Masih teringat dalam benak kita, dalam beberapa pekan lalu. ketika para politisi demokrat (Andi Malarangeng, Anas Urbaningrum, Angelina Sondak) berkampanye lewat media elektronik nasional dengan slogan “katakan tidak pada korupsi”. Namun pesan itu hanya sebagai pe-pesan kosong dan sebatas retorika politik belaka. Dan ternyata mereka adalah koruptor kelas wahid di Negri ini, ketika KPK menetapkan tiga orang politisi tersebut sebagai tersangka proyek wisma atlet hambalang.
Skandal tersebut, berawal dari bukti laporan dan tertangkapnya mantan bendahara umum partai demokrat (M. Nazaruddin). Pada saat ditangkap dan diperiksa oleh KPK Nazar, kerap kali menyebutkan nama-nama pembesar demokrat yaitu, Anas Urbaningrum (Mantan Ketua Umum Demokrat), Andi Alfian Malarangeng (Mantan Menteri Pemuda Dan Olahraga) dan, Angelina Sondakh (DPR RI), Begitu juga di muka persidangan. Tidak hanya itu Nazar, juga menyebutkan sejumlah nama-nama politisi terkait kasus korupsi di 12 proyek, di antaranya yang disebut ialah, Munadi Herlambang (Demokrat), Setya Novanto, Bambang Soesatyo (Golkar), Olly Dondokambey, dan Herman Herry (PDI Perjuangan).
“Nyanyian dan tembakan” Nazar.
Pernyataan Nazar di publik selalu mengundang perhatian, karena yang menarik adalah dia menyebutkan nama Trio “A” (Anas, Andi, Angie), walaupun ada serangan balik (counterattack) dari ketiga orang tersebut. Nazar tetap konsisten dengan pernyataannya sampai dia di adili di muka persidangan.
Pernyataan yang selalu di dengungkan oleh Nazar ternyata membawa kabar gembira, ketika KPK menetapkan Angelina Sondakh sebagai tersangka atas dugaan suap proyek wisma atlet dan terlibat pada kasus korupsi anggaran di Kemendikbud, yang saat ini masih menjalankan masa tahanan.
Tidak berhenti di Angie, proses hukum proyek wisma atlet terus berlanjut karena dugaan kuat serta bukti yang cukup, memberikaan keyakinan kepada KPK kalau kasus ini sifatnya sistemik. Hal ini terbukti, kalau langkah KPK berhasil menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga (Andi Alfian Malarangeng) sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa wisma Atlet Hambalang. Dan setelah Andi, tidak lama kemudian KPK menetapkan Anas Urbaningrum Sebagai Tersangka dugaan menerima gratifikasi terkait proyek pembangunan pusat pendidikan, pelatihan dan sekolah olahraga nasional.
Olehnya itu Nyanyian Nazar menjadi tembakan yang telak dan tepat pada tiga politisi tersebut. Dan berharap masih ada nyanyian selanjutnya untuk membuka halaman berikutnya (istilah A.U).
“Kado dari BPK”
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam melakukan audit tahap kedua terdapat adanya indikasi penyimpangan tentang kerugian uang negara pada kasus proyek wisma Atlet Hambalang, yang menariknya dalam hasil audit BPK terdapat adanya legalisasi ketidakbenaran dan munculnya 18 nama-nama wakil rakyat yang harus bertanggung jawab atas kontrak tahun jamak proyek wisma atlet hambalang.
Hasil audit BPK terdapat enam pelanggaran, diantaranya; proses pengurusan hak atas tanah, proses pengurusan izin pembangunan, proses pelelangan, proses persetujuan RKA-KL (Rencana Kerja Kementrian/Lembaga), persetujuan kontrak tahun jamak, pelaksanaan pengerjaan konstruksi, pembayaran dan aliran dana dengan rekayasa akuntansi. Dan total kerugian Uang Negara sebesar 463,66 milliar. Maka dengan cerdiknya untuk melegalisasi kebenaran atas ketidakbenaran serta penyimpangan, mereka membuat Peraturan menteri keuangan (PMK) Nomor 194/PMK.02/2011 mnggantikan PMK Nomor 56/PMK.02/2010.
Tindakan picik inilah dikenal dengan jenis Discretionery corruption, Seperti yang diungkapkan oleh Benveniste dalam bukunya Drs. Ermansjah Djaja S.H., M.Si. ; tindakan yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan sekalipun tampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H