Mohon tunggu...
Husen Bafaddal
Husen Bafaddal Mohon Tunggu... Pengacara - husenbfd

No Money-No Justice-This Is Fact

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menakar Masa Depan KPK Era Firli

6 Juli 2021   17:23 Diperbarui: 6 Juli 2021   17:30 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Husen Bafaddal (dokpri)

Sebelum menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri pernah menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, posisi ini dapat dibilang sebagai posisi yang sangat strategis, dan jantungnya KPK dalam hal pro justicia seperti tindakan Operasi Tangkap Tangan (OTT), penyelidikan dan/atau Penyidikan pada kasus korupsi, maka tidak heran penyelidik dan atau penyidik KPK sering kali mendapat ancaman dari pihak-pihak yang masuk dalam daftar OTT atau Penyidikan, salah satunya adalah, Novel Baswaden yang menjadi korban penyiraman air keras yang mengakibatkan sebagian tubuhnya mengalami cacat permanen.

Kejadian terhadap Novel Baswedan, kita hanya menduga upaya melumpuhkan KPK hanya datang dari pihak eksternal, namun ternyata sebaliknya hal itu seringkali datang dari internal KPK, bocornya Operasi Tangkap Tangan, Intervensi pengaturan Penyidik, adalah indikasi kuat oknum orang dalam KPK, dugaan itu tertuju kepada "Firli" satu diantaranya, Jabatan Deputi Penindakan yang melekat padanya tentu memiliki pengaruh untuk melakukan intervensi pembatasan tindakan dan pengaturan penyelidik atau penyidik dalam penanganan kasus-kasus korupsi, sampai pada pembocoran informasi rencana Operasi Tangkap Tangan (OTT) kepada oknum pelaku yang memiliki relasi dengannya.

Firli memang akrab dengan beberapa oknum pelaku korupsi, beberapa tahun lalu ketika KPK sedang fokus mengusut kasus dugaan korupsi terkait divestasi saham PT. Newmont Nusa Tenggara, Firli justru sedang asik bermain tenis bersama dengan orang yang menjadi target KPK, dan keberadaan Firli dengan orang yang ditarget tentu ada satu dan lain hal yang direncanakan, salah satunya kasus yang sedang diusut. sanksi etik telah dijatuhkan kepadanya akibat pertemuan dengan modus bermain Tenis, namun sanksi etik tidak berefek pada perilaku etik Firli, justru manuver Firli semakin menjadi-jadi dan sangat terlihat kalau Firli tidak sendiri, seperti ada kekuatan besar didalam maupun diluar KPK yang mem-back-up Firli untuk melemahkan KPK.

Perilaku seperti Firli ini tentunya disukai oleh orang yang memiliki mental koruptif, setidaknya mereka dapat mengambil keuntungan jika Firli tetap berada di KPK, terlebih lagi menyuksesi Firli menjabat sebagai Ketua KPK adalah suatu kabar gembira, karena Porsi kekuasaan yang besar memudahkan Firli untuk intervensi segalanya di KPK termasuk semua insan KPK yang menjadi bawahannya untuk mengikuti aturan main (the rule of game) yang dibuat oleh Firli.

Belum setahun menjabat sebagai Ketua KPK, Firli kerap melakukan tindakan yang dianggap kontroversi, salah satunya dugaan gratifikasi sehubungan dengan penyewaan helikopter swasta pada tanggal 20 Juni 2020 untuk perjalanan ke Palembang dan Baturaden selama 4 (empat) jam. Berdasarkan data ICW, harga sewa helikopter yang digunakan Firli adalah Rp 39,1 juta per/jam, maka total harga sewa yang harus dibayar oleh firli adalah sebesar Rp. 172,3 Juta. Akan tetapi dalam sidang etik Firli memberikan keterangan yang berbeda, yakni Penyewaan harga pesawat per/jam sebesar Rp. 7-Juta dan total pembayaran sebesar Rp. 30,8 Juta. Hal ini sesungguhnya membuktikan Firli telah menerima Gratifikasi dalam bentuk discount sebesar Rp. 141,5 Juta. Namun Dewan Pengawas KPK hanya melihat dari aspek etik gaya hidup (life style) dan menjatuhkan sanksi etik teguran dengan dasar pelanggaran pada Pasal 4 Ayat (1) huruf n dan Pasal 8 Ayat (1) huruf f Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK, karena dianggap Firli berpola hidup mewah.

"Hilangnya Independensi Etis"

Hal yang paling terpenting bagi Pelaku Pembuat Undang-Undang, Pelaksana Undang-Undang, Maupun Penegak Undang-Undang, adalah memiliki Independensi etis yang menuntut setiap individu untuk cenderung kepada kebenaran, obyektifitas, kejujuran dan keadilan, yang harus diinternalisasi oleh mereka secara maksimal sehingga terbentuk moralitas yang baik, karena hukum membutuhkan moralitas, sebab moralitas adalah alat keadaban manusia, untuk menjalankan misi keadaban diperlukan idealisme, karena tanpa idealisme, hukum dapat diperalat untuk maksud dan tujuan jahat serta mudah berbelok dan dibelokan menjadi alat kejahatan, atau yang diistilahkan oleh Marx sebagai "an evil thing".

