar kontrakan dan satu kelas semester IV, Jurusan Sastra Indonesia, pada salah satu kampus beken di Surabaya.
Gimana gimana cerita, jeng?” balas Utari siap mendengarkan kisahnya, sambil tiduran di dekatnya.

”Tapi, Om itu jauh lebih muda dari mendiang Om George-lah. Nah, saat kami berada dalam kamar hotel, dia sudah tak sabar menunggu di tempat tidur. Sedangkan aku membersihkan tubuh di kamar mandi. Eh, ketika aku keluar dari kamar mandi, tiba-tiba Om itu sangat ketakukan melihatku” lanjutnya.
Wuaduh, kok bisa Is?” sela Utari makin penasaran, lalu duduk menatapnya.

”Ya, aku tidak tahu. Lalu, ia berteriak histeris menyebutku hantu, sambil lari terbirit-birit hanya dengan sehelai handuk meninggalkan kamar. Mungkin karena panik memencet-pencet tombol pintu lift yang tak kunjung terbuka, Om itu kemudian turun lewat tangga dan terpeleset sampai berguling-guling. Kepalanya membentur dinding di dua lantai bawah dan ia pingsan. Ia juga sempat koma saat dirawat di rumah sakit. Beruntung, akhirnya ia siuman dan menceritakan sebenarnya kepada polisi, bahwa aku samasekali tidak mencelakainya”.

”Huahahaha...” tawa Utari seketika meledak hingga tubuhnya berguncang di tempat tidur. Isabelle hanya melongo, bertanya-tanya sendiri.
”Ut, mengapa kau tertawa? Apa yang lucu?” selidiknya dengan menepuk lengan sahabat karibnya itu.

”Jadi ndak salah, kadang aku juga merasa tampangmu memang rada ada kuntilanaknya, Is?” ledek Utari kemudian terkekeh lagi.
”Dasaaar dodol kamu, Ut. Kejadian terakhir itu yang lantas membawaku tersesat di kota antah berantah ini, tinggal bersama keluarga Om Guteh dua bulan, lalu pindah dan mengontrak bareng orang edan seperti kamu, Ut” tukasnya dengan roman manyun. Utari jadi ngakak lagi.

Eh, by the way, masih adakah rahasia lain yang belum kau ceritakan padaku, Is?” tanya gadis berparas oriental mirip Kim Nana dalam sinema City Hunter, bermaksud menggodanya.
”Apa maksudmu?” balasnya sambil melotot.

”Ya, misalnya sudah berapa Om-Om yang kau kencani selama di Surabaya ini? Hayooo...” goda Utari sambil mengarahkan ujung jari telunjuk ke arahnya.
Koplak kamu, Ut. Jujur ya, kalau ajakan macam itu sih banyak sejak masuk kuliah di sini pertama kali. Cowok mana yang tahan dengan pesona Isabelle gitu loh, Ut?”.

”Terus...?” tanya Utari pasang mimik manyun.
”Namun, tak satupun godaan macam itu yang aku ladeni, Ut. Kamu percaya atau tidak, terserah. Aku masih ingat janjiku pada adikku, bahwa aku tidak akan melakukan hal yang justru semakin menjauhkanku dari kebahagiaan itu lagi. Aku sangat menyayangi adikku dan tidak akan mengkhianatinya. Lebih-lebih setelah aku bertemu dengan Dul Gemeque, lalu aku jatuh hati. Aku benar-benar cinta sekonyongkoter padanya, Ut”.
Cieee... Aku percaya padamu kok, Is. Kau telah berubah dan bukan Isabelle yang dulu lagi”.

Obrolan malam itu lumayan menghibur perasaan Isabelle yang memang sedang dilanda ”gegana” (gelisah, galau, merana). Hikayat cintanya pada Dul ndak semulus yang dibayangkannya. Kendati cowok beda fakultas itu juga amat mencintainya, bahkan mengamini ajakannya untuk menikah. Tapi, ibu Dul menentang hubungan mereka. Maklum, ayah Dul adalah tokoh yang disegani, walau keluarganya tinggal di pelosok terpencil. Ketulusan dan kesederhanaan Dul meski kadang naif, membuatnya serasa menemukan jalan pulang.

”Entah bagaimana ibunya bisa menerimaku ya, Ut. Selain ikatan darah dengan ibu dan adikku, aku rela melepaskan segalanya demi hidup bersama Dul nanti. Mungkin ini karma atas masa-masa bejatku terdahulu ya, Ut?” suaranya melirih.
Ssst... Jangan bicara begitu, sayang. Bukankah kamu pernah mengatakan bahkan merasakan sendiri, bahwa selalu akan ada kejutan di setiap kelokan takdir yang kelam sekalipun, sebagai bukti Tuhan sejatinya ndak pernah meninggalkan kita?” hibur Utari sambil memeluk sahabat yang sudah terasa saudara itu.

