Mohon tunggu...
Husni Anwar
Husni Anwar Mohon Tunggu... Guru - Guru matematika di SMKN 1 Sungai Rumbai Kabupaten Dharmasraya

Penulis adalah seorang guru matematika, Istri dari seorang Pendamping Desa di daerah perbatasan, Ia juga seorang ibu dari 3 orang anak. Penulis berdomisili di kecamatan Sungai Rumbai, perbatasan Propinsi Sumatera Barat dan Propinsi Jambi. Dengan segala problematikanya, penulis berharap mampu berkontribusi dalam dunia pendidikan, dalam rangka menambah kebermanfaatan dirinya di dunia pendidikan. Semoga menjadi amal jariyah, penyelamat di alam kekekalan. Aamiin Ya Rabbana.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jangan Minta Gajah Terbang

13 September 2022   01:34 Diperbarui: 4 November 2022   18:20 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu Ketika, penduduk hutan di kumpulkan oleh penguasanya, Singa si Raja Hutan. Mereka diminta untuk menyediakan waktu, fikiran dan tenaga mereka untuk belajar kemampuan yang dimiliki oleh Elang. Semua penduduk hutan akan diajari untuk terbang. Semua bergembira dan bersemangat, mereka akan bisa terbang. 

Mereka akan dapat melihat dan menikmati semua keindahan alam dengan terbang mengitari hutan seperti sang elang. Maka dimulailah proses belajar tersebut. Di awali oleh binatang yang badannya paling besar, yaitu gajah. Diajarilah gajah untuk terbang dengan bersayap pada telinganya.

Maka dikepak-kepakkanlah telinga gajah untuk bersegera mengangkasa. Apa yang terjadi, sang gajah tak mampu mengangkat badannya dengan kepakan telinga yang dia lakukan. Sekali di coba, gagal. Kedua kalinya gagal lagi, ketiga, keempat, kelima dan seterusnya tetap masih gagal. 

Gajah tak mampu melayangkan badannya di udara. Lelah, sedih dan tak habis fikir. Itulah yang dirasakan gajah. Hari-hari berikutnya di coba lagi oleh gajah belajar terbang. Namun apa daya, tetap saja gajah tak mampu. Sampailah gajah pada kata menyerah. 

"Wahai raja hutan, aku tak mampu lagi mencoba untuk terbang, sepertinya, aku memang ditakdirkan tidak bisa untuk terbang, biarlah elang saja yang melayang-layang di udara".

"Seandainya terjadi bencana kebakaran di hutan kita ini, engkau mintalah aku untuk menyedot sebanyak-banyaknya air dari sumber air yang ada, maka perintahmu akan aku laksanakan dengan sebaik-baiknya. Karena aku memiliki belalai yang panjang untuk menghisap dan menyemburkan kembali air ke sumber api yang membakar hutan kita ini. Itulah yang aku bisa". 

"Aku tak punya sayap seperti elang yang akan digunakannya meliuk-liuk di angkasa." Begitulah gajah meyakinkan si singa raja hutan.

Cerita di atas, sangat tepat jika dianalogikan pada murid-murid kita di dalam kelas. Mereka yang terdiri dari berbagai macam potensi bawaan. Kodrat alam yang mereka punya masing-masingnya berbeda-beda. 

Inilah yang selama ini tidak kita (baca guru) sadari dan fahami. Bahwa murid yang kita hadapi adalah bibit-bibit yang memiliki kemampuan yang berbeda. 

Kita sebagai guru selama ini memperlakukan semua murid sama. Semua murid diwajibkan untuk menguasai kompetensi yang sama. Harus dan tidak boleh tidak. Di samping tuntutan kurikulum, juga disertai dengan alfanya kita akan hal ini.

Kita terkesan melakukan balas dendam kepada murid. Betapa tidak, kita menyuguhi murid-murid kita dengan pola pembelajaran sebagai mana kita diajarkan dulu oleh guru-guru kita, belasan tahun silam. 

Padahal zaman dan waktunya sudah berbeda. Kodrat zamannya sudah lain. Hal inilah mungkin yang menjadikan pembelajaran kita tidak dirindui oleh murid-murid.