Kualitas produk hukum yang baik dan benar merupakan wujud dari nilai etis perilaku pembuat undang-undang, yang mengerti tentang kemanfaatan dan kepedulian terhadap lingkungan kehidupan kemanusiaan, dan dilaksanakan serta ditegakkan oleh orang-orang pilihan (Primus Inter Pares) yang memenuhi syarat Independensi etis.

Akan tetapi, kondisi kebangsaan kita akhir-akhir ini hanya ditemui para elite negara memanfaatkan jabatan publik sekedar gaya-gayaan, mereka menegaskan statusnya hanya melalui gaya hidup tinggi (high life style), bukan dengan kinerja dan prestasi. Hal ini yang dikatakan oleh Ignas Kleden sebagai sindrom ekshibisionisme sosial yang terjangkit pada pejabat negara saat ini, Menurutnya juga, ekshibisionisme itu tampil angkuh dalam kasus korupsi, mengumpulkan hasil korupsi, bukannya merasa malu, tetapi malah memamerkannya dengan cara yang amat mencolok. (Baca : Ignas Kleden "Masyarakat dan Negara").

Betapa buruknya kewenangan pembuatan undang-undang di negara kita diisi oleh oknum-oknum yang bermental korup yang menduduki peringkat pertama, dalam survey Transparansi Internasional Indonesia (TII), yang dirilis dengan tajuk Global Corruption Barometer 2020. Hal ini tentu sangat memalukan untuk lembaga yang dilabeli kata "Terhormat" namun terjangkit sindrom ekshibisionisme sosial, kiranya label tersebut hanya dimaknai sekedar teks yang tidak bisa dijewantahkan secara konteks tanggungjawab etis selaku wakil rakyat.

Perilaku korupsi oleh oknum yang memiliki jabatan tinggi seperti Wakil Rakyat, bukan karena faktor minimnya ekonomi, melainkan faktor lain diantaranya karena proses komunikasi dalam lingkungan kerja DPR, dengan cara yang amat professional dan tidak tertampak dan nyata, yang seakan-akan apa yang dilakukan telah sesuai sebagaimana mestinya, namun jika diverifikasi secara kritis maka terdapat penuh dengan kejanggalan. Hal ini disebut oleh Futherland yang dikembangkan oleh Edwin H Suterland dalam bukunya "Principle of Criminology" sebagai White Colour Crime, kejahatan kerah putih yang dilakukan oleh orang yang memiliki Jabatan atau kedudukan Tinggi.

Praktik korup yang telah terbentuk menjadi kultur yang akan selalu subur, kemudian tumbuh rasa ketidaksukaan terhadap lembaga anti korupsi seperti KPK, narasi propaganda dibangun untuk membentuk paradigma publik melihat KPK secara miring, mengarahkan lembaga survey untuk mendulang suara pro atas rencana revisi UU KPK, memanfaatkan kewenangan legislasi untuk mengesahkan RUU KPK dengan nuansa emosional dan sentiment, segalanya dilakukan tanpa rasa malu, walaupun berdasarkan hasil polling oleh Lembaga Survey menunjukkan lebih banyak masyarakat yang kontra terkait rencana RUU KPK maupun hasil RUU KPK. Namun bukannya diakomodir malah menyampingkan tanpa alasan, hal ini menunjukkan sisi etis wakil rakyat telah hilang dan patut dipertanyakan sebenarnya siapa yang mereka wakili dan keinginan siapa untuk mengesahkan UU KPK yang begitu hampa dari sisi etis. Dan mirisnya lagi wakil rakyat lebih memilih Firli secara aklamasi untuk memimpin KPK tanpa mempertimbangkan sisi etis yang dilakukannya sebagai pegawai KPK.

"Masa Depan KPK Era Firli"

Ada sebuah pepatah yang mengatakan "pisau ditangan seorang yang bijak, akan berbeda penggunaannya ditangan orang tidak bijak. Hukum ditangan orang yang teguh pada kebajikan, akan berbeda ditangan orang yang opurtunis, yang satu memberikan rahmat, sedangkan yang lain mengandung petaka".

Kondisi KPK pada era sebelumnya jauh berbeda dengan KPK era Firli. Berdasarkan Survey yang dirilis Indo Barometer Pada bulan februari 2020, posisi KPK yang biasanya masuk dalam 3 (tiga) besar, kini keluar dan menempati posisi ke-4 (empat) lembaga yang paling dipercaya dengan perolehan 81,8 persen, sementara yang tidak percaya mencapai 13,9 persen, sisanya tidak menjawab, sedangkan jika dilihat hasil survey Alvara Institute sebelumnya juga menemukan hal serupa. Kepercayaan terhadap KPK "terjun bebas" dari 80 persen pada Agustus 2019 menjadi 71,1 persen sehingga menempatkan KPK pada posisi ke 5 (lima), padahal sebelumnya berada di posisi ke-2 (dua) setelah TNI. Maka dapat disimpulkan kepercayaan publik terhadap KPK telah merosot hingga 11,1 persen.