”Iya sih, tapi rasanya semua telah berakhir dan aku tidak akan bisa mendapatkan cinta Dul lagi, Ut”.
”Tenang dan kuatkan dirimu. Anggap saja ini kesempatanmu untuk membuktikan pada Tuhan, bahwa kau memang bukan Isabelle yang dulu, dan tidak akan balik ke masa lalu kelam itu lagi selangkah pun”.

Malam semakin beranjak larut. Daun-daun layu di halaman kontrakan mereka berguguran, dihembus angin kemarau yang sering mendedahkan dingin menusuk kulit.

* * * * *

”Dul, apa kau sudah gila? Bagaimana bisa kau serius akan menikahi Isabelle? Apa kau belum juga menyadari, anak kuliahan asal desamu yang tukang gosip itu, sudah tahu jatidiri Isabelle lalu menyebarkannya sampai keluargamu menanggung malu?” tanya Dayat dengan suara lantang di lapangan bola sore itu.
”Masa bodoh dengan semua itu. Aku telanjur amat mencintainya dan ndak bisa meninggalkannya. Bila ndak bertemu dengannya sehari saja, rasanya membuatku sekarat, Yat!” jawabnya ikut sedikit emosional.

”Dul, pikirkan sekali lagi. Apa sih alasanmu begitu kesemsem padanya? Jangan-jangan kau berlagak mencintainya hanya karena Isabelle orang bule?”.
”Yat, apa maksudmu? Seakan kau ndak mengenalku, setelah kita bersahabat lama. Kau tahu kan, aku bukan orang yang suka mencari-cari sensasi, apalagi hanya soal macam itu. Aku ndak tahu mengapa teramat mencintai dan akan menikahinya. Haruskah ada alasan untuk semua itu? Bukankah hubunganmu dengan Utari juga awalnya ndak direstui, bahkan oleh semua keluargamu, hanya gara-gara dia pernah dinodai bapak angkatnya, Yat?”.

”Ayolah Dul, jangan bicara konyol seperti itu? Kasusnya beda, hubunganku dengan Utari juga ndak serumit masalahmu”.
”Kau yang bersikap konyol, Yat. Sudahlah, aku ndak meminta bantuanmu, jadi kau juga ndak perlu membantuku. Please, cukup mengertilah keadaanku sekarang. Kau sendiri tahu, aku paling ndak bisa jika harus berhadapan dengan ibuku. Memikirkan hal itu saja sudah membuatku sedih, jangan kau tambah dengan sikapmu yang membuatku semakin pusing pala barbie”.

* * * * *

Udara pagi terasa amat sejuk. Butiran embun masih bergelayut manja di pucuk rerumputan. Enggan terpisah ketika matahari perlahan meninggi di ufuk timur. Murid-murid terlihat riang, bermain kejar-kejaran di antara tiang gede papan nama, bertuliskan ”Pondok Pesantren Raudhah Isabily Al-Mahbubiyah”, di depan gedung megah berlantai tiga, dengan halaman luas dan taman yang asri.

Isabella memerhatikan keriangan anak-anak yang masih polos itu dari balik jendela, lalu beralih menatap lekat-lekat plakat, tempat namanya tertulis dalam ejaan bahasa Arab di sana. Rambut keemasannya berderai dihembus angin yang seakan juga ingin mengajaknya bermain. Ia jadi teringat sepenggal puisi Dul bertahun-tahun silam yang isinya, ”Bagiku, kau dengan segala kelebihan dan kekuranganmu adalah taman aneka rupa bunga// bahkan dengan barisan duri yang melekat di antaranya// Percayalah, matahari pun ndak kuasa berpaling untuk ikut menghangatkan keindahanmu”.

Honey...” tiba-tiba suara lirih berikut sentuhan lembut di pundaknya membuyarkan lamunannya. Ketika ia menoleh, tampak senyum mantan kekasih, pujaan hati dan suaminya terkasih, Dul.

”Ada apa, sayangku, nafas hidupku? Aku mencarimu ke mana-mana, rupanya kau mematung di sini. Sylvie, bidadari kecil kita bangun, tampaknya ia sedang mencari ibunya. Bukankah kau juga punya jadwal mengajar bahasa Perancis di kelas XA pagi ini, honey” sapa lelaki yang telah membuatnya jatuh cinta, untuk kemudian menyerahkan hidupnya.

Lelaki itu pula yang semakin membikin dirinya klepek-klepek belakangan. Terlebih dengan menamai anak pertama yang dilahirkannya Sylvie, nama ibu tercintanya yang meninggal dunia saat kunjungan terakhir ke Perancis, sehari usai acara tingkeban beberapa bulan kemarin. Hari-harinya pun selalu hangat, sehangat matahari pagi, dengan senyum ibu mertuanya. Nenek yang begitu menyayangi cucunya sepenuh kasih. Buah hati Isabelle dan Dul.

Inspirasi kisah Jeune & Jolie (Young and Beautiful)
* karya ini orisinil dan belum pernah dipublikasikan

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun