[caption id="attachment_385927" align="aligncenter" width="425" caption="ILUSTRASI: Mengerjakan skripsi dengan senang hati (http://mojok.co)"][/caption]
Hingga detik ini, saya pribadi berharap ketika pemerintahan Jokowi berkuasa, tidak menelurkan kebijakan tambal-sulam khususnya dalam bidang pendidikan. Sebab, dukungan rakyat yang begitu mengharu-biru, seharusnya menjadikan dirinya pemegang tampuk penyelenggaraan negara yang berbeda daripada sebelumnya. Bukan sebatas pokoke beda.
Mengapa pendidikan? Bidang ini sangat penting, terutama sebagai bekal para generasi penerus di masa depan. Kebermaknaannya menjadi fundamen tegaknya entitas bangsa dan negara. Di sisi lain, tradisi kurang menggembirakan selalu berlangsung, setiap pergantian kepemimpinan nasional ditandai gonta-ganti kebijakan edukatif selama ini. Di antaranya poliecy soal kurikulum dan ujian nasional.
Saya pun masih berharap, jajaran pemerintah beserta Kementerian bersangkutan, lebih concern merumuskan standar pendidikan nasional yang paten, serta tidak bisa sembarangan diubah-ubah apalagi hanya demi pragmatisme orientasi politik lima tahunan. Dalam konteks itu, masalah skripsi yang ramai diperbincangkan sekarang, juga hendaknya didasari kajian yang komprehensif dan holistik, serta dipahami oleh publik.
Wacana seputar dunia pendidikan (tinggi), sebagaimana kita ketahui, berhembus dan seketika memicu pro-kontra dalam beberapa hari terakhir. Yakni, berkenaan dengan rencana kebijakan Menristekdikti, Om Muhammad Nasir, tentang skripsi bagi para mahasiswa yang akan lulus S1 di perguruan tinggi. Saya coba merunut pemberitaannya dan tak merasa kaget saat baru mengetahuinya. Kala menelusurinya, tak semua media yang memberitakannnya. Rasanya situs resmi Kompas pun tidak merilisnya.
Entah bagaimana ceritanya, berita itu lantas menggelinding jadi kontroversi penghapusan skripsi dengan berbagai asumsi begitu rupa yo? Bahkan, disebutkan salah satu alasan yang mendasari niatan penghapusannya oleh Menristekdikti, dikait-kaitkan fenomena ijazah palsu yang merebak kembali belakangan ini. Logika yang tidak hanya terlalu dipaksakan nyambung, tapi juga aneh dan membikin dahi mengernyit, ketika skripsi yang hendak dihapus gara-gara adanya temuan ijazah abal-abal.
Usai mencari-cari informasinya, saya menemukan satu beritanya dilansir situs Jawa Pos National Network (JPNN) beberapa hari kemarin. Sekali pun media lainnya mungkin juga memuat berita serupa dari narasumber yang sama yaitu Menristekdikti, tentu deskripsi kontennya tidak jauh berbeda. Nah, jika menelaahnya lebih seksama, bisa dipastikan telah terjadi bias wacana. Dalam hal ini, pernyataan Menristekdikti hanya disinyalir akan tidak mewajibkan penulisan karya tulis ilmiah tersebut, sebagai persyaratan kelulusan program sarjana (S1). Motivasinya untuk mengeliminasi potensi kecurangan selama penyusunannya.
Lalu, dinyatakan penulisan skripsi tengah dikaji menjadi syarat opsional guna menyandang predikat sarjana. Jika begitu, hendaknya berlandaskan kajian yang komprehensif dan holistik, serta tunggu saja apa hasilnya nanti. Sebagai gantinya mahasiswa akan disediakan pilihan-pilihan. Opsi selain membikin skripsi adalah, mengerjakan pengabdian ke masyarakat atau laporan penelitian di laboratorium. Dengan frase yang saya ketik tebal itu, skripsi tidak bakal ditiadakan, bukan? Jangan-jangan beberapa alternatif yang dikatakan tersebut atau disediakan nanti, justru untuk menambahkannya.
Andai bukan demikian maksudnya, opsi mengerjakan pengabdian kepada masyarakat pun menyisakan pertanyaan. Bukankah perkuliahan (reguler) sudah mentradisikan program semacam Praktek Kerja Lapangan (PKL) atau Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang biasanya menerjunkan para mahasiswa ke tengah masyarakat daerah sebagai realisasi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi? Begitu pula dengan pilihan membuat laporan penelitian di laboratorium, bagaimana wujudnya, ketika skripsi pada dasarnya juga sebentuk laporan penelitian? Jika tanpa penjelasan yang rinci, hanya akan bersifat mengutak-atik istilah belaka, tanpa perbedaan mendasar berikut manfaat yang signifikan.
