Charles Leclerc, sebagai tuan rumah GP Monako tentu berharap agar bisa selalu tampil cemerlang di kandang, paling tidak, sampai akhir dari terselenggaranya GP Monako.Â
Tapi apa lacur, sepanjang kariernya di Formula 1, Leclerc hampir selalu gagal finish di kampung halamannya! Ada saja rintangan untuk bisa sekedar finish di kandang sendiri buat Leclerc. Yang mesin rusak lah, yang nabrak lah.
Menaklukkan Monako memang tak segampang menginjak pedal Throtle di Hockenheim. Sirkuit jalanan ini berkarakter lambat. Sempit dan penuh tikungan, membuat para 'artis lintasan' harus ekstra hati-hati, atau kalau tidak, menabrak tembok. Soal Monako, sekali lagi, kembalikan ke Ahlinya, Senna! Sayang, Senna telah tiada.
Schumy pun 'cuma' bisa lima kali juara disana. Pokoknya, tak ada yang sebagus Senna di Monte Carlo! Tak ada. Atau belum ada tepatnya. Bahkan saat hujan pun Senna bisa tampil cemerlang. Menaklukkan Monako berarti menjadi tolok ukur seberapa piawai seorang pembalap!
Selain itu, masih tentang Monako, adalah soal keglamoran!
Setidaknya, setiap kali balapan di gelar di negeri Kota ini, selalu bertabur bintang dan kaum jetset dari berbagai negara.
Itu adalah daya tarik tersendiri, bukan yang utama, tapi hal yang akan memberi ekstra value pada Formula 1.
Monako ibaratnya seperti aluminium foil pada kemasan makanan ringan yang bisa menambah nilai. Karena walau isinya sama, makanan ringan yang di kemas dalam aluminium foil lebih mahal dari yang di bungkus plastik, kan?
Seperti itulah Monaco.
Tapi sayang, setelah menyelenggarakan Formula 1 sejak 21 Mei 1950, pekan ini menjadi pekan terakhir GP Monako. GP Monako digantikan GP Miami dan Las Vegas.
Pihak penyelenggara menengarai, tiket nonton di Miami yang terjual habis tiga pekan lalu merupakan kabar menggembirakan dan menjadikan alasan menghapus GP Monako semakin kuat.