Saya kira, untuk mengambil kesimpulan seperti itu, tak perlu belajar ilmu politik tinggi-tinggi. Orang yang buta (awam) politik banyak yang  tahu apa yang terjadi, tanpa perlu analisis lebih jauh.
Lihat  saja siapa yang kontra pada setiap kebijakan Anies saat ini?Â
Oposisi Anies di DKI tentu saja berusaha semaksimal mungkin termasuk memguasai media agar apa yang dilakukan Anies tidak terekpose. Apapun yang dilakukan Anies pasti akan dinegatifkan.Â
Saya kira, sasaran dinegatifkannya kerja Anies  bukan untuk warga di DKI Jakarta. Sebab, berhasil dan tidaknya Anies sebagai Gubernur pasti yang lebih tahu orang Jakarta sendiri. Tetapi itu semua untuk seluruh pelosok Indonesia. Bila nanti ada partai yang mendukungnya jadi RI-1. Tentu saja akan dibilang tak mampu bekerja. Seperti statemen oposisi selama ini.
Kehadiran Risma di Jakarta, banyak orang berkeyakinan (=bespekulasi) untuk itu. Katakanlah untuk menyaingi Anies di Jakarta. Keyakinan itu bisa jadi benar, melihat aksi mensos yang baru dilantik saat itu di Jakarta. Sampai-sampai tanggapan dan komentar berseleweran kemana-mana, baik pro maupun kontra.
Melihat itu semua, bila nanti, pilkada ditunda karena alasan Covid-19--ada yang memperkirakan-- Risma jadi PLT Gubernur DKI, tentu untuk menguasai Jakarta . Bila pilkada tidak ditunda, Risma akan jadi Rival Tangguh Anies di DKI. Tujuan akhir adalah untuk kepentingan RI-1 pada 2024.
Namun, saya yakin kubu Anies sudah memprediksi dan mengantispasinya.
Kenapa Harus Anies dan Risma?
Bila kemudian hanya ada Anies dan Risma yang dijadikan topik pembicaraan saat ini. Tentu muncul pertanyaan besar adalah kenapa harus Anies dan Risma. Apa tidak ada tokoh lain?
Padahal kita tahu, Anies sampai saat ini tidak  punya partai. Begitu pula Risma bukanlah pengurus teras di PDIP. Kemana ketua-ketua partai di Indonesia. Apalagi mengingat Indonesia menganut multi partai. Apakah ketua-ketua partai tidak ada yang punya "kans" satu pun?Â
Kecuali Prabowo, apakah ketua-ketua partai lain orientasinya hanya sebatas ketua partai saja?.