Ibnu Khaldun lahir pada tanggal 27 Mei 1332 di Tunisia, yang merupakan bagian dari Kerajaan Hafsid saat itu. Dia berasal dari keluarga Arab yang berpengaruh dan menerima pendidikan komprehensif dalam ilmu Islam, filsafat, dan sastra. Pendidikan awalnya berlangsung di Tunisia, dan kemudian dia melakukan perjalanan ke berbagai belahan dunia Muslim untuk melanjutkan studinya.
Perjalanan intelektual Ibnu Khaldun membawanya mengembangkan minat yang mendalam terhadap sejarah, sosiologi, dan ekonomi. Perjalanan dan paparannya ke berbagai masyarakat dan budaya memainkan peran penting dalam membentuk gagasan dan teorinya. Dia memegang berbagai posisi politik dan penasihat sepanjang hidupnya, yang memberinya wawasan praktis tentang fungsi masyarakat dan pemerintahan.
Karya Ibnu Khaldun yang paling terkenal, "Muqaddimah", diselesaikan pada tahun 1377 dan berfungsi sebagai pengantar untuk proyek sejarahnya yang ambisius, yang bertujuan untuk menganalisis kebangkitan dan kejatuhan peradaban. Dia berusaha mengungkap pola dan faktor mendasar yang membentuk masyarakat manusia dan perkembangannya.
Konsep Ashabiyyah
Menurut Ibnu Khaldun, konsep ashabiyyah merujuk pada semangat kebersamaan, solidaritas sosial, dan persatuan dalam kelompok manusia. Ibnu Khaldun mengamati dan mengemukakan bahwa ashabiyyah adalah kekuatan yang kuat dalam membentuk dan mempertahankan kelompok sosial, seperti suku, bangsa, atau kerajaan. Dia percaya bahwa ashabiyyah adalah faktor kunci dalam kejayaan suatu kelompok, tetapi juga menjadi penyebab kemunduran dan keruntuhan mereka.
Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa ashabiyyah awalnya muncul di antara kelompok-kelompok manusia yang hidup dalam kondisi alamiah, seperti kehidupan nomaden di padang pasir. Selama periode ini, kelompok-kelompok tersebut mengembangkan semangat kebersamaan yang kuat untuk melindungi diri mereka dari ancaman eksternal dan menghadapi kesulitan hidup.
Namun, Ibnu Khaldun juga mencatat bahwa semangat ashabiyyah cenderung melemah seiring berjalannya waktu dan kelompok sosial tersebut mencapai kejayaan dan kesejahteraan. Ibnu Khaldun mengaitkan kemunduran ashabiyyah dengan kemerosotan nilai-nilai moral, dekadensi, dan pemborosan yang muncul dalam masyarakat yang mapan. Ia berpendapat bahwa kemakmuran yang berkepanjangan cenderung mengurangi semangat kebersamaan dan membuat kelompok rentan terhadap serangan dari luar.
Dalam pandangan Ibnu Khaldun, perubahan dalam tingkat ashabiyyah dapat menjelaskan siklus berulang kejayaan dan kemunduran dalam sejarah. Ashabiyyah yang kuat memungkinkan kelompok sosial untuk menguasai dan memperluas wilayah, sementara kehilangan ashabiyyah dapat menyebabkan kelemahan dan akhirnya keruntuhan suatu kelompok.
Konsep ashabiyyah yang diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun telah memengaruhi pemikiran tentang sejarah dan dinamika sosial. Teori ini menekankan pentingnya faktor sosial dan budaya dalam memahami perubahan dan perkembangan peradaban manusia. Meskipun Ibnu Khaldun terutama mengamati ashabiyyah dalam konteks Arab dan Berber, konsep ini dapat diterapkan secara lebih luas untuk memahami dinamika sosial di berbagai kelompok manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H