Sebenernya timing posting tulisan ini kurang tepat. Udah telat, atau malah belum waktunya. Karena Lebaran udah lewat, Natal pun belum tiba.
Tapi namanya ide, kalau udah muncul gatal rasanya tangan ini untuk tak membahas.Â
Jadi dalam masyarakat kita ada tradisi yang nggak baru-baru amat, juga nggak kuno-kuno amat di negeri ini. Tradisi mudik. Mudik adalah kata kerja. Kata dasarnya adalah Udik, atau Desa, mengacu kata satu tempat. Kalimat mudik mempunyai definisi kembali ke Udik. Pulang kampung.
Tradisi mudik ada karena banyak masyarakat di daerah ramai-ramai Urbanisasi dari Desa ke Kota yang lebih besar, atau ibukota negara demi mencari rezeki yang lebih baik lagi dari rezeki yang ada di kampung mereka.Â
Dan bukan rahasia lagi, akibat pembanguan yang kurang merata. Akibat pembagian rezeki yang kurang 'fair' di pemerintahan yang lalu. Antara desa dan kota punya perbedaan dalam jatah pembangunan infrastruktur. Akibatnya, lapangan pekerjaan dengan gaji lumayan hanya tersedia dikota-kota besar.
Lalu terjadilah tren urbanisasi. Walau demi mengais rezeki harus rela meninggalkan keluarga, sanak saudara, serta sahabat. Tak apa, yang penting nasib berubah. Segudang mimpi berkecamuk ketika meninggalkan kampung halaman.
Ada beberapa jenis kaum urban. Salah dua-nya yang Skilled, dan unskilled. Punya keahlian, maupun tak punya keahlian. Datang dengan alasan proses Interview di perusahaan, lalu diterima bekerja. Dan yang kedua datang saat momen-momen tertentu, tanpa keahlian, hanya mengandalkan kenalan atau saudara untuk dimintain tolong untuk dicarikan pekerjaan, atau memang sengaja diajak untuk bekerja apa adanya yang penting Halal, walau nasibnya kelak dikota besar masih menjadi teka-teki silang. Yang penting nekat aja. Bonek, bondo nekat, modal nekat.
Akibatnya, dari hari kenari jumlah penduduk kota besar, terutama Jakarta, makin sesak.
Sampai disini lambat-laun terjadi masalah sosial yang membebani kota tujuan. Saya akan cerita Jakarta, kota tempat saya tinggal. Saya tidak pernah mengamati secara statistik, berapa pertambahan jumlah penduduk Jakarta tiap tahunnya yang tidak disebabkan oleh kelahiran, tapi setiap habis hari-hari besar, habis libur panjang, saya merasa penduduk Jakarta makin bertambah.
Dan tahun depannya, pas liburan panjang lagi, arus mudik makin bertambah ramai. Tak pelak pemerintahlah yang 'ketiban sampur', kena getahnya, untuk menyediakan layanan transportasi publik untuk keperluan mudik.
Pemudik yang sudah 'sukses' dan mampu membeli kendaraan pribadi, baik mobil maupun motor juga tak luput dari perhatian pemerintah. Akses jalan tol terus dibangun demi kelancaran arus mudik. Berbagai fasilitas di rest area ditambah dari hari ke hari.
Menanggapi tingginya angka kecelakaan yang menimpa pemudik motor, pihak ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) sesuai merek kendaraan  menyediakan fasilitas mudik gratis. Bahkan dengan membawa motornya untuk diangkut menggunakan mobil khusus.
Semua demi pemudik. Masalahnya tiap tahun jumlah pemudik meningkat. Tiap arus balik juga bertambah jumlahnya. Tiap tahun seperti itu. Tiap tahun masalah sosial di Jakarta kian bertambah dikarenakan pendatang-pendatang baru 'bawaan' pemudik ini.
Dengan segala mimpi tentang Jakarta yang indah-indah tentang Jakarta. Dengan segala angan dan cita-cita yang selama ini terpendam. Tentang gemerlapnya ibukota. Arus urbanisasi semakin tahun semakin deras.
Dahulu, banyak banget Film atau apapun yang menggambarkan betapa keras ibukota. Saya masih inget ada Film yang dibintangi Ateng, Ishak, dan Bagio (Ketiganya komedian kawakan) yang berjudul ' Kejamnya Ibu Tiri tak sekejam Ibukota'.
Film tersebut menyampaikan pesan bahwa nggak gampang hidup di Jakarta. Jakarta ini keras...!
Tapi toh orang nggak berfikir sejauh itu.
Mereka melihat bahwa Jakarta itu Indah, Glamor, megah!
Lalu yang salah siapa?
Rakyat ini kan sekedar cari makan, mengamankan masalah lambung agar produksi asam lambung nggak meningkat gara-gara sering menahan lapar. Hanya masalah perut. Nggak salah kalau berusaha. Toh Jakarta milik seluruh Warga Negara Indonesia.
Tapi kalau pembangunan merata, saya rasa laju Urbanisasi bisa ditekan. Saya yakin membludaknya jumlah kaum Urban tak lepas dari sistem sentralisasi Ekonomi yang secara langsung atau tidak, diterapkan oleh pemerintahan Orde bagus. Eh, salah! Orde Baru maksudnya.
Kok Orde baru yang disalahkan ?
Habis, mau menyalahkan siapa? Mau bertanya siapa? Mau tanya pada Rumput yang bergoyang? Nggak mungkin, itu hanya ada dalam lagu...
Selamat pagi para pembaca. Selamat berakhir pekan. Semoga hari kalian menyenangkan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H