Beberapa hari ini dunia pendidikan kita hiruk pikuk dengan kontroversi tentang sistem Zonasi pendaftaran siswa baru (SMP-SMA).
Adapun yang dimaksud Zonasi adalah sistem prioritas penerimaan siswa baru (SMP-SMA Negeri) mayoritas berdasarkan zona domisili calon siswa.
Komposisinya adalah, 50% siswa masuk berdasarkan zona, 20% siswa masuk berdasarkan pemeringkatan hasil UN, lalu kalau ada kesamaan Nilai, maka diurutkan berdasarkan nilai mata pelajaran bahasa Indonesia, IPA, Matematika dan bahasa Inggris. Jika masih sama, disaring lagi menurut waktu pendaftaran. Serta 30%lagi melalui jalur prestasi. Bisa prestasi olahraga, seni, dan lain sebagainya. Ribet ya?
Dengan begitu, calon siswa yang nilai NEM-nya pas-pasan, bisa saja masuk sekolah favorit, asal berdomisili berdekatan dengan lokasi sekolah.
Bagaimana dengan siswa yang nilai NEM-nya bagus, yang dahulu sebelum sistem Zonasi diberlakukan bisa masuk sekolah (favorit) tersebut?
Silakan 'uyel-uyelan', berdesakan dan saling bersaing dengan porsi 20% yang saya sebut diatas!
Banyak dari orang tua siswa mengeluhkan sistem Zonasi ini.Â
Pasalnya, paradigma tentang sekolah favorit yang bergengsi masih melekat kuat di benak kebanyakan orang Indonesia. Sekolah, bukan hanya tempat menimba ilmu, tapi tak jarang juga dijadikan ajang adu gengsi.
Sekolah yang bergengsi adalah sekolah dengan segudang prestasi akademik. Pada sekolah macam gini, tak gampang calon siswa masuk, kecuali dengan standar nilai yang telah ditetapkan. Tentu saja hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi para orang tua calon siswa. Bahwa putra/putrinya bisa masuk sekolah favorit. Bagi orang tua calon siswa, itulah pencapaian yang sesuai harapan.Â
Tapi itu dulu.
Sekarang segalanya berubah. Bahkan ada macam satire yang akhir-akhir ini sering beredar, bahwa anak mereka tak perlu giat belajar untuk bisa masuk sekolah favorit, asal tempat tinggal berdekatan dengan sekolah favorit, 99% pasti bisa diterima di sekolah tersebut. Faktor 1% itu adalah faktor kesialan apabila anak mereka tidak diterima.Â