Tepatlah kita sebagai guru kembali belajar. Untuk memberikan pendidikan terbaik bagi murid-murid kita yang disesuaikan dengan kodrat alam dan kodrat zaman.

Sesuai dengan dasar Pendidikan yang disampaikan Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan menuntun semua kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang tertinggi sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat. 

Guru hanyalah sebagai penuntun bukan penuntut murid-murid dengan segudang kompetensi yang harus dimilikinya. Tuntun saja mereka, karena mereka sudah memiliki kemampuan dasar yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta.

Ki Hajar Dewantara membahasakan ini dengan murid dilahirkan bukan seperti kertas kosong, anak dilahirkan dengan kekuatan kodrat yang masih samar-samar. 

Tugas kitalah sebagai guru untuk menebalkan garis samar-samar tersebut dengan kekuatan konteks diri anak dan sosial budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Seorang anak (murid), memiliki kodrat bawaan suka bermain, bebas, merdeka. Dari sinilah hendaknya seorang guru mampu mengambil kesempatan untuk memberikan pendidikan yang bermakna bagi murid. Mendidik mereka sambil bermain atau mendidik melalui permainan. 

Di samping kodrat bawaan murid tersalurkan, mereka juga mendapatkan ilmu untuk bekal kehidupannya. Dengan ini mereka akan tertarik untuk belajar. Kejenuhan akan menjauhi mereka. Yang tersisa hanyalah rasa cinta dan rindu murid terhadap pelajaran yang diberikan.

Dasar Pendidikan Ki hajar Dewantara yang tidak kalah penting adalah bahwa pendidikan menentukan budi pekerti anak. Budi pekerti, watak, karakter adalah bersatunya (perpaduan harmonis) antara gerak fikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga atau semangat. 

Setiap manusia dibekali oleh Sang Pencipta (dalam perspektif Islam) dua sifat dasar yaitu sifat taqwa dan sifat fujur. Jika disebutkan dalam bahasa umumnya yaitu sifat positif dan sifat negatif. Dua sifat ini berjalan beriringan. 

Pendidikanlah yang menjadikan sifat positif berkembang dengan baik. Pendidikan akan menjaga budi pekerti murid tetap baik, meskipun potensi tidak baik tetap ada dalam diri mereka. 

Sebaliknya, jika seseorang tidak tersentuh oleh Pendidikan, maka sifat negative akan berpotensi untuk berkembang dengan pesat. Karena tidak ada nilai-nilai baik yang akan menghalanginya untuk berbuat buruk. Seyogianya, Pendidikan akan memperjelas atau menebalkan laku baik atau sifat-sifat positif yang ada pada anak.

Dari analogi binatang hutan di atas dan dasar-dasar pendidikan Ki Hajar Dewantara, layaklah kita sebagai guru merobah apa yang ada dalam fikiran kita.

Merobah cara-cara dan pendekatan kita kepada murid selama ini. Bahwa murid harus mampu menguasai apa yang kita ajarkan. Murid harus mengerjakan segala sesuatunya sesuai dengan aturan dan ketentuan yang kita inginkan. 

Semua yang tertuang dalam kurikulum harus diajarkan, meskipun siswa tidak faham dan sangat sulit untuk menguasainya. Jika hal ini kita teruskan maka akan sama dengan kita meminta gajah untuk terbang. 

Secara tidak langsung kita sebagai guru akan mematikan karakter mereka secara perlahan. Padahal secara hakikatnya pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Perlakukan mereka sesuai dengan kodrat yang mereka punya.

Apa yang harus kita lakukan? Perlakukan mereka sesuai kodratnya. Tuntun mereka sebagaimana dengan garis-garis kodrat yang mereka bawa dari lahir. Dengan kata lain, bimbing mereka sesuai dengan potensi yang ada pada mereka, tuntun mereka berdasarkan passion yang  mereka miliki. 

Sehingga mereka akan mampu berkembang secara paripurna dan tercapailah tujuan Pendidikan yang diinginkan yaitu keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya sebagai manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun