Politik De vide et empera adalah politik memecah belah. Tak lain dan tak bukan adalah trik politik pemerintah kolonial Belanda yang menerapkan politik ini di negeri pertiwi ini.
Bagaimana caranya?
Pertama memunculkan rasa kesukuan. Memilah-milah manusia Indonesia berdasarkan suku.
Kedua memunculkan sentimen etnis satu sama lain. Biar pada berantem antar suku.
Tak lupa, sebagai pelengkap Kumpeni juga membuat strata sosial seenak udelnya terhadap penghuni negeri indah ini.
Adapun strata tersebut meliputi:
Warga kelas satu
Warga keturunan Eropa, berkulit putih. Golongan masyarakat ini punya banyak ha-hak istimewa dibanding dua golongan dibawahnya.
Warga kelas dua, Warga keturunan. Tionghoa, arab, india dan keturunan gundik.
Dan kelas tiga,Etnis asli indonesia menurut versi kumpeni. Ada jawa, sunda, madura, dayak dan masih banyak lagi.
Nurut sumber yang layak dipercaya, golongan keturunan Eropa dan gundik yang justru sangat 'Belanda'. Lebih Belanda dari bangsa Eropa itu sendiri. Mereka ini yang justru dikenal ahli menindas ( kaum pribumi).
Selepas Belanda pergi, banyak diantara masyarakat pribumi suka menggunakan istilah-istilah asing demi menaikkan derajat, gengsi, serta status sosial. Banyak istilah-istilah Belanda yang diselipkan pada satu percakapan.
Utamanya warga keturunan pribumi-Eropa. Mereka seolah merasa sangat Eropa.
Banyak istilah Belanda dipakai dalam percakapan. Contohnya Reken. Kata ini malah sering saya dengar dari almarhum kakek saya semasa hidup.
Lihat!
Bahkan dalam bahasa jawa pun di sisipi istilah Belanda. Contoh penggunaan kalimat reken adalah, " Ora tak reken, " (Tidak saya hitung/tidak masuk hitungan). Reken berarti mengacu pada kata 'Hitung'. Baik hitungan secara nominal atau hitungan dalam bentuk perhatian terhadap seseorang. Kalimat ' Ora tak reken ' bisa juga berarti orang yang tidak masuk satu hitungan, manusia yang termarjinalkan.
Lalu istilah 'Zonder' yang berarti tanpa.
Dan banyak lagi istilah Belanda yang lumrah dipakai untuk campuran dialog sehari-hari. Pada kalangan tertentu malahan mutlak menggunakan bahasa Belanda untuk bahasa 'resmi' dalam keluarga!
Kenapa?
Karena paradigma bahwa bahasa Belanda adalah bahasa warga negara kelas satu masih melekat pasca kemerdekaan.
Saya ingat tatkala dahulu nonton film-film tahun tujuh puluh atau delapan puluhan, kerap ada panggilan 'Zus' digunakan untuk menyebut perempuan yang belum begitu dikenal. Padahal setelah saya telusuri, Zus artinya Suster. ( Tepuk jidat deh!)
Di beberapa daerah di Sulawesi Utara menyebut profesi guru lelaki SMA dengan sebutan Meneer (Tuan). Menyebut bibi dengan Tante. Paman dipanggil Om. Kakek, Opa. Nenek, Oma. 'Untuk' diganti Voor, Vor atau for...
Dan banyak lagi istilah asing digunakan sebagai campuran berbahasa yang digunakan sehari-hari.
Untuk apa?
Untuk aktualisasi diri bahwa si penutur adalah masyarakat dengan golongan strata lebih tinggi dari masyarakat pada umumnya. Bahwa si penutur adalah golongan Extraordinary.
Untuk apa?
Untuk dapat pengakuan, tanpa mereka sadar bahwa itu adalah salah kunci keberhasilan politik Devide et empera.
Sebelum memunculkan sentimen etnis, kumpeni lebih dahulu menanamkan gengsi berbahasa. Bahasa Belanda.
Nah, akhir-akhir ini muncul lagi trend bahasa gado-gado. Kalau dahulu gado-gado Indonesia-Belanda, maka sekarang Indonesia-Inggris yang acap dituturkan (utamanya) oleh anak-anak Jaksel.
Apa tanggapan saya?
Morgan Freeman pernah  berucap, bahwa cakap berbahasa Inggris tidak serta merta membuat kita jadi manusia dengan tingkat intelejensi lebih tinggi. Bisa berbahasa Inggris tidak menunjukkan bahwa kita manusia pintar.
Karena nurut opini pribadi saya, masalah bahasa adalah soal kebiasaan, nggak ada hubungannya dengan tingkat kecerdasan otak kita.
Salam satu Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H