Turunnya kepercayaan publik terhadap KPK, tidak terlepas dari faktor UU/Regulasi dan konflik internal KPK. Berlakunya UU No. 19/2019 telah merubah wajah KPK secara siginifikan : Pertama,  Independensi KPK secara kelembagaan beserta Pegawai telah bergeser pada ranah kekuasaan eksekutif, tentu ini sangat resistensi terhadap Independensi KPK, Para Pegawai akan bekerja tidak lagi atas dasar tuntutan publik, melainkan atas dasar tuntutan oknum yang memiliki jabatan tinggi (high profile), dan oknum yang memiliki Jabatan Tinggi (high profile) dengan mudah melakukan pengaturan kepegawaian terhadap Pegawai KPK yang dianggap tidak patuh; Kedua, ketentuan tentang Penghentian Penyidikan dan Penuntutan pada perkara yang tidak selesai dalam waktu 2 (dua) tahun, ketentuan ini sangat bertentangan dengan KUHAP, jika mengacu pada Pasal 109 ayat (2) KUHAP penghentian penyidikan dan penuntutan hanya terbatas pada bukti yang tidak cukup dan/atau perkara tersebut bukan perkara pidana. Di sisi lain KPK tidak bisa disamakan dengan Institusi Hukum yang lain yang diberikan kewenangan SP3, sebab penanganan perkara pada setiap tingkatan di KPK berbeda dengan Institusi yang lain, misalnya Penyilidikan di KPK sama dengan Penyidikan di Institusi Hukum yang lain. Oleh karenanya KPK lebih Progresif dan sangat berpegang pada prinsip kehati-hatian dalam penanganan perkara dan selama ini kita tahu sendiri tidak ada satupun kasus yang ditangani oleh KPK tanpa suatu bukti yang tidak cukup, maka ketentuan SP3 yang dimiliki oleh KPK merupakan sesuatu yang sangat beresiko dan dapat disalahgunakan oleh oknum KPK yang tidak bertanggungjawab untuk dijadikan sebagai objek dagangan kepada pelaku korupsi ; Ketiga, ketentuan pembatasan penyadapan, kenapa hanya KPK yang dibatasi penyadapan, sedangkan Polri ataupun BIN tidak dibatasi penyadapan..? membatasi kebebasan penyadapan KPK sama dengan memberikan kebebasan kepada koruptor.  

Selain itu, ada faktor internal KPK yang sangat memperihatinkan, Insan KPK berjumlah 50 orang lebih yang memiliki integritas dan komitmen yang tinggi ditendang dengan cara yang sangat tidak terhormat, di labelling sebagai kelompok Taliban, polisi India dan lain sebagainya oleh kelompok orang dalam dan kekuasaan luar yang tidak menyukai Pegawai KPK yang memiliki idealisme yang tinggi, padahal orang-orang inilah yang selalu terlihat sebagai Garda terdepan melawan Koruptor.

Saat ini publik tidak dapat berharap banyak kepada KPK, KPK lebih banyak diisi dan dipimpin oleh orang-orang opurtunis yang berkonspirasi dengan kekuasaan luar yang korup dan kita akan menjadi penonton sekaligus saksi mata dimana nasib KPK yang berujung pada malapetaka dibawah Firli.

Kita percaya setiap proses seleksi komisioner yang terpilih memimpin KPK pasti ada loby-loby dan deal-deal tertentu dengan oknum-oknum Korup yang ada DPR, namun hal itu hanya sebagai instrument mengelabui oknum kekuasaan korup agar tidak menghalangi harapan mereka untuk memimpin KPK sesuai dengan keinginan dan harapan publik, misalnya seperti Abraham Samad beberapa kali gagal dalam proses komisioner KPK, selanjutnya mengikuti seleksi pada periode berikutnya dan membangun loby-loby dengan beberapa relasi kekuasaan yang ada di DPR dan dinyatakan lulus. Akan tetapi setelah terpilih A.S bekerja sesuai dengan harapan masyarakat bukan atas dasar harapan elite yang korup.

Berbeda dengan Firli, kehadiran Firli di KPK bukan mewakili harapan Masyarakat, melainkan mewakili kekuasaan yang korup. kita bisa membayangkan jumlah calon komisioner yang memiliki jejak rekam yang baik dan luar biasa tidak dipilih untuk memimpin KPK, justru orang yang memiliki krisis etik dan penuh kontroversi yang dipilih secara aklamasi oleh DPR untuk memimpin KPK dan lebih aneh lagi di Negara kita, DPR yang notabenenya lembaga yang paling korup diikutsertakan untuk menentukan siapa yang harus memimpin lembaga KPK yang merupakan musuh kekuasaan korup. Maka kita sudah dapat menduga, yang dipilih adalah orang yang dapat berkerjasama dengan kekuasaan yang korup.      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun