Mohon tunggu...
Andi Gautama
Andi Gautama Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengkafirkan atau Mengislamkan (Sebuah Tulisan Pendek)

28 Februari 2016   08:49 Diperbarui: 28 Februari 2016   10:50 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

....jangan ngobrol sama ..., dia suka mengkafirkan orang....
....pemimpin Indonesia adalah pemimpin islam, buktinya mereka masih shalat, oleh karena itu kita harus tetap mengikutinya....

Kata- kata diatas adalah dua, dari sekian banyak kata, yang saya terima saat masih di SMA. Ya, saya merupakan anak rohis di SMA, dan kebetulan di SMA saya saat itu sedang terjadi pergolakan dua kubu. Targetnya jelas, 'Floating mass' atau yang saat itu berwujud anak baru (junior).

Terlepas dari isu- isu yang dihembuskan, tentang si anu si itu mau ini mesti itu, kebanyakan isu tersebut berupa fitnah. Terlepas dari fitnah dengan makna sebenarnya maupun pengaburan makna. Sebagai contoh: "hati- hati dengan si ... nanti diajak hijrah". Istilah hijrah sekarang sudah biasa digunakan, pada masa SMA penulis dulu hijrah identik dengan (...). Yang akan dibahas kali ini adalah based on true story.

Mengislamkan
Mengislamkan adalah memvonis seseorang sebagai muslim(?).

Pengalaman penulis adalah pernyatan mengislamkan pemimpin. Yang artinya harus tetap taat pada pemimpin serta mendukung segala tindakannya. Mungkin dasarnya dari hadist ini ya:

Jangan mengkafirkan orang yang shalat karena perbuatan dosanya meskipun (pada kenyataannya) mereka melakukan dosa besar. Shalatlah di belakang tiap imam dan berjihadlah bersama tiap penguasa. (HR. Ath-Thabrani)

Sementara makna kafir pada ayat di bawah ini tidak dianggap sebagai murtad (https://muslim.or.id/24466-janganlah-mudah-mengkafirkan-para-pemimpin-kaum-muslimin.html):

“Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Maidah: 44)

Tapi fokus kali ini lebih ke mengislamkan temen sendiri. Apa ya kira- kira dasar mereka, mungkin ini beberapa hadisnya:

  • Tiga perkara berasal dari iman: (1) Tidak mengkafirkan orang yang mengucapkan “Laailaaha illallah” karena suatu dosa yang dilakukannya atau mengeluarkannya dari Islam karena sesuatu perbuatan; (2) Jihad akan terus berlangsung semenjak Allah mengutusku sampai pada saat yang terakhir dari umat ini memerangi Dajjal tidak dapat dirubah oleh kezaliman seorang zalim atau keadilan seorang yang adil; (3) Beriman kepada takdir-takdir. (HR. Abu Dawud)
  • “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu (atau mengucapkan Tahlil): “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya)” [An Nisaa’ 94]
  • “Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya “hai kafir”, maka ucapan itu akan mengenai salah seorang dari keduanya.” [HR Bukhari]

Lalu siapa yang diislamkan mereka, teman sendiri. Atau lebih tepatnya orang di luar rohis. Lebih tepatnya teman- teman yang sedang tidak didakwahi atau sukanya main basket pas istirahat, main PS beres sekolah, pacaran. Lalu apa yang mereka lakukan terhadap teman- teman tersebut.

Abai...
Mengabaikan...
Membiarkan...
Acuh tak acuh... terhadap keislamannya
Main kartu bareng
Bercanda ria bersama.............

Target mereka siapa? Orang- orang yang sedang dicurigai sedang didakwahi, para pencari kebenaran atau apalah. Sehingga dulu tidak sedikit yang keluar dari rohis, dan malah pacaran (mengenai metode peng'isu'an ini akan dibahas di lain kesempatan).

Sementara penulis pada saat itu masih bertanya- tanya, apakah orang munafik pada zaman Rasulullah SAW mengucapkan “Laailaaha illallah”.

Mengkafirkan, atau Mensalahkan(?)

Oke kita memang harus mengkafirkan Yahudi dan Nasrani seperti pada Al Maidah: 17. Dan konsekuensi terhadap mengkafirkan yakni kewajiban mendakwahinya (meskipun mungkin terkendala masalah prioritas), salahsatunya tertuang dalam ayat berikut ini:

“Serulah manusia ke jalan Rabb-mu (Allah) dengan jalan hikmah (hujjah) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (an-Nahl 125)

Lalu bagaimana dengan orang yang STMJ (shalat terus maksiat jalan)? Oke mungkin mengkafirkan terlalu kasar, mari kita rubah dengan mensalahkan, atau memvonis seseorang masih salah hidupnya. Hal ini bertujuan agar kita tidak lupa kewajiban dakwah kepada mereka. Kita mensalahkan mereka dengan cara mengenal mereka, mengetahui apa yang mereka yakini, dan membenarkan apa yang salah pada diri mereka.

“Dan tidaklah aku utus engkau kecuali kepada seluruh umat manusia, (dengan) membawa kabar kembira dan peringatan” (Saba 28)

Penutup:
Apa yang manusia nyatakan, bisa jadi berbeda dengan apa yang dilakukan. Semoga kita tidak termasuk orang- orang yang tertipu.. Aamiin...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun