Beberapa bulan menjalin hubungan dengan Atiek, Alan putus. Yang mutusin Atiek. Alasannya beda agama. Kalau emang agama persoalannya, kenapa baru sekarang di permasalahan kan?
Alan yakin Atiek punya alasan lain, tapi tak bisa mengungkapkan. Jalan yang paling gampang ya pakai alasan agama.
Alan sudah berusaha mempertahankan hubungan mereka. Tapi Atiek Keukeuh nggak mau balik. Apa boleh buat, sudahlah. The gone let be Bone!
Pas Alan Curhat kakaknya, Mas Barry, malah kena damprat, " Lagian dari awal aku sudah peringatan kamu, kamu aja yang konyol. Kalau patah hati baru laporan!"
" Siapa yang patah hati mas?"
"Kamu."
" Yeyy... Saya kan cuma cerita."
" Serius kamu tidak Broken heart?" Mas Barry menyelidik.
" Demi apa hayo?" Alan meyakinkan.
" Itu baru adikku," Alan memang akrab dengan kakaknya. Sangat akrab.
" Kamu mau liburan? Untuk sekedar ngilangin suntukmu? Jelek loe kalau suntuk!!" Canda Mas Mike.
" Kalau di ongkosin ya mau."
" Yaelah, berapa taon loe jadi adik gua sih, gak percaya banget. Mau liburan kemana, ntar biar di bookingin tiket."
Giliran Alan yang bingung. Milih liburan kemana ya?
Iya, bingung. Karena selama ini sudah sering traveling. Bukan sekedar traveling. Tapi bawa misi. Misi yang diberikan Mas Barry untuk urusan pekerjaan yang biasanya tak bisa ditangani.
"Hellowww!?" Barry melambaikan tangan di Muka Alan.
" Aku pikir dulu deh ya, mas. Ntar malam aku kasih kabar."
" Ya udah, pulang sono."
Bukannya pulang, Alan malah ke kampus. Cari tongkrongan yang murah dan asyik, kantin kampus. Biasanya sih dua sahabatnya Gio dan Putra sudah pada nongkrong manis ngecengin penghuni kampus.
Benar, belum juga duduk, udah pada teriak, " Woiii... Sad boy. Fans berat Didi Kempot, sini lah kawan. Kita cakap-cakap, duhh... Mentang-mentang Broken heart, mengurung diri di rumah kayak anak mami," Suara Putra ngeledek.
" Kalau dia bukan anak mami, Cuy! Anak simbok. Huahuahua..." Gelak tawa riuh.
" Sialan loe pada, kawan baru putus bukanya dihibur, malah diledekin," Alan menimpali, tapi bukan dengan nada marah, melainkan diiringi derai tawa suara cowok berkulit coklat dengan wajah mirip Bono U2 itu.
" Udahlah, the gone let be Bone. Gua ditawarin suruh liburan sama abang gua nih. Tapi bingung musti kemana ya?" Alan meletakkan pantatnya ke kursi setelah memesan kopi hitam gak manis, karena kalau manis susah dilupakan.
" Cuy, banyak tugas ngaco," Gio ngingetin.
" Masalahnya kalau gak gua ambil peluang ini, ntar jadi hangus, gak dikasih liburan lagi."
" Nah, loe kan kayaknya udah sering traveling," Putra nyahut
" Traveling apaan, itu tuh kerja juga. Diajarin mewakili abang gua, ngaco. Tetap aja gak bisa menikmati. Maunya gua tuh full gak mikir kerjaan."
" Ssttt!" Gio kasih isyarat. Alan menanggapi dengan sedikit memajukan dagunya tanpa suara.
Gio nunjuk belakang Alan, ada Atiek Melintas.
" Loe pikir cuma artis doang yang putus pacaran trus liburan, gitu? Gua juga bisa kayak Artis. Putus pacaran, jalan-jalan keluar negeri pakai First Class!" Alan mengumbar bacot keras-keras supaya Atiek dengar.
Atiek menghentikan langkah selama beberapa detik, trus jalan lagi.
Wajah Alan kalem lagi. Biasalah, kadang cinta itu jumawa.
Putra dan Gio saling berpandangan.
" Eh, ada rekomendasi penerbangan dan hotel murah nggak, buat back packer ke singapore?" Alan memandang kedua sahabatnya.
Jelas aja yang ditanya bingung. Barusan ngomong sebakul, sekarang tanya penerbangan murah.
" Lha, katanya loe mau pakai First Class, gimana sih!?" Protes Putra.
" Gua bluffing aja bego."
" Ah, anak jin kalau ngomong kayak kumur." Timpal Gio, mereka ngakak bareng.
Pas lagi ngakak Atiek lewat.
Wajahnya tampak sedih. Bukan sedih karena pisah dengan Alan, tapi sedih ngeliat Alan bisa tertawa lepas, padahal dia berharap Alan nangis darah atau nanah sekalian sampai tersungkur.
Tapi Alan adalah Alan. Ndablegnya luar biasa. Dia gak bakal bisa disakitin orang hanya gara-gara ditinggalkan. Bila perlu, pergi aja jauh-jauh. Get lost. Nothing to lose.
Apalagi hanya sekedar pacar, nyokapnya aja ninggalin dia aja gak mempan.
Awalnya sih sedih. Tapi udahlah.
Nah, kalau masalah pacaran lebih simple lagi. Dulu nggak kenal sekarang nggak kenal lagi. Cuma soal perasaan, bukan saling membutuhkan. Meskipun awalnya Alan memperjuangkan, tapi kalau yang diperjuangkan tidak mau, gimana lagi?
Keesokan harinya Alan benar-benar pergi liburan ke Singapura. Gak terlalu jauh dan relatif murah.
Semalam dia sudah menghubungi Julia , temannya semasa SMA. Julia buat Alan lebih dari sekedar teman. Dia seorang sahabat yang baik. Seorang Tomboy yang baik hati. Rambutnya tidak pernah dibiarkan memanjang. Paling banter ya sepundak. Itu pun biasanya buru-buru di potong.
Biar nggak gerah. Gitu alasannya satu ketika. Maklum, selain Tomboy Julia juga seorang Atlit basket. Ih, nggak nyambung ya.
Sekeluarga Julia pindah ke negeri seberang.
Lama Alan tak jumpa Julia. Terakhir jumpa ketika mama Julia meninggal dan di kremasi di Jakarta.
Waktu itu Julia udah lumayan. Lebih feminim. Rambutnya sebahu, hitam dan lurus.
Matanya tak terlalu sipit untuk ukuran orang Cina. Seumur-umur baru kali itu wajah Julia terlihat murung.
" Be strong ya, Li.." Alan merangkul pundak Julia. Li adalah panggilan Stefani di rumah. Ayli.
Stefani menyandarkan kepala ke pundak Alan sambil sesenggukan. Airmatanya mengalir deras. Everybody need a shouder to cry on..
Alan tidak merasa canggung. Tak pula merasa grogi atau apa gitu. Mereka sudah akrab. Udah kayak saudara.
Mulanya dulu ada banyak kawan yang salah sangka. Tapi Alan berhasil menepisnya dengan beberapa kali pacaran dengan cewek lain.
Toh mereka tetap akrab.
Dan sampai detik ini, Alan belum punya perasaan apapun. Masih menganggap Julia sebagai sahabat.
Kayak semalam pas mereka video call, suara Julia tetap dar der dor kayak senapan. Hahahaa...
Maksudnya , Julia tetap ramai. Meskipun rambutnya kini sudah panjang, lewat sebahu. Seutas bando melingkari rambut depannya agar tak jatuh ke depan. Lesung pipinya juga masih ada. Sederet gigi putih dan rapi sangat kontras dengan bibir merahnya. Kulit putihnya kadang memerah tatkala Alan menggoda dan Julia tersipu.
Lumayan, sekarang Julia sudah bisa tersipu malu.
Dulu?
Boro-boro! Malu-maluin..
" Maaf pak, seatbelt-nya,"
Alan terhenyak dari lamunan. Rupanya sedari tadi dia sudah terbang sebelum pesawat take off.
Makin kaget Alan melihat name tag pramugari, Debbie namanya, mantannya waktu SMA.
Alan blingsatan dibuatnya.
" You.." Hanya itu yang terlontar dari bibir Alan. Debbie tersenyum ramah khas pramugari. Sebuah senyuman profesional tanpa makna apapun.
Debbie bersiap melanjutkan pekerjaannya ketika, " Excusme?"
Debbie menghentikan langkah, " Ada yang bisa saya bantu?"
Kini Alan tambah bingung. Enaknya memulai dari mana ya? Debbie seolah tak mengenalnya.
Ataukah Debbie masih sakit hati kepadanya?
Karena Alan meninggalkannya begitu saja. Ada yang cerita Debbie patah hati.
Nggak tau kenapa dulu dia tega banget ya.
Sejurus kemudian Alan tergugu. Antara bingung dan merasa bersalah.
Sebelum semua berlanjut, akhirnya Alan sadar, bahwa apa yang dilakukan Atiek adalah karma terhadapnya. Karena pernah mempermainkan Debbie.
" Ada yang bisa saya bantu?" Debby sedikit menundukkan kepalanya.
" Masih ingat aku?" Alan nekat. Debbie cuma tersenyum sambil menunduk. Tapi sekali lagi. Dia musti profesional.
Debbie menunduk sebentar, kayak sedang membantu Alan memasang sabuk pengaman agar lebih kencang, tapi bibir Debbie didekatkan lagi ke telinga Alan," Go to hell," Ucapnya pelan.
Oups!
Sontak alan pucat. Alan pengin sekarang semua berlalu lebih cepat. Karena dia diliputi rasa berdosa. Benar-benar ngerasa salah.
Kejadian selanjutnya Alan sudah tidak tau, bagaimana dan kapan Debbie berlalu.
Yang dia rasa pesawat tahu-tahu sudah tinggal landas.
Pas pembagian minuman, Debbie kembali muncul. Peringainya masih biasa, selayaknya pramugari yang melayani penumpang. Tapi pas jatah Alan, ada secarik kertas di balik Tisyu.
" You left me all alone!"
Wajah Alan pucat.
Tak sabar rasanya pengin cepat-cepat tiba di Changi.
Pas pembagian makanan, Alan membalas pesan singkat Debbie, juga dengan secarik kertas, " So Sorry, i'm Just a Man, i made mistake. Can we meet, someday? "
Diam-diam kertas itu diberikan kepada Debbie pas melintas secara diam-diam. Mereka udah pengalaman soal nyelip-nyelipin kertas kayak gini. Belajar waktu mereka saling contek pas sekolah. Jadi tak selamanya mencontek adalah hal buruk.
Setidaknya keahlian kita menyelipkan kertas saat darurat gini diperoleh dari situ. Hehehe...
Wajah Alan mangkin tegang. Debbie berusaha bersikap wajar, meskipun kadang sedikit gugup waktu tiba giliran melayani Alan.
Seharusnya penerbangan ini menyenangkan. Karena ini adalah penerbangan liburan. Tapi bagi Alan penerbangan ini laksana penerbangan Con Air dimana penerbangan dengan misi pemindahan para narapiada kelas kakap. Dan yang bertindak sebagai Attendent-nya adalah para pasukan keamanan elit berwajah garang.
Alan gelisah. Ditambah Debbie lalu lalang tepat disampingnya.
Harapan Alan terkabul. Tanda sabuk pengaman telah nyala, dan cabin crew kasih pengumumam bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Changi, Singapura.
Akal bulus Alan segera bekerja.
Dia pura-pura tidur. Tetiba Alan merasa Aroma Channel begitu dekat di depan indra penciumannya.
Salah seorang Pramugari membantu memasang sabuk pengaman. Dia berharap Debbie. Alan membuka mata dikit. Benar!
Degub jantungnya berdegub lebih cepat. Alan pura-pura siuman, membuka mata. Debbie masih dengan senyum profesionalnya, tapi, " Bandelnya gak pernah sembuh," Gumamnya pelan. Hanya Alan, Debbie dan Tuhan yang bisa mendengar.
Alan bersorak girang, hanya dalam hati. Karena kalau bersorak beneran takut dikira orang 'Bocor halus'.
Pas sudah turun, Alan berusaha cari cara bagaimana supaya bisa bertemu Debbie lagi. Untuk sekedar 'say hello', kalau bisa lebih sih. Alan pengin menebus kesalahan di masa lalunya.
Harapan Alan terkabul.
Tak jauh darinya berjalan rombongan Air Crew. Alan berusaha cari perhatian Debbie. Tapi Debbie malah asyik ngobrol sama Teman-temannya, " Debbie!" Alan udah gak tahan.
Debbie permisi ke temannya, menjajari langkah Alan yang kini ngos-ngosan.
" Aku pengin ngomong sama kamu," Alan memulai pembicaraan.
" Kamu hampir menghancurkanku!" Nada Suara Debbie berubah dingin.
" So sorry.."
" Hanya itu?!"
" Aku gak tau mesti bagaimana sekarang?"
Debbie diem. Tak tahu mesti bagaimana. Dia memberikan nomor telepon. Alan sedikit lega.
Sesampainya di pintu kedatangan dan melewati pemeriksaan imigrasi mata Alan jelalatan mencari Julia yang katanya mau jemput.
" Hey!" Suara merdu yang sangat dikenalnya terdengar dibelakangnya.
" Li!!" Pekik Alan tertahan. Gembira sekali. Begitu juga Julia. Alan memang selalu memanggil " Li" Panggilan kecil Julia dirumah.
Mereka berpelukan. Tak jauh dari situ ngumpul air crew, salah satunya Debbie. Mata Debbie memandang aneh, antara kangen, kesal, dan cemburu, " Bad boy!" celetuknya pelan.
Sepanjang perjalanan ke rumah Julia dikawasan Bukit Timah, mereka tak berhenti berceloteh. Saling berbagi cerita.
Setibanya dirumah Julia mata Alan memangdang sekeliling. Mereka duduk diruang tamu, sementara secangkir kopi hitam panas disuguhkan.
" Sssttt..." Alan memberi kode Julia.
" Apaan?" Alis Julia yang indah mengernyit.
" Asisten rumah tangga loe orang Indo?"
" Iya, orang jawa, kenapa?" Julia menabok Alan pakai bantal. Kayak orang gemas dan kangen.
" Mbak...?" Alan memanggil asisten rumah tangga yang tadi menyuguhkan kopi.
" Kopinya pakai gula nggak?"Tanya Alan.
" Pakai, nyo.."
" Nyo..nyo, apaan Nyo. Sinyo maksud loe?" Hardik Alan pura-pura marah. Sinyo adalah panggilan anak majikan. Majikan dari golongan masyarakat kelas satu dan dua pas jaman penjajahan. Di Jawa timur dan tengah panggilan itu masih suka dipakai. Alan tak suka dipanggil gitu. Karena dia bukan orang Cina, Tapi seandainya Alan terlahir dari rahim seorang Cina pun ogah dipanggil Sinyo. Kesannya rasis!
" Trus, panggil apa dong? " Sehabis berkata Asisten rumah tangga tersenyum genit arah Alan. Ihhh.....
" You boleh panggil mas, atau abang. Understand?" Alan ngocol.
" Baik mas," Pembantu patuh.
" Jadi kopinya pakai gula nih?" Alan mengulangi pertanyaannya.
" Pakai mas."
" Lain kali jangan pakai gula ya," Baru beberapa menit Alan homely banget. Dari dulu emang kayak gitu. Sejak mereka di Jakarta dulu. Julia menunggu aksi Alan selanjutnya.
" Emang kenapa, mas?"
