Mohon tunggu...
Den Ciput
Den Ciput Mohon Tunggu... Penulis - I'm a writer...

Just Ordinary man, with the Xtra ordinary reason to life. And i'm noone without God.. http://www.youtube.com/c/ChannelMasCiput

Selanjutnya

Tutup

Balap Artikel Utama

GP Monako dan Kesialan Leclerc

1 Juni 2022   05:07 Diperbarui: 1 Juni 2022   17:30 1120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pebalap Red Bull, Sergio Perez, beraksi di GP Monaco pada Minggu (29/5/2022) malam WIB. (sumber: AFP/SEBASTIEN BOZON via kompas.com)

Saya secara pribadi kalau harus berkomentar tentang GP Monako hampir selalu tak bisa berkata-kata.

Sirkuit ini sangat menantang. Pembalap baru tak bisa semudah itu menaklukkannya. Semua dibalut dengan segala kemewahan nan glamour khas negeri yang makmur.

Sirkuit jalanan ini punya sejarah yang panjang. Jauh-jauh sebelum FORMULA 1 di helat pertama kali tahun 1950, Monte Carlo telah dipakai ajang balap sedari tahun 1929!

Sampai saat ini, pembalap yang paling dominan di sirkuit ini hanyalah Ayrton Senna Da Silva dengan 6 kali kemenangan disini. Itulah uniknya Senna, gaya balapnya yang cenderung agresif justru membuatnya jadi 'King Of Monaco'. Jumlah kemenangan Senna itu memecahkan rekor yang sebelumnya dipegang Graham Hill yang menang sebanyak 5x.

Selepas Senna, Schumacher menang disini sebanyak 5 kali. Tentu saja ini masih dibawah rekor Senna.

Sampai saat ini, belum ada satu pembalap pun yang bisa memecahkan rekor Senna.

Ada cerita menarik, kenapa Senna begitu dominan di sirkuit klasik ini.

Keindahan berbalut kemewahan yang menjadi ikon Formula 1. Sayang musim depan akan hilang dari kalender F1. ( Photo Credit: autosport)
Keindahan berbalut kemewahan yang menjadi ikon Formula 1. Sayang musim depan akan hilang dari kalender F1. ( Photo Credit: autosport)

Saat itu 14 mei 1988. Ini adalah musim pertama Senna membalap buat Mclaren. Senna yang memulai balapan dari grid terdepan alias Pole itu memimpin balapan. Senna yang tahun sebelumnya bersama Lotus sudah menang di Monaco telah merasa menjadi 'penguasa' Monako.

Senna memacu mobilnya sekencang mungkin. Saking kencangnya MP4-4 yang di geber Senna, hingga gap antara Senna dan pembalap kedua, Alain Prost adalah 1,4 detik! 

Mungkin bagi kita sedetik adalah waktu yang sangat sebentar. Tapi di Formula 1, ketika Anda melaju di kecepatan 200km/jam, berarti per detik Anda telah melampai jarak lebih dari 55 meter. Kalau selisih waktu 1,4 detik bisa jadi Anda berada 100 meter di depan lawan.

Dan itulah yang terjadi pada Senna dan Prost.

Tapi pada lap 67 Senna menabrak dinding pembatas. Ada beberapa versi yang membahas tentang kenapa Senna sampai menabrak. 

Pada salah satu sumber menyebutkan, Senna di perintahkan untuk memelankan laju mobil oleh Ron Dennis, team principal saat itu. Sementara sumber lain mengatakan bahwa Senna Nervous karena tiba-tiba Prost mendekat. Apappun itu, yang jelas Senna hilang fokus saat menabrak.

Selepas kejadian Senna 'ngambek' dan balik ke hotel tempatnya menginap. Senna baru bicara dengan tim dua hari kemudian.

Dan akibatnya, Senna di kritik banyak pihak, tak terkecuali penggemar Formula 1. Mereka mengatakan, masak gara-gara hal kayak gitu saja sampai marah.

Sejak saat itu, laksana bersumpah, Senna tak pernah sekalipun kalah di Monako sampai akhir hayat, terhitung tahun 1989, 1990,1991,1992 dan terakhir menang 1993. Kejadian 1988 membuat Senna mempelajari sedetildetilnya sirkuit jalan raya  ini.

