Memang di alam demokrasi, tidak dapat dibantahkan bila semuanya memiliki kepentingan-kepentingan tertentu dalam percaturan politki. Apakah kepentingan itu bersifat kearah pribadi para petarung maupun murni untuk kepentingan rakyat  Aceh secara keseluruah. Pertarungan dalam intern itu ada dan tidak perlu ada analisis yang mendalam.
Sebagai logika, tidak mungkin muncul partai lain  yang berbasis mantan aktivis dan mantan kombatan GAM selain partai PA. Tetapi nyatanya ada PNA, yang sedikitnya, mereka notabenenya adalah pejuang GAM. Namun, dalam parlemen Aceh saat ini sangat dinominasi oleh partai Aceh (PA) dan PNA hanya kebagian sangat-sangat kecil tak mampu mengusung satu orang calon gubernur pun bila tidak berkoalisi.
Harus diakui juga, selama lebih sepuluh tahun perjuangan melalui jalur demokrasi telah memunculkan efek-efek yang dirasakan oleh rakyat Aceh. Tentu saja ada efek positif maupun efek negatif. Bisa jadi efek ini muncul karena "kue pembangunan" yang dianggarkan dalam  Anggaran Pendapatan Daerah Aceh (APBA). Di sini, siapa yang besar pengaruh maka yang bersangkutanlah yang dapat berbicara banyak.
Bila efeknya kebanyakan positif berarti "kue pembangunan" itu berjalan normal dan rakyat merasakan dampak yang positif pula. Tetapi bila efeknya negatif, berarti "kue pembangunan" kurang sesuai dengan keinginan  rakyat.
Bila memang ada efek negatif, tentu bukan disebabkan oleh partai yang ada terutama partai yang berkuasa. Tetapi harus disadari bahwa pelakonnya itu adala manusia. Tentu saja manusia memiliki akal pikiran yang berbeda-beda. Kemudian muncullah istilah oknum-oknum. Saya yakin dan percaya tidak mungkin sebuah partai memiliki tujuan untuk tidak memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Tentu bila ada itu adalah oknum-oknum yang bermain yang merugikan partai secara keseluruhan.
Karena itu, bila ada hal-hal yang dianggap kurang di mata rakyat tidak bisa menjustifikasi partainya. Meskipun sejujurnya rakyat secara pribadi memiliki rasa yang tidak ada dapat diintervensi oleh pihak lain. Fakta dan kenyataan pada akhirnya akan terlihat juga.
Tanpa mengurangi rasa hormat dan simpati kepada mantan aktivitas dan kombatan GAM yang telah berjuang sampai memperuhkan nyawa. Namun, sebagai instropeksi perlu juga direnungi bersama-sama.
Pemilihan Gubernur Aceh belum sampai dua tahun berlalu. Kita tentu masih ingat bagaimana pertarungan yang terjadi. Pada saat itu ada empat calon guburner yang memiliki hubungan erat dengan GAM dan semuanya adalah elit GAM yaitu Zaini Abdullah (Abu Doto) jalur Independen, Muzakir Manaf (Mualem) didukung PA dan Partai Nasional (Gerindra), Irwandi Yusuf (Teungku Agam), PNA dan koalisi nasional dan Zakaria Saman (Apa Karya) jalur Independen.
Semua yakin dan percaya pada awalnya yang akan memenangi konstentasi pilkada Aceh pada saat itu adalah pendukung dari PA. Sebab, selain di parlemen didominasi oleh PA juga yang dicalonkan adalah ketua DPP PA yaitu Muzakir Manaf yang selama ini dikenal sebagai Panglima GAM. Tetapi kemudian ternyata yang terpilih adalah Irwandi Yusuf yang merupakan pendiri PNA. Banyak yang terkejut dengan kemenangan tersebut. Tetapi itulah pilihan rakyat secara sangat demokratis.
Karena PA adalah partai yang diklaim sebagai representatif mantan aktivis dan kombatan GAM hasil pilkada Gubernur Aceh menjadi warning atau bahkan peringatan keras. Bahwa dalam alam demokrasi rakyat adalah panglima. Kata orang: "Suara Rakyat adalah suara Tuhan". Â Eksistensi sebuah partai politik apakah itu lokal dan nasional sangat tergantung di suara rakyat. Kalau rakyat jenuh, tentu partai itu akan ditinggalkan.
Maka oleh karena itu, pada perhelatan  milad GAM tahun 2017 ini, para mantan aktivis dan mantan kombatan GAM tidak boleh  berpangku tangan lagi. Mereka harus memanfaat momen milad GAM kali ini untuk merebut kembali simpati Rakyat Aceh. Kalau tidak, maka semuanya akan berakhir dan hanya menjadi kenangan. Saran saya, jangan melupakan butir-butir MoU Helsinki. SELAMAT MILAD GAM dalam alam demokrasi di bawah payung NKRI. @dj