" Yang manis tuh susah dilupakan, kayak Nona Li!" Jelas Alan.
" Alaann, apaan sih!? " Julia mencubit pundak Alan.
Mereka ngakak berjamaah.
Dirumah Julia Alan menempati kamar atas, guest room. Setidaknya ada tiga ruangan yang disediakan kalau ada tamu. Lumayam, kamarnya besar, bersih. Kamar mandi juga nyaman, kalau nginep di hotel ya sebangsa SGD 100 lah. Jadi sekitar sejuta rupiah per hari. Kalau tiga hari disini?
Tapi itulah gunanya sahabat. Banyak sahabat banyak rezeki.
Sore harinya, Alan tiba-tiba mendapati Julia duduk disamping pembaringannya sambil main handphone.
" Udah bangun, nyo?" Goda Julia.
" Ihh..apaan sih?" Alan mencubit lengan Julia.
" Aaauuwww, sakit tahu! Kamu tuh dari dulu suka nyakitin cewek ya?" Julia mengusap-usap lengannya. Pura-pura kesakitan, tapi enak juga sih.
Alan duduk disamping Julia.
" Li..?"
" Ya?"
" aku habis putus sama cewek, " Alan mulai curhat. Julia tetap asyik dengan handphone-nya.
" Nggak heran, dari dulu loe mah emang kayak gitu. Nggak bisa berubah. Putus, sambung, putus sambung. Macam Casanova. Play boy cap kacang!" Rutuk Julia.
" Tapi sekarang aku yang disakiti."
" Itu mah karma. Bukannya dari dulu kamu duluan yang nyakitin?" Julia beringsut. Naruh handphone di meja, lalu mengambilkan Alan segelas air putih.
Alan menerima air itu sambil matanya menatap Julia.
" Dan kamu dari dulu juga masih sama, tiap kali aku putus selalu aja ketus. "
Julia menghela nafas. Matanya menatap lantai. Pikirannya entah kemana. Tak tahu harus berkata apa pada Alan agar merubah tabiatnya yang sok Casanova itu.
Jujur sampai saat ini Julia belum punya perasaan apapun terhadap Alan. Nggak tahu kalau esok hari, nanti, atau kapanpun. Pokoknya mereka berdua ya gitu-gitu aja terus dari dulu.
Sampai...
Alan berniat bangkit dari tepian ranjang pengin ke kamar mandi, ketika tiba-tiba kakinya kesemutan, Alan hampir jatuh. Cepat-cepat Julia membantu Alan berdiri dengan memegang pundak Alan.
Mata mereka beradu. Julia menatap lebih dalam bola mata Alan yang kelam dan tajam.
Pandangannya seolah menghunjam Ulu hatinya. Menimbulkan desiran halus yang susah di definisikan.
Si bengal itu meringis menahan kesemutan. Tak tahu apa yang dirasakan Julia barusan.
" Li.." Hanya itu yang terucap dari bibir Alan.
" Kamu nggak pernah olahraga lagi ya?" Pertanyaan Julia untuk meredam gejolak hati.
" Enak aja, aku Golf seminggu dua kali, tau.."
" Gaya loe, tong..." Timpal Julia.
Suasana yang tadi seharusnya romantis mentah lagi. Selalu kayak gitu..
Malam harinya mereka menyempatkan diri jalan-jalan ke Orchard Road, seruas jalan yang cukup legend di negeri yang hanya sebesar Jakarta itu.
Mereka ceria. Sejenak Alan lupa kesedihan hatinya. Tertawa ceria, bersenda gurau sambil bergandengan tangan. Tanpa mereka sadari bahwa mereka saat ini hanya sekedar teman. Tak lebih..
Tak ada liburan yang tak berakhir. Tiga hari sudah Alan melewatkan waktu bersama Julia.
Time to say good bye..
Tapi pagi itu Julia mesti antar bokap untuk check up ke mount Elizabeth. Alan pergi ke bandara sendirian. Jadwal penerbangan jam 11.30 waktu Singaparna, eh salah, Singapura. Alan udah ngejogrok di Changi dari jam 9.00, masih waktu Singapura, bukan Singaparna.