Penghapusan skripsi sejatinya isu lawas yang sempat menjadi perbincangan sekitar tahun 1997 silam. Wacananya lantas juga sesekali timbul-tenggelam pada beberapa tahun berikutnya. Sementara, kebijakan opsional yang dicanangkan Menristekdikti itu, telah dilaksanakan sejumlah kampus berpijak Permen tahun 2000 lalu. Kalau tidak keliru antara lain, UGM dan UI yang sudah tidak mewajibkan pembuatan skripsi, sejalan dengan spirit otonomi perguruan tinggi. Semasa pemerintahan SBY, Mendikbud Muhammad Nuh justru menetapkan kebijakan syarat kelulusan mahasiswa S1, S2 dan S3 berupa pembuatan karya tulis yang lantas diterbitkan pada jurnal ilmiah. Dan nasibnya sama, menuai kontroversi.
Dari sini, pemahaman bahwa skripsi merupakan syarat kelulusan utamanya bagi para mahasiswa yang menempuh program S1, terlebih kemudian disamakan UN segala, kiranya kurang tepat. Wajar bila umumnya kampus mengharuskan pembuatan skripsi, ketika menjadi item mata kuliah yang harus dituntaskan oleh para mahasiswanya. Bagaimana mahasiswa bisa dinyatakan lulus, jika ia belum menuntaskan keseluruhan mata kuliah yang diambilnya?
Kendati tak dipungkiri anggapan skripsi adalah momok yang menakutkan oleh kebanyakan mahasiswa, utamanya pada semester-semester akhir. Hal itu sebenarnya bukan karena skripsinya, tapi kebiasaan-kebiasaan yang dibangun, sengaja atau tidak, berawal dari paradigma maupun sikap mahasiswa dan tak jarang pula dosen sendiri. Lantas, terpelihara sebagai budaya yang buram. Kadang dosen (pembimbing) terkesan sengaja memersulit proses penulisan skripsi mahasiswanya, semisal terlalu memersoalkan hal-hal teknis bukan substansi kajiannya. Tak sedikit dosen yang berlagak sibuk tingkat Presiden, hingga susah ditemui oleh mahasiswa yang ndilalah telah membikin janji pertemuan untu membahas skripsinya.
Fakta tersebut kemudian bertaut pula dengan sikap mahasiswa yang cenderung takut dan pasrah ketika bahan skripsinya dipersoalkan oleh dosen pembimbingnya. Ironis memang ketika skripsi menjadi bagian peneguhan sikap kritis mahasiswa, tapi justru menumpulkannya. Seringkali mahasiswa seakan tak berani untuk sekadar memertanyakan pemikiran dan kehendak dosen pembimbing tentang skripsinya. Pertanyaan yang lantas muncul, skripsi itu tugas atau kepunyaan mahasiswa atau dosen sebenarnya? Sementara, tak sedikit dosen yang alergi terhadap kekritisan mahasiswa yang dibimbingnya. Kebiasaan-kebiasaan yang membudaya macam itu yang mestinya diberangus, jika benar-benar ingin merealisasikan revolusi mental.
Begitu pun alasan Menristekdikti yang berencana tidak mewajibkan pembuatan skripsi berdalih (dugaan) kecurangan dalam penyusunannya hingga jual beli skripsi, kiranya rada janggal. Soal jual beli skripsi misalnya, kalau memang hendak bersikap tegas, bisa dengan mengusut penyedia jasa pembikinan skripsi lalu menutupnya. Lantas, dalih untuk memberantas plagiasi, tak ubahnya dosen yang sejatinya malas, tapi kemudian menutupi kemalasannya dengan berapriori kepada mahasiswa. Dikarenakan, tulisan skripsi mahasiswa yang berupa print out lebih sulit terendus apakah plagiat atau bukan, oleh dosen terutama yang malas membaca beragam referensi.
Yang perlu dipahami, skripsi bukan semata beban atau bahkan ujian berat mahasiswa, tapi sesungguhnya tanpa disadari sekaligus menguji peningkatan kualitas dosen. Setidaknya dengan skripsi bisa ditakar seberapa rajin dosen menikmati aneka bacaan, seiring ilmu dan pengetahuan yang berkembang dari waktu ke waktu. Hanya para dosen yang intens membaca selaras perkembangan science, lebih-lebih jago atau sekurangnya terbiasa menulis, yang mampu menemani para mahasiswa dalam rangka meningkatkan potensi (keilmiahan) diri mereka di antaranya lewat skripsi. Jadi, bila skripsi benar-benar dihapus, justru akan membuat dosen semakin malas.
Referensi bacaan:
JPNN Wacana Kebijakan Menristekdikti tentang Skripsi 1 | JPNN Wacana Kebijakan Menristekdikti tentang Skripsi 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H