Artikel Ditulis Oleh: Husen Kahfi
Dalam dua periode pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membawa berbagai perubahan signifikan, dengan program utama Nawacita yang menjanjikan reformasi besar. Fokus awal pemerintahannya adalah percepatan pembangunan infrastruktur, yang menjadi sorotan utama dari kebijakan Jokowi. Dengan berbagai proyek seperti; jalan tol Trans Jawa, pelabuhan, bandara, dan kereta cepat Jakarta-Bandung, pemerintahannya mencatatkan rekor pembangunan fisik terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Namun, capaian ini juga diikuti dengan berbagai tantangan dan kontroversi yang memunculkan pertanyaan: apa dampak yang siginifikan, untuk rakyat ataupun negara ini?
Jokowi sering kali dipuji karena membawa pendekatan yang lebih pragmatis dalam menjalankan pemerintah. Contohnya? pembangunan infrastruktur jalan tol yang bertambah hingga lebih dari 2.000 kilometer berhasil menghubungkan kota-kota besar dengan daerah terpencil. Dampaknya adalah kemudahan mobilitas, khususnya bagi sektor perdagangan dan distribusi. Proyek ini juga menciptakan lapangan kerja jangka pendek selama masa konstruksi. Namun, dampak positifnya belum terasa optimal karena tingginya biaya logistik di Indonesia, yang tetap menjadi salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.
Di sektor energi, Jokowi memprioritaskan elektrifikasi pedesaan, sehingga rasio elektrifikasi nasional naik dari sekitar 84% pada 2014 menjadi lebih dari 99% pada 2022. Selain itu, proyek besar seperti pembangunan kilang minyak dan investasi pada energi terbarukan menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada energi impor. Namun, beberapa proyek ini menghadapi kendala waktu dan biaya yang membengkak, menimbulkan kritik tentang efisiensi manajemen proyek pemerintah.
Sementara itu, kebijakan ekonomi Jokowi juga menuai pujian, khususnya program Tol Laut yang bertujuan menurunkan disparitas harga barang antara wilayah barat dan timur Indonesia. Namun, kritik muncul karena program ini masih jauh dari target. Pengiriman barang sering kali tidak sesuai jadwal, dan infrastruktur pendukung di pelabuhan belum memadai, sehingga biaya distribusi tetap tinggi.
Di sisi lain, kebijakan kontroversial seperti omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja menjadi sorotan tajam. Kebijakan ini dirancang untuk menarik investasi asing dengan memangkas birokrasi dan memberikan kemudahan bagi pengusaha. Namun, kebijakan ini juga dianggap mengurangi hak-hak pekerja dan merugikan masyarakat kecil, sehingga memicu gelombang protes besar.
Dalam hal ekonomi makro, salah satu pencapaian Jokowi adalah pertumbuhan ekonomi yang stabil, meskipun pandemi COVID-19 menjadi tantangan berat. Pada 2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,02%, tetapi menurun tajam pada 2020 menjadi -2,07% akibat pandemi. Berkat berbagai kebijakan pemulihan ekonomi seperti bantuan langsung tunai (BLT) dan program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional), pertumbuhan kembali positif di atas 5% pada 2022. Namun, pertumbuhan ini sering kali tidak merata, dengan sektor manufaktur yang terus mengalami penurunan kontribusi terhadap PDB.
Utang negara juga menjadi isu yang banyak dikritik selama era Jokowi. Rasio utang terhadap PDB naik dari sekitar 24% pada 2014 menjadi 39% pada 2023. Meskipun angka ini masih dalam batas aman menurut standar internasional, banyak yang mempertanyakan efektivitas penggunaan utang tersebut. Sebagian besar dialokasikan untuk proyek infrastruktur, yang hasilnya sering kali baru terasa dalam jangka panjang. Sementara itu, sektor produktif seperti pendidikan dan kesehatan cenderung menerima alokasi yang lebih kecil.
Pada aspek politik, Jokowi mendapat kritik karena dianggap terlalu kompromistis terhadap kekuatan politik lama. Hal ini terlihat dalam pemberantasan korupsi, di mana pengesahan revisi UU KPK pada 2019 melemahkan independensi lembaga anti-korupsi tersebut. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 stagnan di angka 34, yang menunjukkan minimnya perbaikan dalam upaya pemberantasan korupsi.
Jokowi juga menghadapi tantangan dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Meskipun anggaran pendidikan terus meningkat, kualitas pendidikan di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Sementara itu, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dijalankan BPJS Kesehatan sering kali menghadapi masalah pendanaan dan layanan, sehingga belum sepenuhnya menjawab kebutuhan masyarakat miskin.
Dengan berbagai capaian dan tantangan ini, pemerintahan Jokowi dapat dilihat sebagai era dengan banyak ambisi besar namun eksekusi yang sering kali tidak konsisten. Pembangunan fisik yang masif memang menjadi warisan yang sulit disangkal, tetapi pertanyaan tetap ada: apakah warisan ini benar-benar memberikan manfaat jangka panjang bagi seluruh rakyat Indonesia? Apakah kebijakan kontroversial yang dikeluarkan sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkan?
Sepuluh tahun pemerintahan Jokowi adalah refleksi dari kompleksitas politik dan ekonomi Indonesia. Ia mungkin akan dikenang sebagai presiden yang berani mengambil risiko besar, tetapi juga presiden yang menghadapi kritik tajam karena kurangnya reformasi mendasar di bidang hukum, ekonomi, dan sosial, dan satu hal yang penting, Jokowi tidak 100% menunaikan apa yang telah ia janjikan selama ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H