Alan beralasan, daripada dirumah sendiri. Padahal Julia janji akan antar Alan jam 10 an. Julia menjamin nggak bakal telat. Bahkan kalau telat Julia akan mengganti tiket Alan, bukan hanya tiket ekonomi, tapi ke kelas bisnis. Lho, lhak penak toh...
Tapi gitulah Alan.
Niatnya nongkrong di Changi sebenernya bukan untuk nunggu agar nggak telat. Tapi mencoba cari peluang, mana tahu ketemu pramugari. Bukan pramugari sembarang pramugari. Tapi yang melayani penerbangannya kemarin.
Debbie. Mantan kekasih hatinya. Kalau pun tidak ketemu Debbie, toh bisa cuci mata kan. Gubrakkk!!!
Itu harapannya. Tapi apa yang terjadi?
Alan memang bertemu banyak pramugari berseliweran. Tak ada Debbie disitu. Alan mencoba menghubungi ponsel Debbie. Nggak aktif. Mungkin on duty.
Baru saja duduk di ruang tunggu, Alan ketemu beberapa mbak-mbak orang Indonesia yang kayaknya juga mau balik Indonesia.
Beberapa diantaranya memandang agak aneh. Mungkin karena tampang Alan kayak gembel, " Mas mau balik Indon juga?"Sumpah eneg banget Alan disebut Indon.
Kesannya pekok banget.
" Iya," Jawab Alan Ogah-ogahan. Pandangan mata Alan jelalatan kesana kemari khas Jomblo. Memperhatikan pramugari Sexy semampai berseliweran.
Lumayan buat nyuci mata dan hati.Yang barusan tanya bingung mau ngomong apa. Dia seolah pengin cari bahan obrolan yag pas biar terjadi interaksi.
Yang satunya lagi nyambung, " Di sini kerja mas?"
" Iya," Jawab Alan dengan kata yang sama, orang-orang ini nggak tau apa ya, pikiran lagi ruwet.
" Kerjanya apa?" Sambung menyambung mereka melontarkan pertanyaan.
" Mencari pekerjaan," Jawab Alan ngaco.
" Berarti nganggur dong?" yang tanya barusan alisnya mengernyit.
" Iya, saya fokus untuk nganggur memang," Jawaban Alan makin tak terkendali.
" Mas, jadi lakik itu harus kerja. Kalau nggak mau dikasih makan apa keluarganya? Itu namanya laki-laki tak bertanggung jawab!" Entah mimpi apa semalam kok pagi-pagi dikuliahin orang yang bukan dosen.
Rasanya tekanan darah Alan naik sampai dengkul, karena otak Alan ada di dengkul.
Tapi Alan berusaha menahan. Dan Alan berhasil menahan." Emang waktu kecil nggak punya cita-cita mas?" Mereka saling bersautan menginterogasi Alan.
Saking emosinya Alan sudah gak tau lagi, siapa diantara mereka yang yang angkat bicara.
"Punya." Jawab Alan tanpa ekspresi.
"Cita-citanya apa?"
" Pengin bahagia," Sehabis berucap Alan beranjak menuju Starbucks menemui Julia yang janji mau nyempatin farewell sepulang antar bokapnya.
Alan hendak berterimakasih telah dilayani dengan baik dan dikasih tumpangan.Pas Alan cerita, Julia ndak bisa menahan gelak tawanya yang menunjukkan sederetan gigi putih dengan lesung pipit yang menambah legit wajahnya. Kesal saya sedikit terobati. Ahh.....Julia
" Ni cen tau ma? wo zi cen te cen te hen ai ni," Bisik Julia ketika mereka hendak berpisah dalam pelukan Alan.
Tapi Alan tak bisa mendengar dan tak sadar, karena kata tersebut hanya terucap dari dalam hati Julia.
Alan aja yang bego tak bisa membaca isyarat yang tersirat.
Cai cien wo de ai ren...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H