"Udah jangan dipikirin, mikir positif aja"
"Nikmatin aja, paksain bahagia nanti pasti kebawa seneng, jangan negatif mulu"
"Masih banyak kali yang lebih parah dari masalahmu"
"Senyumin aja semua rasa sakitmu"
"Tetep positif think aja, semua pasti ada hikmahnya kok"
"Udah lupain aja, bawa happy ae, nanti juga selesai bro!"
Sebagian dari kita pasti pernah mendengar ucapan itu atau bahkan kita sendiri yang melontarkan kalimat-kalimat  yang serupa kepada teman kita.Â
Padahal kalimat diatas dan yang serupa bisa jadi merupakan Toxic Positivity.
Apa sih toxic positivity itu?
Toxic positivity yaitu berupa memaksakan diri untuk tetap positif dan bahagia ketika berada pada kondisi dan situasi apapun, kemudian mengesampingkan dan mengabaikan segala emosi yang sedang dirasakan.
Lalu, mengapa hal itu bisa dikatakan sebagai toxic?
Karena keyakinan pada berpikir positif hingga mengabaikan dan melawan emosi yang sedang dirasakan akan menjadi masalah dikemudian hari. Tidak hanya itu, hal tersebut tentu berbahaya, lantaran emosi yang terpendam karena dilawan bisa jadi keluar sewaktu-waktu dengan berbagai cara yang tidak menutup kemungkinan akan memperburuk keadaan.
Toxic positivity ini adalah bentuk toxic yang mungkin pernah kita lakukan  dan ketika kita melakukan itu, kita tidak tahu bahwa telah melakukan hal yang toxic. Hal ini karena banyak orang yang belum memiliki pemahaman yang cukup mengenai apa itu toxic positivity. Banyak yang beranggapan bahwa dengan berpikir positif akan melegakan dan menyelesaikan permasalahan.
Padahal kenyataannya jika kita diminta dan terus memaksa untuk berpikir positif akan mengabaikan elemen penting dalam kehidupan manusia, yaitu suffering atau penderitaan yang merupakan bagian besar dalam hidup. Jika kita tidak menerima segala emosi kita dan memilih untuk memaksakan diri berpikir positif akan terjadi penekanan pada emosi yang sedang kita rasakan sendiri.
Dalam artikel "The Problem With Positive Thinking" yang ditulis oleh Gabriele Oettingen, sosok Profesor Psikologi di Universitas New York pada tahun 2014 menerangkan bahwa positive thinking justru kerap menghambat kita. Positive Thinking "membohongi" pikiran kita, adanya pemikiran ini membuat kita beranggapan seolah-olah kita sudah mencapai tujuan kita dan menggapai yang kita inginkan, sehingga melemahkan kesanggupan dan keuletan kita dalam berusaha mencapainya. Akan tetapi, meminta seseorang untuk hanya berpikir realistis juga bukan  berarti memberikan hasil yang baik.
Banyak para ahli yang mengkritik adanya keyakinan terhadap positive thinking ini. Oleh sebab itu, beberapa pakar melakukan eksperimen untuk mengatasi agar kita tidak hanya memaksakan untuk berpikir positif ketika sedang merasakan sebuah emosi
Mental Contrasting
Eksperimen ini dilakukan oleh Gabriele Oettingen. Ia melakukan beberapa penelitian dan menunjukkan, orang-orang yang menerapkan positive thinking dalam mencapai keinginan dan tujuannya justru sering kali  memperoleh hasil  yang tidak lebih baik daripada mereka yang tidak menerapkan positive thinking.Â
Gabriele kemudian mengusungkan suatu pendekatan campuran atau eksperimen antara positive thinking (membayangkan apapun yang diharapkan sudah berhasil dicapai) dengan dibersamai memikirkan hambatan-hambatan atau rintangan yang akan terjadi dan ditemui dalam perjuangan mewujudkan apapun yang diinginkan. Eksperimen ini dinamakan "mental contrasting".Â
Hasil dari eksperimen "mental contrasting" ini menuai pencapaian yang lebih baik dibandingkan dengan orang-orang yang hanya mebayangkan hal-hal positif saja atau hanya membayangkan hal-hal negatif saja.
Tragic Optimism
Alternatif ini dicetuskan oleh seorang psikolog Austria pada tahun 1985 dan mendefinisikan bahwa "Kemampuan untuk mempertahankan harapan dan menemukan makna dalam hidup, terlepas dari rasa sakit, kehilangan, dan penderitaan yang tak terhindarkan"
Sebagai manusia, ada kalanya yang terjadi dalam kehidupan tidak sejalan dan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Misalnya selama pandemi Covid-19 ini, kita kerap kali mengetahui banyak sekali kabar duka. Tidak hanya itu, semua rencanamu nyaris terhambat dan tidak terlaksana karena pandemi ini. Merasa kesepian, stres, dan lelah karena kondisi yang tidak normal. Intinya kita sedang berada pada kondisi yang buruk dan tidak sedang baik-baik saja.
Hal itu sungguh tidak apa-apa, berusahalah tetap menerima dan memproses setiap emosi, kemudian dari kondisi yang kita alami ini kita dapat memanfaatkan waktu dirumah saja dengan keluarga, atau belajar lebih banyak skill yang kelak akan menunjang karir. Hal itu akan jauh lebih baik dibandingkan menghindari hal-hal buruk yang terjadi.
Defensive Pessimism atau Pesimisme Defensif
Konsep ini diteliti oleh Julie Norem, Profesor Psikologi dari Wellesley College. Ia mengungkapkan mengenai mengapa beberapa orang justru memberikan respon lebih baik terhasap peristiwa negatif. Penelitiannya menunjukkan bahwa dengan memikirkan segala sesuatu yang bisa jadi berjalan tidak sesuai rencana akan mengurangi kekhawatiran kita dan sering kali sanggup untuk mengantisipasi hambatan dan rintangan tersebut.
Jika kita terus memaksa untuk berpikir positif juga akan menimbulkan kerugian. Berikut kerugian dari memaksakan berpikir positif yang dikutip dari artikel "Toxic Positivity : Don't Always Look On The Bright Side" (2019) Â dan "The Tyranny of Positive Thinking Can Threaten Your Health and Happiness" (2016)
Perasaan dan emosi yang sebenarnya merupakan informasi penting bagi diri kita.
Ketika kita memaksakan diri untuk terus berpikir positif, diwaktu yang bersamaan kita telah menolak perasaan sedih atau marah. Hal ini mengakibatkan kita kehilangan informasi yang bisa membantu menanggapi situasi dengan tepat. Contohnya, perasaan marah, informasi bahwa kita harus bisa lebih sabar dan dapat mengontrol diri
Terlalu memaksa berpikir positif akan mengahalangi untuk bersikap terbuka dalam menceritakan perasaan.
Tidak sedikit orang ketika dalam keadaan terpuruk, sedih, atau down, mereka akan beranggapan bahwa mereka baik-baik saja tidak ada masalah, padahal mereka sangat membutuhkan bantuan, walaupun hanya sekadar bercerita melegakan pikiran kepada orang terdekat.
Jadi, yang perlu kita garis bawahi adalah menerima perasaan dan emosi apapun yang sedang menerpa diri kita masing-masing sehingga kita dapat mengetahui bagaimana sebenarnya kondisi yang sedang kita alami. Meminta bantuan walaupun hanya sekedar ingin untuk didengarkan orang terdekat bukanlah pilihan yang salah untuk memperbaiki keadaan agar kita tidak terperangkap dalam Toxic Positivity.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H