Senna secara brilian menaklukkan Monako. Membalap disini dibutuhkan kesabaran ekstra karena kondisi sirkuit yang sempit dan banyaknya belokan mengharuskan pembalap sesedikit mungkin menggerakkan stir selain untuk keperluan menikung.

Celakanya, kebanyakan Rookie cenderung 'gugup' disini. Padahal, kalau mau belajar, bahwa pada kejadian 1988 penyebab Senna menabrak adalah karena gugup, maka mereka akan berusaha setenang mungkin membalap disini.

Charles Leclerc, selalu 'sial' di Monako. ( Photo Credit: formula1.com)
Charles Leclerc, selalu 'sial' di Monako. ( Photo Credit: formula1.com)
KESIALAN PEMBALAP TUAN RUMAH. 

Berbanding terbalik dengan Senna, Charles Leclerc, pembalap Ferrari yang justru selalu sial disini. Menanggapi hal itu, Leclerc menyanggah, bahwa dia tak percaya takhayul. Dia beranggapan itu hanya soal teknis saja.

Charles Leclerc, sebagai tuan rumah GP Monako tentu berharap agar bisa selalu tampil cemerlang di kandang, paling tidak, sampai akhir dari terselenggaranya GP Monako. 

Tapi apa lacur, sepanjang kariernya di Formula 1, Leclerc hampir selalu gagal finish di kampung halamannya! Ada saja rintangan untuk bisa sekedar finish di kandang sendiri buat Leclerc. Yang mesin rusak lah, yang nabrak lah.

Menaklukkan Monako memang tak segampang menginjak pedal Throtle di Hockenheim. Sirkuit jalanan ini berkarakter lambat. Sempit dan penuh tikungan, membuat para 'artis lintasan' harus ekstra hati-hati, atau kalau tidak, menabrak tembok. Soal Monako, sekali lagi, kembalikan ke Ahlinya, Senna! Sayang, Senna telah tiada.

Schumy pun 'cuma' bisa lima kali juara disana. Pokoknya, tak ada yang sebagus Senna di Monte Carlo! Tak ada. Atau belum ada tepatnya. Bahkan saat hujan pun Senna bisa tampil cemerlang. Menaklukkan Monako berarti menjadi tolok ukur seberapa piawai seorang pembalap!

Selain itu, masih tentang Monako, adalah soal keglamoran!

Setidaknya, setiap kali balapan di gelar di negeri Kota ini, selalu bertabur bintang dan kaum jetset dari berbagai negara.

Itu adalah daya tarik tersendiri, bukan yang utama, tapi hal yang akan memberi ekstra value pada Formula 1.

Monako ibaratnya seperti aluminium foil pada kemasan makanan ringan yang bisa menambah nilai. Karena walau isinya sama, makanan ringan yang di kemas dalam aluminium foil lebih mahal dari yang di bungkus plastik, kan?

Seperti itulah Monaco.

Tapi sayang, setelah menyelenggarakan Formula 1 sejak 21 Mei 1950, pekan ini menjadi pekan terakhir GP Monako. GP Monako digantikan GP Miami dan Las Vegas.

Pihak penyelenggara menengarai, tiket nonton di Miami yang terjual habis tiga pekan lalu merupakan kabar menggembirakan dan menjadikan alasan menghapus GP Monako semakin kuat.

Selain itu, suksesnya GP Miami juga menjadi tolok ukur bahwa FORMULA 1 sudah bisa diterima dengan baik di Amerika. Dan secara bisnis, ini adalah hal yang menguntungkan.

Tapi bagi penggemar FORMULA 1, tanpa Monako rasanya ajang sudah kehilangan daya pikat. Karena Monako adalah ikon FORMULA 1.

Kembali lagi ke Leclerc, sebagai 'putra daerah', tentu saja bisa mendapat kenang-kenangan manis dari GP terakhir di kampung halaman. Pada akhir pekan ini, Leclerc sudah tampak semangat dengan posisi Pole. Tapi ya itu tadi, kutukan masih belum hilang. Syukur bisa finish keempat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Balap Selengkapnya
Lihat Balap Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun