Nah, Kesetaraan gender di Indonesia diperjuangkan oleh para pejuang perempuan yang dimulai dari sebelum kemerdekaan.
Pada masa sebelum kemerdekaan yaitu pada masa perjuangan melawan penjajah pada abad ke 19 berawal dari adanya kesadaran untuk mendapatkan keadilan, karena pada saat itu dirasa perempuan belum mendapatkan hak yang sama dengan laki -- laki. Pada saat sebelum kemerdekaan bentuk dari pergerakan perjuangan perempuan Indonesia dalam bentuk peperangan perempuan yang terintegrasi secara menyeluruh untuk melawan kolonialisme. Para perempuan ikut berpartisipasi dalam bidang masing-masing untuk melawan para penjajah pada saat itu.
Nama -- nama besar dari pejuang perempuan Indonesia antara lain Christina Marta Tiahahu seorang gadis yang berasal dari Maluku Tengah yang ikut mengangkat senjata melawan tentara belanda, kemudianCut Nyak Dien yang merupakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari Aceh yang ikut berjuang melawan belanda pada saat perang aceh, dan Cut Meutia yang merupakan pahlawan wanita yang berasal dari aceh. Serta ada pejuang perempuan Indonesia yaitu Nyai Ageng Serang yang berasal dari Mataram yang memiliki nama kecil Raden Ajeng Retno Kursiah. Selain keempat pejuang perempuan pada masa sebelum kemerdekaan ada juga Raden Ajeng Kartini yang memperjuangkan hak -- hak dari perempuan yang banyak dari perempuan pada saat itu tidak mendapatkan haknya dan juga adannya perbedaan perilaku antara perempuan dan laki laki.
Pada tanggal 22 Desember 1928 pertama kalinya terjadi kongres perempuan yang memiliki kaitan erat dengan hari sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Kongres perempuan pertama tersebut melahirkan federasi organisasi perempuan yaitu Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia(PPPI) yang berdiri pada tahun 1928 dan pada tahun 1929 berubah menjadi Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia(PPII). Terdapat empat bidang hak-hak yang diperjuangkan PPII yaitu Faktor dari keluarga dan pendidikan seperti kedudukan perempuan dalam perkawinan menurut Islam, selanjutnya yaitu faktor perburuhan, adanya pencegahan perdagangan anak khususnya anak perempuan, dan faktor politik pada tahun 1941.
Sejarah Kesetaraan Gender pada masa pendudukan Jepang, di Indonesia peran perempuan pada saat kedudukan Jepang berawal dari adanya propaganda "3A" yang memiliki tujuan mencari simpati perempuan. Gerakan "3A" merupakan barisan istri yang menjadi wadah untuk istri yang suaminya pihak yang terlibat dalam kegiatan tiga A. Disusul lah dengan organisasi selanjutnya yaitu "Barisan Putri Asia Raya" terkhusus bagi kaum puteri. Organisasi yang bergerak dalam pergerakan perempuan yaitu Poetra (Pembela Tanah Air) didalamnya adanya Barisan Pekerja Perempuan Poetra yang memiliki tujuan untuk mempersatukan pada pekerja perempuan dengan memberikan bantuan dalam bentuk pendidikan dasar berkerja untuk sesama. Kegiatan yang dilakukan oleh organisasi Barisan Pekerja Perempuan Poetra dengan memberikan pendidikan pelatihan dan keterampilan bagi kaum perempuan. Selain itu ada juga gerakan perempuan yang menggunakan cara penyusupan melalui PUTERA ( Pusat Tenaga Rakyat) yang dipimpin oleh Bung Karno, Bung Hatta, KH. Mas Mansyur dan Ki Hajar Dewantara yang didirikan pada tahun 1943. Pada bagian perempuan memiliki tugas perhatian terhadap kepentingan perempuan dan penyediaan fasilitas yang dibutuhkan perempuan pada saat terjadinya penjajahan.
Pada Masa Kemerdekaan dan Setelahnya, pada saat kemerdekaan pun organisasi perempuan dibuat kembali dengan membentuk federasi yang diberi nama Kongres Wanita Indonesia (Kowani) pada tahun 1946 di Solo. Kemudian dilaksanakan kembali Kongres Wanita Indonesia yang ke-5 di Madiun. Karena pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk menanggulangi blokade ekonomi dan politik Barat dengan mengadakan hubungan luar negeri yang menyebabkan Kowani menjadi anggota WIDF ( Women's International Democratic Federation) yang menjalin kerjasama dalam mendukung pergerakan perjuangan perempuan. Pada masa kepemimpinan Ir. Soekarno perempuan telah diakui atas haknya. Gak yang diterima oleh perempuan Indonesia yaitu pada bidang politik mendapatkan hak untuk memilih dalam pemilihan umum 1955 dan ikut menduduki jabatan sebagai anggota parlemen. Selain itu perempuan Indonesia memperjuangkan haknya yaitu adanya praktek poligami yang merugikan perempuan. Perbuatan poligami yang dilakukan Ir. Soekarno pada saat itu ditentang oleh organisasi perempuan yaitu Persatuan Wanita Indonesia (Perwani). Organisasi perempuan Perwani ini yang mendesak adanya Undang -- Undang Perkawinan. Kemudian berlanjutÂ
pada masa pemerintahan Soeharto setelah adanya Undang--Undang Perkawinan tahun 1974 untuk mengupayakan tidak adanya poligami dengan mengatur para pegawai negeri yang berpihak pada perempuan untuk tidak melakukan pembatasan yang ketat terhadap pegawai laki -- laki yang mempunyai keinginan untuk poligami. Adanya pembentukan Kementrian Muda Urusan Peranan Perempuan pada Kabinet Pembangunan pada tahun 1974, yang berakhir menjadi Mentri Negara Pemberdayaan Perempuan. Tugas dari Mentri Negara Pemberdayaan yaitu meningkatkan peranan perempuan dalam pembangunan dan pemberdayaan perempuan yang diberikan dari negara untuk perempuan dalam pemenuhan haknya. Â Selain itu terdapat sekumpulan profesi untuk perempuan seperti Polwan pada tahun 1938, Korps Wanita Angkatan Darat (KOWAD) pada tahun 1961, Korps Wanita Angkatan Laut(KOWAL) pada tahun 1963, dan Korps Wanita Angkatan Udara pada tahun 1963.Â
Dilanjutkan pada orde baru, pemerintah mengesahkan tiga organisasi yang menjadi utama yaitu Pembina Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang beranggotakan ibu rumah tangga yang bukan istri dari pegawai, Darma Wanita yang beranggotakan istri dari pegawai negeri sipil, dan Darma Pertiwi yang beranggotakan istri dari polisi dan tentara.pada tahun 1970 sampai 1980 yang di koordinir oleh aktivis perempuan yang bergerak sebagai wadah Lembaga Swadaya Masyarakat. Dalam gerakan ini membuat para perempuan yang diwakili oleh aktivis dapat ikut dalam berbagai konferensi perempuan dunia. Salah satu tokoh perempuan yang ikut dalam konferensi perempuan yaitu Ibu Suwarni Salyo.
Pada masa setelah orde baru pergerakan perjuangan perempuan semakin terlihat dengan keikutsertaannya dalam pembuatan instrumen hukum yang penting tentang permasalahan keadilan dan kesamaan hak untuk perempuan yang tertuang didalam Undang--Undang Nomor 39 Tahun 1999. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 45 menyatakan Hak Asasi Perempuan merupakan Hak Asasi Manusia yang melahirkan Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Selain itu pada masa orde baru perempuan mendapatkan kursi parlemen sebesar 30% berdasarkan UU No. 12 Tahun 2003 pasal 65. Pada masa pasca orde baru banyak kasus yang berkaitan dengan perempuan yaitu pornografi didalam UU Pornografi No. 44 tahun 2008 lebih condong mempidanakan perempuan, ada juga permasalahan lainnya terkait perempuan yaitu perdagangan orang yang bagian besar korbannya yaitu perempuan, padahal sudah diatur didalam UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H