Berita tentang penangkapan dan penahanan terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, pada Jumat dini hari lalu (1/5), menjadi perhatian masyarakat luas kini. Bahkan, stasiun televisi Metro TV yang biasanya rajin dan terdepan menyajikan kabar hot macam itu sejalan karakteristik umum media, entah mengapa sempat membisu dan akhirnya mulai bergeliat memberitakannya sekarang. Kalau televisi sebelah lagi mah apa itu. Yang patut mendapat apresiasi rasanya Kompas dengan sajiannya runtut dari awal kejadian.
Pemberitaannya juga sempat begitu menegangkan hari itu. Lebih-lebih ketika instruksi Presiden Jokowi, bersusulan dengan tanggapan Kabareskrim yang boleh dibilang sedikit lepas, hingga menggunakan istilah ”lebay” yang seharusnya tidak perlu terlontar. Sama halnya salah seorang anggota Kompolnas yang ikut ber-lebay ria. Jangan heran, bila kemudian berkembang asumsi sikap kepolisian tak mengindahkan arahan dari Presiden, bila tidak boleh menyebutnya pembangkangan. Disesalkan pula, entah karena panik seiring gelombang protes keras publik atau sebab lainnya, Kabareskrim juga melontarkan pernyataan soal kepemilikan empat rumah Novel yang amat bias.
Hal demikian justru semakin menambah serentengan pertanyaan baru yang kian menyesaki benak masyarakat terhadap kepolisian sendiri. Ujung-ujungnya juga akan terus mengayunkan bandul kepercayaan publik ke titik nadir, kala pertanyaan-pertanyaan terdahulu belum kunjung terjawab memuaskan. Bisa jadi itu hanya bagian cara Kabareskrim, untuk menguak informasi yang dibutuhkan tanpa sepengetahuan khalayak, namun tetap kurang patut dilontarkan. Apalagi, jika memang ternyata berkenaan dengan materi pokok sangkaan terhadap subjek yang diperkarakan.
Nah, tercatat beberapa hal menarik untuk dicermati khususnya dari sisi pemberitaan selama penangkapan Novel hingga sekarang. Dalam liputan terdapat kelaziman yang senantiasa terpelihara di lingkungan media. Yakni, keharusan melakukan konfirmasi terhadap pihak-pihak yang berkaitan. Karena biasanya publik mendapatkan informasi dari media, sebenarnya bisa mencerna dari rangkaian peristiwa yang diberitakan yang telah terkonfirmasi, untuk menyelami persoalan Novel ini.
Jika merunut rilis media yang mengemuka tentang penangkapan Novel, bagian-bagian yang sudah terkonfirmasi antara lain, mengenai alasan penangkapan terhadap pegawai KPK itu. Semula kepolisian beralasan karena pihak yang bersangkutan dua kali mangkir dalam panggilan untuk keperluan pemeriksaan sebelumnya. Bagian ini terkonfirmasi dengan penjelasan pimpinan KPK dalam konferensi pers, bahwa mantan Kasatreskrim Polres Bengkulu itu sedang menjalankan tugas luar kota (Kompas dan Antara New).
Usai ditangkap tengah malam di rumahnya, Novel dibawa ke Mabes Polri untuk menjalani pemeriksaan lanjutan, sesuai isi surat penangkapannya. Namun, dalam rentang waktu cukup singkat, lalu beredar informasi bahwa dirinya telah ditahan, bahkan dibawa ke Mako Brimob selanjutnya. Dalih kepolisian sebab ia tidak kooperatif selama dimintai keterangan. Bagian ini juga terkonfirmasi, dari penjelasan Kabareskrim berikut kuasa hukum Novel, bahwa hal itu dikarenakan bertentangan dengan surat kepolisian yang menerangkan pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri bukan di Mako Brimob (Kompas). Dalam hal ini, maksud dari penangkapan atas pegawai KPK itu telah berubah-ubah.
Iktikad kepolisian lantas berubah lagi dan akhirnya terkonfirmasi, penangkapan Novel sebenarnya untuk kepentingan rekonstruksi. Dikarenakan, sepupu Menteri Anies Baswedan itu lalu diam-diam diterbangkan ke Bengkulu pada hari itu juga. Ia menolak untuk melakukannya, karena masih tanpa didampingi kuasa hukumnya. Tim pembelanya yang tiba di Bengkulu selang beberapa waktu kemudian pun sepakat tidak bersedia mengikuti rekonstruksi (Kompas).
Penolakan terhadap rekonstruksi itu juga terkonfirmasi dengan Pasal 66 KUHAP bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. M Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan menyatakan bahwa, penuntut umumlah yang dibebani kewajiban membuktikan kesalahan terdakwa; atau penyidiklah yang berkewajiban bertugas mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan membuktikan kesalahan tersangka. Ketika seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka menolak rekonstruksi (Hukum Online).
Siapa yang memerintahkan rekonstruksi dan pelapor kasus lawas ini sebenarnya?
Tiba bagian serunya, lalu apa dasar pelaksanaan rekonstruksi hingga Novel perlu dibawa ke Bengkulu diam-diam? Mulanya dari informasi yang berkembang, disebutkan bahwa kasus Novel telah dilimpahkan ke Kejaksaan, tapi dinyatakan belum lengkap alias P19 sebelumnya. Lalu, muncul pertanyaan yang belum terkonfirmasi secara terang benderang, tentang siapa yang memerintahkan rekonstruksi yang dimulai penangkapan terhadap penyidik KPK itu sebenarnya hingga kini?
Kapolri sempat menyebutkan bahwa Kejati Bengkulu memberikan dua petunjuk yang harus dilengkapi (Kompas). Apa itu berarti berkas kasus Novel sudah dilimpahkan ke Kejati Bengkulu dan P19? Bukan seharusnya pelimpahannya ke Kejagung? Sementara, pihak Kejagung mengonfirmasi samasekali belum menerima berkasnya, sekaligus membantah tidak ada instruksi dari lembaganya untuk percepatan penyelesaiannya (Tempo). Karena itu, bagian ini perlu digali lebih dalam lagi sehingga terkonfirmasi seutuhnya.
Lebih seru lagi, mengenai dasar hukum kejadian lawas ini dikasuskan lagi. Dari pemberitaan berbagai media yang tentu sudah kita ketahui, beberapa kali pula mencuat dalam warta televisi, awalnya kepolisian beralasan atas desakan keluarga korban. Bagian ini terbantahkan berulangkali dari pengakuan keluarga korban, bahwa pihak mereka tidak pernah melaporkan kasus ini, bahkan justru telah mengikhlaskannya.
Keterangan terakhir dalam berita Kompas TV melalui sambungan telepon dengan salah satu keluarga korban petang kemarin (4/5). Hanya, sempat mengemuka bahwa pelapornya atas nama Yogi Hariyanto (Kompas). Siapa dia sebenarnya? Alasan kepolisian berubah lagi dalam perkembangannya, berdalih lantaran kasus ini akan kadaluwarsa tahun depan.
Walhasil, adakah sisi yang patut dijadikan pembelajaran dari kehebohan penangkapan terhadap Novel Baswedan awal Mei kemarin? Apa saja pelajaran itu? Selain tentunya harapan tidak akan berulang lagi kisruh yang melibatkan jajaran KPK-Polri dalam konteks apapun di kemudian hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H