Mohon tunggu...
Husnaini Novitasari
Husnaini Novitasari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa

Maju kedepan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konflik Agama dalam Kehidupan Sosial Masyarakat

19 Juni 2019   15:13 Diperbarui: 28 Juni 2021   08:16 14700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan sosial di lingkungan masyarakat akan terus terjadi demi keberlangsungan hidup manusia itu sendiri. Akan ada banyak keuntungan yang dapat diraih dalam berinteraksi atau komunikasi terhadap sesama makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial akan bergantung dengan orang lain dan tidak dapat hidup sendiri. Interaksi merupakan hubungan timbal balik antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau bahkan kelompok dengan kelompok. 

Kerja sama yang saling menguntungkan adalah tujuan dari setiap orang dalam membangun relasi. Tetapi dalam lika-liku kehidupan pasti akan timbul yang namanya sebuah masalah. Tergantung bagaimana sikap manusia dapat menyelesaikan masalah yang menghadang, bila dapat diselesaikan dengan baik maka masalah itupun akan dianggap selesai. Sebaliknya, jika tidak dapat diselesaikan maka akan terjadi konflik yang berkepanjangan dan sulit untuk diselesaikan. Konflik biasanya terjadi karena individu atau kelompok memiliki tujuan berbeda dengan pihak lain. Inilah sisi negatif atau resiko yang dapat ditimbulkan dari sebuah interaksi sosial masyarakat.

Konflik merupakan masalah yang cukup kompleks saat ini, terutama di Indonesia. Dikarenakan keberagaman suku, ras, dan agama yang ada. Perbedaan karakter dan kepentingan setiap kelompok yang tidak dapat berjalan beriringan satu sama lain menjadi salah satu faktor munculnya konflik. Walaupun konflik sering muncul, dimata dunia warga negara Indonesia tetap dapat berjalan beriringan atau damai dan demokratis. 

Baca juga: Literasi Media dalam Mengatasi Konflik Agama di Indonesia

Hal ini karenanya adanya sikap toleransi dan norma-norma yang berlaku di masyarakat sejak zaman nenek moyang. Isu SARA merupakan hal yang biasa terjadi di Indonesia. Agama sendiri juga sebagai salah satu norma yang berjalan di masyarakat. Di Indonesia setidaknya ada 5 agama yang dianut masyarakat, yaitu islam, keristen, katolik, budha, hindu, danh kong hu chu. Dalam pembahasan kali ini akan dibahas lebih lanjut tentang konflik agama yang terjadi di masyarakat.

Ralf Dahrendrof  salah seorang tokoh yang berpengaruh dalam teori konflik, pemikirannya mulai dan sangat dipengaruhi oleh fungsionalisme struktural. Dia mencatat bahwa bagi sang fungsionalis, sistem sosial dipengaruhi oleh kerja sama sukarela atau konsensus umum atau keduanya. Akan tetapi, bagi teoretisi konflik (atau paksaan), masyarakat dipersatukan oleh pembatasan yang dipaksakan. Dengan demikian, beberapa posisi di masyrakat merupakan kekuasaan dan otoritas yang didelegasikan kepada orang lain. Fakta kehidupan sosial tersebut membawa Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa distribusi otoritas yang diferensial selalu menjadi faktor penentu konflik-konflik sosial sistematik (Ritzer, 2012:451).

Terjadinya pengelompokan atau pelapisan sosial yang terbentuk dimasyarakat, salah satunya kelompok agama. Dari agama yang memiliki Tuhan, kitab, kepercayaan, dan cara beribadah yang berbeda. Bahkan pada kelompok agama masih terbagi kedalam kelompok-kelompok yang lebih kecil lagi. Contoh islam ada aliran Nahdatul Ulama', Muhammadiyah, LDII, Ahmadiyah, Wahabi, dan masih banyak lagi. 

Hanya karena berbeda madzhab saja konflik masih sering terjadi antar aliran tersebut padahal masih dalam satu naungan, yaitu agama islam. Apalagi perbedaan agama yang mempunyai kepercayaan dan keyakinan yang berbeda pasti lebih sering terjadi pertentangan atau yang lebih dikenal dengan isu sara. Sistem pelapisan sosial di masyarakat dibentuk oleh manusia sebagai makhluk sosial dengan pengaruh kebudayaan yang berlaku dan akibat adanya keterpaksaan.

Penguasa juga berpengaruh penting sehingga terjadinya konflik, kebijakan yang dilakukan adil atau tidak bagi warganya. Meski terkadang penguasa sudah bersikap adil masih ada sebagian kelompok masyarakat yang merasa kebijakan tersebut tidak adil. Padahal penguasa sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sudah memberikan kebijakan sesuai porsi dan kebutuhan yang dimiliki. 

Sifat dasar alamiah manusia memiliki nafsu yang sulit untuk di puaskan atau merasa terpuaskan. Tidak menutup kemungkinan konflik terjadi akibat dari penguasa itu, yang menjadi faktor yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam dunia politik hal ini sangat sulit untuk dihindari jika tidak dibekali dengan ajaran agama yang mendalam. Penguasa yang melakukan KKN biasanya tidak akan bertahan lama kekuasaannya.

Baca juga: Memahami Falsafah Jawa, Meredam Konflik Agama dan Politik

Pada dasarnya, apabila merujuk pada al-Qur'an, banyak indikasi yang menjelaskan adanya faktor konflik yang ada di masyarakat. Secara tegas al-Qur'an menyebutkan bahwa faktor faktor konflik itu sesungguhnya berawal dari manusia. Misalnya dalam surat yusuf ayat 5, sebagai berikut:

5.  Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia" (Kahmad, 2002:148).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa ada sesuatu didalam diri manusia yang selalu berusaha menarik dirinya untuk menyimpang dari nilai-nilai dan norma agama. Atau secara lebih tegas disebutkan bahwa kerusakan bisa berbentuk kerusuhan, demonstrasi, dan lain-lain diakibatkan tangan manusia. 

Maka dapat disimpulkan bahwa penyebab konflik agama adalah penganutnya bukan agamanya, untuk mengidentifikasikan timbulnya konflik. Penganut agama tentu manusia, dan manusia adalah bagian dari masyarakat. Maka masyarakat akan menjadi lahan konflik dalam tataran kehidupan sosial. Anggapan bahwa dirinya paling berkuasa dan kaum mayoritas yang menguasai kaum minoritas, ini juga berlaku dalam bidang agama baik antar agama ataupun antar aliran.

Dibawah ini unsur-unsur yang mempertajam konflik, sebagai berikut:

Konflik ideologis yang mendasar karena rasa tidak senang terhadap nilai-nilai kelompok lain.

Sistem stratifikasi sosial yang berubah dan mobilitas satatus yang cederung untuk memaksakan adanya kontak diantara individu-individu dan kelompok-kelompok yang secara sosial dulunya sedikit banyak terpisah.

Perjuangan mencapai kekuasaan politik yang semakin tajam untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial yang cenderung mencapur-aduk perbedaan-perbedaan agama dengan kepentingan politik.

Kebutuhan mencari kambing hitam untuk memusatkan ketegangan akibat perubahan sosial yang begitu cepat (Robertson, 1995:214).

Menurut Heiler, orang yang mengakui kesatuan agama, harus memegangnya dengan serius dengan toleransi dalam kata-kata dan perbuatan. Disini Heiler melihat betapa dekatnya agama-agama itu satu sama lainya, dengan membandingkan strukturnya, keyakinan, dan amalan-amalanya, dia dibawa pada suatu yang melampaui semua namun tetap imanen dalam hati manusia. 

Baca juga: Rusuh Aceh Singkil Bukan Semata Konflik Agama, Ada Yang Memukul Gendang Agar Kita Menari

Lebih lanjut dikatakan, cara penyelesaian koinflik antar agama yaitu dengan melakukan dialog bersama agama lain, diperlukan adanya sikap paling terbuka, saling menghormati dan kesediaan untuk mendengarkan yang lain. Sikap-sikap ini diperlukan untuk mencari titik temu antara berbagai agama, karena masing-masing agama mempunyai karakteristik yang unik dan kompleks (Tharaba, 2016:85).

Kesimpulan

Dahrendorf dalam tesis sentralnya mengatakan bahwa distribusi otoritas yang diferensial selalu menjadi faktor penentu konflik-konflik sosial sistematik. Terjadinya pengelompokan atau pelapisan sosial yang terbentuk dimasyarakat, salah satunya kelompok agama yang menimbulkan konflik. 

Penguasa juga berpengaruh penting sehingga terjadinya konflik, kebijakan yang dilakukan adil atau tidak bagi warganya. Penyebab konflik agama adalah penganutnya bukan agamanya, untuk mengidentifikasikan timbulnya konflik. Banyak unsur yang mempertajam adanya konflik. Cara penyelesaian koinflik antar agama yaitu dengan melakukan dialog bersama agama lain, diperlukan adanya sikap paling terbuka, saling menghormati dan kesediaan untuk mendengarkan yang lain.

Daftar Pustaka

  1. Kahmad, Dadang. 2002. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya
  2. Ritzer, George. 2012. Teori Sosilogi: Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Posmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
  3. Robertson, Roland. 1995. Agama: Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: Raja Grafindo Persada
  4. Thraba, M. Fahmi. 2016. Sosiologi Agama: Konsep, Riset, dan Konflik Sosial. Malang: Mada

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun